Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Gundah

Aku menatap langit biru dari balik kaca jendela kelas. Dosen di depan sedang menjelaskan soal struktur organisasi dan fungsi manajerial, tapi suaranya hanya terdengar seperti gema jauh yang tak menyentuh kesadaranku.

Tanganku menopang dagu, dan mataku terus mengikuti awan yang berjalan lambat. Seandainya aku bisa seperti itu, hanya perlu mengikuti arus angin tanpa harus memilih arah, tanpa harus bertabrakan dengan harapan dan kenyataan.

Tapi hidup nggak sesederhana itu. Terutama setelah semalam.

“Rey! Fokus!” tegur Mila pelan sambil menyikut lenganku.

Aku hanya mengangguk kecil tanpa mengalihkan pandangan. Fokus adalah hal terakhir yang bisa kulakukan sekarang. Pikiranku kacau, seperti benang kusut yang tak tahu ujungnya di mana. Suara Ayah masih terus berdengung seperti nyamuk yang mencari darah segar, tapi mengganggu dan tak bisa diabaikan.

“Kamu harus mau masuk ke pesantren,” katanya malam itu, dengan nada tak bisa ditawar. “Menimba ilmu di sana dan menjadi seorang penghafal Al-Qur’an. Kalau kamu bisa penuhi syarat ini, silakan. Mau melakukan apa pun setelah itu, Ayah tidak akan melarang lagi. Bahkan, termasuk kecintaanmu pada dunia balap motor itu.”

Fiuh! Sungguh menyebalkan.

Kenapa aku harus melakukan sesuatu yang bahkan belum tentu jadi bagian dari mimpiku? Aku bukan menolak untuk menimba ilmu agama, bukan juga membenci pesantren, tapi keinginan Ayah terasa seperti rantai yang dibungkus dalih restu, tapi tetap saja membuatku kehilangan arah yang benar-benar ingin kutempuh.

Bagaimana bisa aku menghafal ayat-ayat suci saat pikiranku masih belum hafal pada diriku sendiri?

Awan di luar jendela terus bergerak. Dan aku masih di sini, diam-diam berharap bisa melayang bersama mereka, pergi ke tempat di mana aku bisa jadi diriku sendiri, bukan cerminan dari harapan orang lain.

Apa Ayah pikir aku tinggal pilih baju terus langsung masuk dunia yang sama sekali tak ingin aku masuki? Dunia yang terasa begitu jauh dari napas, dari jantung, dari nadi yang selama ini memompa mimpi-mimpiku sendiri. Aku bahkan nggak tahu harus mulai dari mana, apa yang harus kupelajari, atau bagaimana caranya menyesuaikan diri di tempat yang bahkan tidak kupilih. Dan yang lebih parah, aku nggak bisa mengucapkan satu pun kata penolakan terhadap syaratnya itu. Kata-kataku selalu gagal keluar, tenggelam dalam rasa bersalah yang tak kumengerti asalnya.

Suara ketukan jari di jendela tiba-tiba mengejutkanku, seperti menarik paksa kesadaranku dari ruang gelap dalam kepalaku.

Aku menoleh cepat, dan di luar, berdiri seseorang dengan hoodie hitam dan senyum menyebalkan yang sangat kukenal.

Zayden.

Aku mengerutkan alis. Cowok itu memang keterlaluan, selalu muncul di saat yang nggak terduga, seolah punya radar khusus yang aktif tiap kali pikiranku sedang berantakan. Jendela ruang kuliah yang langsung menghadap koridor luar membuatnya dengan mudah menyelinap lewat situ. Tangan kirinya menggenggam buku tebal, mungkin hasil berburu di ruang arsip Sejarah lagi.

Tanpa suara, dia menunjuk ke arah luar kelas, menyiratkan isyarat ‘aku tunggu di kantin.’

Aku melirik dosen sebentar, memastikan bahwa perhatiannya masih terfokus pada proyektor, lalu menoleh ke Mila di sebelahku. “Aku keluar sebentar. Titip absen kalau dosen ganti slide, ya.”

Mila mengangguk malas tanpa menoleh. “Cepetan balik. Jangan sampai ketahuan. Kalau nggak, aku ikut kabur juga.”

Tanpa menunggu lagi, aku berdiri dan segera melangkah keluar lewat pintu belakang kelas. Begitu pintu tertutup di belakangku, angin siang langsung menyambut wajahku, membelai pipiku dengan lembut seperti menyadarkan bahwa dunia di luar kelas ini masih berputar, meski pelan. Aku menarik napas panjang, membiarkan udara masuk hingga ke dada, berusaha menetralisir sesak yang sejak tadi mengendap.

Dengan langkah lebar dan sedikit tergesa, aku menyusuri koridor menuju kantin. Dan seperti yang sudah kuduga, pria itu sudah duduk manis di sudut meja dekat jendela, dengan buku tebal terbuka di hadapannya.

“Kebiasaan,” kataku begitu tiba, sambil menarik kursi di sampingnya dan duduk. “Bagaimana kalau dosen itu tiba-tiba melihatmu mengetuk jendela pas kelas masih jalan?”

Zayden nyengir tanpa rasa bersalah. “Nggak sengaja aku tadi melihat wajah jelakmu sedang melamun. Takutnya kau kesurupan pula.” Dia tertawa kecil, seperti biasa, menyebalkan tapi tak pernah benar-benar membuatku marah.

Aku mendengus, menyilangkan tangan di dada tanpa membalas ejekannya. Sudah terlalu biasa. Begitulah Zayden. Selalu punya cara untuk menyelip di sela-sela hariku dengan nyinyiran atau keanehannya.

“Hari ini kau yang traktir,” kataku datar, tapi jelas.

Zayden memutar bola mata malas, lalu menghela napas panjang seolah sedang menjalani beban hidup yang berat. “Kebiasaan,” ulangnya. “Mau makan apa?”

“Bakso kuah dan jus orange.”

Tanpa banyak komentar lagi, Zayden mengangguk dan bangkit, lalu melangkah menuju salah satu Mbak penjual makanan di sisi kantin. Aku yang tinggal menunggu hanya duduk sambil mengamati sekeliling. Kantin siang ini sepi, hanya terdengar suara sendok beradu pelan dengan piring dan derit kipas angin tua yang menggantung di langit-langit.

Mataku kembali tertuju ke buku milik Zayden yang masih terbuka. Rasa penasaran muncul begitu saja, dan tanpa pikir panjang aku mengulurkan tangan, membalik beberapa halaman secara acak.

Tulisan tangan kuno, ilustrasi pudar, dan catatan kaki kecil memenuhi halaman demi halaman. Semuanya tampak seperti naskah yang lebih cocok berada di museum daripada dibawa-bawa oleh mahasiswa.

Lalu mataku menangkap sebuah kalimat yang membuat dahiku mengernyit. “Tahun satu Raka Langit?” gumamku pelan. Apa maksudnya? Apa dulu pernah ada tahun dengan penamaan seperti itu? Kenapa terdengar asing dan janggal?

Tanganku menahan halaman itu beberapa detik lebih lama, mencoba menemukan konteks dari kata-kata itu. Tapi yang kutemukan hanya kalimat-kalimat yang seperti ditulis dalam gaya lama, berlapis metafora, sulit dimengerti.

Dengan helaan napas kecil, aku mengangkat bahu, mencoba tak ambil pusing. Pikiranku sedang penuh, aku tak ingin menambahkan teori aneh lagi ke dalamnya. Perlahan kututup kembali buku itu dan mendorongnya ke tempat semula.

Tak berselang lama, Zayden kembali dengan nampan berisi satu mangkuk bakso kuah, satu piring nasi goreng dan dua gelas jus orange.

“Kalau ada yang bilang kamu itu merepotkan, mereka benar,” katanya sambil duduk, meletakkan nampan dengan gerakan santai. “Tapi entah kenapa, aku tetap menurutimu.”

Aku tak membalas. Hanya tersenyum kecil, sekilas. Senyum yang mungkin tak benar-benar menggambarkan apa yang sedang kuhadapi, tapi cukup untuk menyembunyikan semuanya. Dengan perlahan, aku mulai menyantap makananku. Mungkin karena kepalaku penuh dengan pikiran, perutku pun ikut memberontak. Rasa kuah bakso yang panas menghangatkan tenggorokanku, meski tidak banyak membantu menenangkan kegelisahan di dalam dada.

“Ohiya, Zay.”

Zayden bergumam, singkat. Hanya beberapa menit berselang, nasi goreng di hadapannya sudah tandas. Pria kutu buku, yang obsesi dengan sejarah itu, kini kembali tenggelam dalam dunia lembaran-lembaran berdebu di depannya.

“Ayah menyuruhku untuk berhenti balapan liar,” kataku pelan, lebih kepada udara daripada padanya.

“Ya, itu baguslah,” jawabnya santai, masih tanpa mengalihkan pandangan dari halaman yang sedang ia baca.

Hah! Meminta pendapat padanya sama saja seperti bicara pada tembok. Tidak membantu sama sekali.

“Zayden!” Panggilku sembari menolehkan kepala ke arahnya. Namun pria itu tetap tak mengangkat wajahnya dari buku tebal yang tengah dibacanya. Hanya gumaman pendek yang lolos dari bibirnya.

“Apa kau percaya tentang mimpi?” tanyaku akhirnya, menembus sunyi yang menggantung di antara kami.

Zayden menoleh pelan, menghentikan gerak tangannya yang sedari tadi membolak-balik halaman. Sorot matanya berubah, kini lebih serius.
Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel