Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Chapter 5: Jejak Masa Lalu

Teriakan itu mencapai telinga Serina dan Meera, memaksa keduanya bergegas menuju asal suara. Mereka menemukan Hillary tengah berhadapan dengan Mateo, yang tampak canggung di ambang pintu kamar kecil.

“A—apa yang kau lakukan di kamar kecil?!” suara Hillary bergetar.

“Memangnya apa yang biasanya orang lakukan di kamar kecil?” Mateo menjawab dengan nada datar, tak paham dengan maksud pertanyaan Hillary.

"Kau tadi ...! Kau bergetar! Berguncang!"

Mateo hanya merasa lega setelah buang air kecil, karena dia menahannya begitu lama akibat pekerjaan dapur yang tak bisa ditinggalkan. Dia tak pernah menyangka seseorang akan masuk, di saat dirinya memiliki kebiasaan buruk tak mengunci pintu kamar kecil.

Sadar tak diperhatikan aksi protesnya, Hillary mengikuti arah pandangan Mateo. Dia dengan cepat menyadari bahwa dada basahnya yang kini terlihat menerawang menjadi pusat perhatian. Dalam sekejap, wajahnya berubah marah dan tanpa ragu melayangkan tamparan keras ke pipi Mateo.

Plak!

Suara tamparan itu menggema hingga ke meja pelanggan, yang berhenti menyantap makanan mereka untuk sesaat. Sementara itu, Serina dan Meera yang turut menyaksikan kejadian hanya bisa tertegun.

Mateo menyentuh pipi yang baru saja ditampar, perlahan memutar kepalanya untuk kembali menatap Hillary. Kemarahan masih terlihat jelas di wajah wanita itu, dengan kedua tangan kini memeluk tubuhnya sendiri seolah berusaha melindungi sisa-sisa harga dirinya.

“Minggir!” teriak Hillary, mendesak Mateo keluar dari kamar kecil itu.

Mateo tak memiliki pilihan lain, terpaksa melangkah keluar. Rasa sakit masih membekas di pipinya dan ini kali pertama dirinya ditampar oleh seorang wanita.

Meera tertawa kecil. "Kakak tak mengunci pintunya lagi, ya?" ucapnya, memahami kebiasaan buruk sang kakak.

Mateo mendesah kesal, kembali mengusap pipinya yang masih terasa panas. Semua ini terjadi hanya karena dia tak sengaja memperhatikan baju Hillary yang kotor.

***

Suara kembang api meledak di udara, menghiasi malam dengan percikan warna-warni yang indah. Orang-orang berkumpul di bawah langit malam, tersenyum menyaksikan pertunjukan itu. Di Honolulu, rumah makan yang sudah kosong dari pelanggan, empat orang duduk dalam suasana yang jauh dari meriah.

Mateo tak berniat melepaskan ketiga wanita di hadapannya begitu saja. Dalam pandangannya, mereka pantas diberi beberapa pertanyaan—atau lebih tepatnya, sebuah interogasi.

Meera awalnya percaya diri dengan keputusannya membuka lowongan pekerjaan. Dia berpikir kakaknya akan setuju, mengingat keputusan itu telah banyak membantu mereka malam ini.

“Kakak ...!”

Namun, baru satu kata terlontar dari mulutnya, Meera sudah kehilangan keberanian. Dia menunduk, merasa terintimidasi oleh tatapan tajam sang kakak. Di sisi lain, Hillary duduk dengan wajah berpaling, masih dipenuhi amarah akibat kejadian di kamar kecil tadi.

“Izinkan kami memperkenalkan diri. Aku Serina dan wanita di sampingku ini bernama Hillary. Kami datang dengan niat baik, untuk melamar pekerjaan," kata Serina akhirnya, memecah kesunyian di antara mereka.

Mateo tersenyum sinis. “Mana ada manajer perusahaan yang ingin bekerja sebagai pelayan,” katanya, mengingat percakapan pertamanya dengan Hillary. “Katakan maksud kedatangan kalian dengan jelas. Aku takkan menoleransi apa pun yang dapat membawa dampak buruk bagi rumah makan kami.”

Meera tak tahu-menahu tentang percakapan serius ini, mulai merasa cemas. Dia juga baru sadar bahwa orang yang diterima bekerja di rumah makan mereka bukanlah wanita sederhana. Pakaian mereka saja sudah cukup mencerminkan kelas sosial yang berbeda.

“Meera, kau bisa masuk ke kamar,” ucap Mateo tiba-tiba, membuat Meera menatap sang kakak.

“Kenapa? Aku bagian dari rumah makan ini dan aku juga harus tahu tentang apa yang berkaitan dengannya,” protes Meera.

“Ini tak berkaitan dengan rumah makan. Kau bisa memberikan ruang bagi kami untuk membahas persoalan pribadi. Mereka adalah tamuku," tegas Mateo.

Meera mengepalkan tangan. Dia tak terima, tapi dia juga tak bisa menolak perintah kakaknya. Dengan berat hati, akhirnya dia bangkit dan menuruti permintaan itu.

Setelah Meera pergi, Mateo tak ingin membuang waktu lagi. Dia langsung berkata, "Kalian wartawan?"

Serina sedikit terkejut mengetahui identitasnya terbongkar, padahal dia sudah berusaha menyembunyikannya. Tanpa banyak bicara, dia mengeluarkan kartu nama dari saku dan menyodorkannya.

"Aku Serina Williams, seorang wartawan di Meteor Media. Kau tak salah mengenali temanku sebagai seorang manajer."

Mateo tak menyukai keberadaan wartawan. Karena alasan inilah, dia dan adiknya terpaksa berpindah-pindah tempat tinggal. Baru sekarang hidup mereka sedikit tenang, dan kini ketenangan itu kembali terusik.

Menyadari bahwa mereka akan segera diusir, Serina buru-buru berkata, "Tuan Mateo, mohon dengarkan penjelasan kami terlebih dahulu. Ini tak seburuk yang kau bayangkan. Aku sudah mengumpulkan banyak data mengenai kehidupanmu. Mengenai kejadian silam, harus diluruskan. Aku yakin bahwa kau bukanlah—"

“Berhenti bicara,” potong Mateo tajam. “Aku tak ingin adikku mendengarnya.”

Tatapan Mateo terarah ke tangga, berusaha menangkap tanda-tanda pergerakan dari atas. Dalam keheningan yang berlalu beberapa saat itu, dia menyimpulkan bahwa tak ada yang mendengar pembicaraan selain mereka bertiga.

“Kita bicarakan lagi hal ini besok. Katakan padaku, kapan dan di mana kita akan bertemu," putus Mateo.

Serina cepat menangkap situasi. "Sepuluh pagi, di Marine Hotel," jawabnya yakin.

Mateo menggeleng. “Kita tak bisa berbicara di tempat yang rawan dengan masalah sistem keamanan.”

Serina sejenak terdiam, mempertimbangkan ulang pilihannya. Marine Hotel memang tempat yang rahasia, tapi dia lupa mempertimbangkan aspek keamanannya. Ada banyak tamu yang akan silih berganti memasuki hotel tersebut.

“Kalau begitu, The Pearl Villa, tempat di mana Hillary tinggal. Di sana sistem keamanannya cukup tinggi dan hanya ditempati seorang diri. Tidak akan ada yang datang tanpa izin pemiliknya,” usul Serina.

Hillary yang mendengar keputusan itu langsung membelalak. Raut tak setuju jelas terlihat di wajahnya. Bagaimana bisa rumah pribadinya yang tenang akan menjadi tempat pembicaraan rahasia yang melibatkan Mateo, pria yang baru saja ditemuinya?

“Will, apa kau sudah gila?!” protes Hillary.

Serina menoleh pada Hillary, berkata dengan nada meyakinkan, “Jhand, aku membutuhkan bantuanmu. Kami takkan mengusikmu. Kau bisa tetap beraktivitas seperti biasa selagi kami berbicara.”

Hillary tak punya kata-kata untuk menjawab. Tak pernah sekali pun dia membiarkan orang asing menginjakkan kaki di rumahnya, dan sekarang, pria bagaikan tumbuhan layu yang membawa serta masa lalu kelam ini akan meninggalkan jejak di setiap sudut kediamannya.

Dunia ini memang kejam! pikir Hillary.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel