Chapter 6: Penyusup di The Pearl Villa
Mateo baru saja menyelesaikan urusannya di kamar mandi. Sesuai dengan rencana yang disepakati semalam, pagi ini dia akan mengunjungi The Pearl Villa. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tempat itu sekitar satu jam, dan sekarang sudah menunjukkan pukul 08.32. Mateo berencana tiba lebih awal untuk memeriksa lokasi terlebih dahulu, berjaga-jaga kalau nanti Serina adalah wartawan licik yang berusaha menjebaknya, persis seperti apa yang pernah dialaminya.
Sebenarnya, alasan Mateo enggan membicarakan masa lalunya di rumah makan tak semata-mata karena adiknya. Dia memiliki agenda tersendiri, agar mereka yang begitu penasaran tak lagi berani menginjakkan kaki di rumahnya. Meskipun bertentangan dengan prinsipnya yang tak suka melawan wanita, kali ini dia harus melakukannya.
"Kakak, pagi-pagi begini mau pergi ke mana?" suara Meera membuyarkan lamunan.
Mateo sejenak terdiam, memikirkan jawaban yang tepat. "Aku mau berjoging," sahutnya.
Meera tak menunjukkan kecurigaan, karena memang kakaknya itu sering berjoging setiap akhir pekan. Namun, ada sesuatu yang membuatnya mengerutkan dahi. "Tumben sekali Kakak berjoging di jam seperti ini. Biasanya Kakak bangun saat subuh. Kita bahkan tak pernah bisa joging bersama karena itu."
Mateo tersenyum sinis. "Itu karena kau yang suka bangun kesiangan," ujarnya santai.
Meera hanya mengangkat bahu tanpa membantah. "Kalau begitu, berhubung aku sedang libur dan sudah bangun, ayo kita joging bersama! Aku akan mengambil jaket dulu. Kakak tunggu di sini, ya." Dia bergegas masuk ke kamar.
Keadaan ini harus segera dihindari Mateo. Dia tak bisa membiarkan adiknya ikut.
"Aku terburu-buru. Kalau terlalu lama, matahari semakin tinggi. Kita akan pergi bersama lain kali. Aku pergi dulu!"
"Kakak! Tunggu! Aku sudah menemukan jaketku!" teriak Meera dari dalam kamar.
Mateo tak peduli, dan dengan cepat meninggalkan rumah sebelum adiknya sempat menyusul.
Meera keluar dari kamar tepat ketika suara pintu rumah tertutup. Dia berlari keluar dengan langkah cepat, tapi sayang, sosok kakaknya sudah tak tampak di mana pun. Kepergian yang tiba-tiba itu membuatnya kesal.
Mateo merasa sedikit lega karena berhasil berada di luar jangkauan adiknya. Dia mengenakan hoodie, lalu keluar dari tempat persembunyiannya dan beranjak menuju tujuan.
***
Vila yang terbentang di depan mata Mateo tampak luas dan megah, dengan bangunan klasik dua lantai yang dikelilingi oleh hamparan rumput hijau serta tanaman yang tertata rapi. Tempat itu begitu indah, seolah menyatu dengan alam. Satu kata yang terlintas di benaknya untuk menggambarkan keseluruhan vila ini yaitu elegan.
Mateo tak menemui hambatan saat melewati pos penjagaan. Cukup memperlihatkan kartu nama yang diberikan oleh Serina, dan penjaga pun mengizinkannya masuk.
Seorang pelayan mengantarkan Mateo memasuki vila, tapi hanya sampai ruang tamu. Setelah itu, pelayan paruh baya itu meninggalkannya sendirian. Mateo diminta menunggu, tapi dia tak berniat menuruti permintaan itu. Dia pun memutuskan untuk menjelajah area vila.
Bagi Mateo, tak ada orang yang bisa dipercaya di dunia ini, termasuk Serina dan Hillary yang belum lama dia temui. Dia tak sebodoh itu untuk langsung mengikuti rencana wartawan penuh tipu muslihat.
Mateo melangkah menuju lantai dua, suasana masih sepi. Hal itu tak mengejutkannya, mengingat Serina mengatakan bahwa The Pearl Villa hanya dihuni oleh Hillary dan para pekerja vila. Namun, dia tak ingin lengah hanya karena perkataan itu. Dia harus tetap waspada.
Sebuah pintu di lantai atas tiba-tiba terbuka, membuat Mateo segera merapat ke dinding balkon interior. Dari tempatnya berdiri, dia bisa memandang langsung ke ruang utama di bawah. Ruangan itu tampak lapang dengan langit-langit tinggi dan perabotan mewah yang tersebar di setiap sudut. Di bawah sana, dia juga melihat pelayan yang tadi mengantarkannya sedang kebingungan.
Tap, tap, tap ...
Langkah kaki terdengar lambat, membuatnya harus tenang dan sabar menunggu. Hingga akhirnya, seorang wanita berjalan tanpa menyadari kehadirannya. Mateo mengenali sosok itu sebagai Hillary, yang kini memutar kepala sambil memijat tengkuk. Gestur itu tampak seperti seseorang yang lelah setelah bekerja keras.
"Bagaimana kau bisa berada di sana?"
Rencana Mateo untuk menyeret Hillary dan menguncinya di sebuah ruangan mendadak terhenti. Pelayan yang tadi tampak kebingungan kini berdiri memergokinya, membuat Hillary dengan cepat menoleh.
Seketika mata Hillary melebar. "Kau ...!"
"Aku hanya mencari kamar kecil, tapi tak menemukannya."
"Kau pikir kau ada di mana sekarang?!" Hillary berseru tanpa mengubah ekspresinya yang terkejut.
"The Pearl Villa," jawab Mateo dengan nada polos.
Hillary mengerutkan dahi. "Kau tak belajar sopan santun? Lebih baik gunakan kamar kecil orang lain daripada menyelinap masuk tanpa izin pemilik rumah. Apa kau tak tahu hal dasar seperti itu?"
"Butuh waktu lebih dari sepuluh menit untuk mencapai gerbang. Selain itu, rumah orang lain yang kau maksud tidaklah dekat. Aku harus berjalan lima belas menit untuk mencapainya. Sedangkan membuang air kecil tak bisa ditunda-tunda. Aku bukan seseorang yang mengompol setelah dewasa," kata Mateo dengan ringan, tapi tersirat sedikit keisengan.
"Kebanyakan pria yang terdesak akan membuangnya di balik pohon. Tadi, aku melihat beberapa ketika memasuki halaman vilamu. Jika tak keberatan, aku bisa menyiramnya pagi ini. Asal kau tahu, urine manusia mengandung unsur makro yang sangat diperlukan oleh tanaman, sama seperti urine sapi dan kelinci. Kau bisa menjadikannya sebagai alternatif pupuk cair organik. Bagaimana?"
Hillary menatap Mateo dengan jijik, sambil menahan rasa mual. "Bagaimana apanya?! Aku sama sekali tak tertarik!"
Mateo menghela napas panjang. "Bahkan, saat aku mengatakan gratis, itu tak mengubah ketertarikanmu. Kalau begitu, bisakah kau menunjukkan jalan menuju kamar kecil? Sejujurnya, aku sudah sangat kesulitan menahan rasa sakit di kantong kemihku."
Awalnya, Hillary berniat menyerahkan urusan Mateo kepada pelayan, tapi saat dia menoleh, pelayan itu susah tak ada. Terpaksa, dia yang harus mengantarkan Mateo.
"Kau benar-benar tinggal seorang diri di vila ini?" tanya Mateo sambil memperhatikan sekeliling.
"Kau seharusnya sudah mendengar dari Serina," jawab Hillary ketus.
"Aneh saja, seorang wanita tinggal sendirian di tempat sebesar ini. Tidakkah merasa kesepian?" Mateo menambahkan, mencoba merespons dengan nada akrab.
Hillary berhenti saat tangannya menyentuh gagang pintu. Sesaat suasana hening sebelum dia membalikkan badan. "Kau yang aneh! Bukan aku!" ujarnya kesal, lalu membuka pintu lebar-lebar. "Kau bisa menggunakan kamar kecil di kamar ini. Jangan lupa untuk menyiramnya dengan sangat bersih. Apa kau mengerti?!"
Mateo tak menjawab, hanya tersenyum, kemudian melangkah melewati pintu. Namun, langkahnya terhenti dan dia berbalik menghadap Hillary lagi.
Hillary yang menyadari langkah Mateo terhenti, menoleh dengan mencebik. "Kenapa? Aku tak punya celana ganti untuk pria sepertimu. Jadi, cepat selesaikan urusanmu. Aku—"
Kata-katanya terhenti ketika Mateo tiba-tiba membekap mulutnya. Mata Hillary membulat sempurna, dan tubuhnya seketika membeku. Hanya gumaman tak jelas yang keluar dari mulutnya.
"Ssttt ...." Mateo menyeringai. "Kalau berteriak, semua orang akan tahu."
Hillary berusaha melawan, tapi belum sempat lepas, dia diseret ke dalam kamar. Mateo segera menutup pintu dan menguncinya rapat-rapat.
