Mimpi itu lagi
Mata kami saling mengunci. Hening membentang di antara kami, seolah dunia berhenti berputar. Tak ada suara lain selain desir angin malam dan detak jantungku yang memburu tak karuan.
“Aku harap kamu nggak lupa taruhan finalnya,” lanjutnya dengan nada santai tapi penuh tantangan, menusuk egoku.
Tentu saja aku ingat. Mana mungkin aku lupa. Ini bukan sekadar taruhan biasa. Ini soal harga diri. Soal siapa yang akan tunduk dan siapa yang menang.
Namun lamunanku buyar seketika saat ponselku berdering nyaring, mengiris keheningan seperti sembila pisau. Nama yang terpampang di layar membuat darahku seolah berhenti mengalir.
Tanpa pikir panjang, aku langsung cabut dari sana. Suara teriakan teman-temanku menggema di belakang, tapi tak lagi kupedulikan.
Motor kugasak menembus gelapnya malam. Udara dingin menerpa wajahku, tapi tak cukup untuk meredakan kekacauan di kepalaku. Berkali-kali ku tarik napas dalam, mencoba menenangkan diri, namun percuma karena yang terus menggema di pikiranku hanyalah satu, hukuman macam apa lagi yang menungguku kali ini?
“Assalamu’alaikum,” ucapku pelan saat melangkah masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu, Ayah dan Ibu sudah menunggu, duduk berdampingan di double seat sofa dengan beberapa cemilan yang terhidang di atas meja.
Dengan langkah pelan, aku mendekat.
“Duduklah!” Perintah Ayah tegas.
Aku menurut, duduk di hadapan mereka dengan jantung berdebar tak karuan. Ada sesuatu yang terasa berbeda malam ini. Terlalu berbeda. Bahkan jauh lebih menegangkan dibanding saat aku digiring ke kantor polisi karena balapan liar.
Aku menunduk. Tapi dari sela bulu mata, aku bisa melihat Ayah tampak seperti sedang menahan sesuatu.
"Apa kamu menang?”
Kuangkat kepala, terkejut. Bukan itu pertanyaan yang kupikir akan keluar. Biasanya, amarah. Nada tinggi. Ceramah. Tapi sekarang?
“Ayah... baik-baik saja, ‘kan?” tanyaku ragu.
“Apa Ayah kelihatan nggak baik-baik saja?” sahutnya datar, tak tersenyum, tapi tak juga menunjukkan amarah.
Aku hanya mengangguk pelan. Deg-degan makin menjadi-jadi.
“Apa kamu senang jadi pembalap?”
Pertanyaan itu membuat wajahku langsung bersinar. Semangatku meledak. Dengan antusias, aku mulai bercerita tentang balapan, suara mesin, detik-detik sebelum garis finish, tentang bagaimana aku selalu merasa hidup saat berada di atas motor.
Ayah menghela napas panjang. Dalam. Berat.
“Baiklah,” katanya akhirnya. “Ayah tidak akan melarangmu lagi melakukan apa pun yang kamu inginkan.”
Pernyataan itu sontak membuatku melonjak bahagia.
“Tapi dengan satu syarat.”
Langkah semangatku seketika terhenti. Aku menatap Ayah dan Ibu secara bergantian. Keduanya tersenyum. Senyuman yang penuh makna. Alarm di kepalaku pun berbunyi menandakan bahwa hal ini bukanlah hal yang baik.
“Kamu harus mau masuk ke pesantren,” ujar Ayah mantap. “Menimba ilmu di sana dan menjadi seorang penghafal Al-Qur’an. Kalau kamu bisa penuhi syarat ini, silakan. Mau melakukan apa pun setelah itu, Ayah tidak akan melarang lagi. Bahkan, termasuk kecintaanmu pada dunia balap motor itu.”
“Tapi, Yah—”
“Iya atau tidak sama sekali. Kamu yang putuskan!”
Hening. Dunia seakan berhenti berputar.
Aku tak membantah. Tak mampu. Semua keberanianku runtuh di depan tatapan ayah yang tak bisa kutembus. Tatapan yang tadinya hangat, seketika seperti tembok dingin yang tak bisa kujelaskan.
Tak ada lagi ruang untuk negosiasi. Tak ada satu pun kata yang mampu kubalas. Dadaku sesak seperti dicekik oleh udara yang tak terlihat.
Aku hanya diam, menunduk. “Beri aku waktu untuk memikirkannya, Yah.” Perlahan aku melangkah menjauh, seakan itulah satu-satunya pilihan yang tersisa.
Langkah kakiku menggema di atas lantai marmer yang mengilap. Rumah yang biasanya dipenuhi canda dan suara televisi, malam itu begitu sunyi hingga detik jarum jam terdengar menyakitkan.
Setibanya di kamar, aku membuka pintu perlahan lalu menutupnya rapat di belakangku. Tak ada suara. Tak ada amarah. Hanya diam yang menyiksa.
Aku langsung menuju kamar mandi, membasuh wajah, menyikat gigi, berganti pakaian, lalu kembali ke kamar. Makan malam yang sudah disiapkan di bawah tak kusentuh sedikit pun.
Aku menjatuhkan tubuh ke atas kasur empukku, ranjang yang biasanya mampu meredakan penat. Tapi malam ini, kasur itu terasa dingin. Tak nyaman.
Aku hanya dapat menghela napas berat dan menatap hampa langit-langit kamarku dengan perasaan dan pikiran yang kacau. Apa yang harus aku lakukan?
Ini bukanlah sesuatu yang mudah untuk kuputuskan.
Pesantren, balap motor, keduanya seperti dua dunia yang saling menolak satu sama lain.
Semakin aku mencoba mengabaikannya, semakin kuat ia menekan batinku.
Aku membalikkan badan, menarik selimut hingga ke dada. Tapi kehangatannya tak mampu meredakan bara yang menyala dalam dadaku. Sia-sia. Napasku tersengal pelan, jantungku berdetak lambat namun berat seperti gema langkah makhluk tak kasatmata di lorong gelap yang sunyi.
Kupaksa memejamkan mata, berharap bisa melarikan diri sejenak dari keruwetan yang menggumpal di kepala. Tapi semakin kesadaranku menipis, semakin dalam aku tenggelam seolah diseret arus ke tempat asing yang entah kenapa mulai terasa familiar.
Dan seperti malam sebelumnya, mimpi itu datang kembali. Menghantuiku. Menjeratku hingga aku terbangun dengan napas terengah dan dada sesak, seolah baru saja lolos dari sesuatu yang tak terlihat. Lagi-lagi mimpi itu. Sama. Identik. Dan terasa makin nyata setiap kali aku memejamkan mata.
Langit-langit kamar menyambutku dalam remang, tapi hatiku masih tertinggal di tempat lain, di dalam kegelapan lembap yang terasa kuno, seperti penjara batu di zaman yang telah lama terkubur sejarah.
Aku menutup mata sejenak, mencoba mengingat kembali potongan-potongan mimpi yang membekas di benakku.
Seorang wanita duduk di sudut ruangan sempit dan gelap. Tangan kurusnya memeluk lutut yang tertarik ke dada, bahunya bergetar dalam isakan sunyi. Rambut panjangnya kusut, menjuntai hingga menyentuh lantai tanah basah. Dan wajahnya, tidak salah lagi itu wajahku. Tapi bukan aku.
Dia adalah aku dalam versi lain.
Suara lirih keluar dari bibirnya, seperti doa, seperti ratapan. Tapi seakan waktu menahannya dari telingaku. Mulutnya bergerak, namun dunia sekitarnya seolah dibungkam oleh kabut pekat. Tidak ada yang bisa kudengar. Hanya gema kesunyian yang menggigit.
Aku menggapai dalam mimpiku, mencoba mendekatinya. Tapi tubuhku selalu terkunci di tempat, seolah tanah di bawah kakiku menolak bergerak.
Dia menengadah. Matanya... matanya penuh luka. Dan saat pandangan kami bertemu, entah kenapa, hatiku terasa ditikam oleh sesuatu yang tak bisa kugambarkan. Aku mengenal rasa sakit itu. Tapi aku tak tahu dari mana datangnya.
Rasa itu menyergapku tiba-tiba begitu nyata, begitu menusuk, seperti jarum halus yang menembus perlahan ke dalam dada, meninggalkan jejak panas dan perih yang tak kasatmata. Tenggorokanku tercekat, seolah ada gumpalan tak kasatmata yang menahan suaraku. Mataku memanas, tapi aku bahkan tak tahu kenapa air mata ini nyaris jatuh.
Dadaku berat. Bukan seperti sedang kehabisan napas karena berlari, tapi seperti memikul beban yang tak terlihat, beban yang tak kukenal, tapi terasa begitu akrab. Seakan tubuhku mengingat sesuatu yang pikiranku lupakan. Dan saat aku menatapnya, wanita itu, rasa itu mengoyak seperti luka lama yang dibuka paksa.
Siapa dia sebenarnya? Bukankah ini hanya sekedar bunga tidur? Tapi ini terlalu menyakitkan untuk disebut sebagai mimpi.