Diantara dua pilihan
Aku menggeleng perlahan. “Sudahlah, lupakan saja,” gumamku, mencoba menarik kembali kata-kata yang sudah terlanjur keluar. Aku tak yakin ingin membahasnya lebih jauh.
“Dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim, mimpi itu ada tiga, Rey,” ucapnya. “Mimpi yang benar sebagai kabar gembira dari Allah, mimpi yang datang dari bisikan hati sendiri, dan mimpi dari setan yang menakut-nakuti.”
Aku menunduk, kedua tanganku mengepal erat di atas pangkuan. “Bagaimana jika mimpi itu terus datang? Lagi dan lagi seolah waktu berhenti hanya untuk menyeretmu kembali ke dalamnya.”
Kami saling berpandangan. Ada diam yang panjang di antara kami. Lalu Zayden menghela napas dalam. “Entahlah,” katanya pelan. “Aku bukan ahli tafsir mimpi. Tapi mimpi seperti apa yang sering kamu alami?”
Aku menggeleng lagi. “Bukan mimpi apa-apa,” kataku cepat, meski aku sendiri tak yakin dengan ucapanku. Kalimat itu terasa ringan di bibir, tapi berat saat bergema di dada. Pandanganku menerobos keramaian kantin kampus yang mulai dipenuhi oleh lalu-lalang mahasiswa. Suara gelak tawa, dentingan sendok, dan panggilan di meja kasir seharusnya mengisi ruang dengar, namun semua itu terdengar jauh, seperti ditarik ke dalam lorong hampa. Samar. Hening yang mulai menyelimuti.
Dan di tengah keramaian yang perlahan kehilangan makna itu, bayangan itu datang lagi.
Wajah sendu dan pucatnya, yang seringkali hadir seperti kabut yang merambat dalam pikiran. Mata kosongnya, yang seolah menyimpan ribuan luka yang tak pernah ia ucapkan. Setiap kali dia hadir dalam mimpiku aku tak sekedar melihatnya, namun aku seolah menjelma menjadi dirinya.
Aku dapat merasakan semuanya.
Rasa sakit itu menusuk dada seperti serpihan kaca yang ditanamkan perlahan. Perasaan sepi dan kesedihan yang tak memiliki bentuk, dan jeritan bisu yang menghancurkan ketenangan batin. Aku merasakannya seolah penderitaan itu milikku sendiri. Dan meski aku tahu aku bukan dia, entah mengapa, batas antara kami perlahan mengabur.
Seakan ada benang tak terlihat yang mengikat kami berdua dalam ikatan yang tak bisa dijelaskan oleh logika. Sebuah ikatan yang tak kumengerti, tapi terus menarikku masuk lebih dalam, malam demi malam, mimpi demi mimpi.
Namun, wanita itu bukanlah aku, tapi rasa sakitnya bisa aku rasakan di dunia nyata saat aku terbangun.
“Kau menangis, Rey?” Suara Zayden menyadarkanku.
Aku tersentak, lalu buru-buru mengusap air mata yang entah sejak kapan mengalir dari pelupuk mata. Air mata yang muncul tanpa aku sadari, seperti dipanggil oleh rasa kesedihan yang tak kupahami.
Ada apa sebenarnya denganku? Kenapa mimpi itu terasa begitu nyata dan meninggalkan bekas yang lebih dalam dari sekadar bunga tidur?
Kenapa wajah wanita itu seperti memanggilku, seperti sedang meminta pertolongan padaku?
“Aku benar-benar pusing,” gumamku pelan, nyaris tak terdengar, lebih ditujukan pada kekacauan dalam kepalaku sendiri.
“Kau sendiri yang membuatmu pusing, Rey,” balas Zayden santai, seolah tak peduli pada gejolak batinku. Ia lalu membuka tas ranselnya dan mengeluarkan buku usangnya yang telah sobek di beberapa bagian, seperti potongan masa lalu yang terlalu sering dibaca dan diraba. Responnya yang dingin membuatku mendengus keras.
“Apa yang harus aku lakukan dengan permintaan Ayah?” tanyaku tiba-tiba. Suaraku mengandung beban yang tak bisa kubagi bahkan dengan diriku sendiri.
Zayden hanya mengangkat bahu, acuh tak acuh seperti biasanya. Tak ada nasihat, tak ada simpati, hanya keheningan yang memanjang di antara kami. Hanya suara halaman bukunya yang terbalik satu demi satu, berisik dan sunyi di saat bersamaan.
"Di sini tertulis bahwa dia adalah seorang raja yang sangat dermawan dan dicintai oleh rakyatnya," ucap Zayden, matanya terpaku pada baris-baris tulisan yang mulai pudar dimakan usia. "Kalau begitu, seharusnya rakyatnya hidup makmur, bukan?" gumamnya lagi, lebih seperti bicara pada dirinya sendiri. "Tapi kenapa masih banyak yang menderita kelaparan, bahkan—”
“Bisakah kau berhenti menceritakan kisah tak masuk akalmu itu?” potongku, suaraku meninggi, sambil memijat pelipis. Rasanya kepalaku akan meledak kapan saja. Terlalu banyak hal yang saling bertubrukan di pikiranku.
Zayden menutup bukunya dengan pelan, lalu menoleh ke arahku. “Sudah kubilang, hentikan saja hobi berbahayamu itu,” katanya dengan nada rendah namun tegas, seperti peringatan yang dibalut kepedulian.
Aku hanya mendengus kasar.
Dari sekian banyak syarat, mengapa harus itu yang Ayah ajukan? Bukan sekali atau dua kali Ayah memintaku masuk pesantren, sudah berkali-kali. Namun, aku tetap teguh pada pendirianku. Menolak keras masuk ke penjara suci itu dengan dalih hak kebebasan.
Tapi kali ini berbeda. Tawaran Ayah terlalu menggiurkan, dan jujur, setimpal dengan syaratnya. Aku frustasi. Terjebak di antara mempertahankan kebebasanku atau menerima tawarannya, sebuah pintu emas yang mungkin tak akan pernah terbuka dua kali.
"Ini terakhir kalinya Ayah membuat kesepakatan denganmu. Setelah ini, tidak ada lagi negosiasi," katanya tegas malam itu, dengan sorot mata yang tak bisa ditawar.
Aku mengacak rambutku sendiri dengan kasar. Perasaanku meledak-ledak.
Kalau aku menolak, itu berarti aku harus meninggalkan dunia balap motor. Dunia malam. Adrenalin. Asap knalpot. Lintasan basah. Kemenangan penuh teriakan. Dunia yang membuatku merasa hidup.
Tapi kalau aku menerimanya berarti aku menyerahkan diri pada dunia yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Dunia asing yang tak pernah benar-benar aku inginkan menjadi bagian di dalamnya.
"Arrrggghhh!" Aku mengerang frustrasi, mendongak menatap atap seng kantin yang penuh debu dan sarang laba-laba. Dunia terasa sempit, bahkan langit pun seperti mengejekku.
“Dia kenapa?” tanya seseorang tiba-tiba, suaranya terdengar agak cempreng tapi akrab di telingaku. Kursi di depanku ditarik kasar, menimbulkan derit nyaring yang menusuk suasana. Sasa dan Indah duduk di hadapanku dengan alis yang langsung bertaut, menatapku penuh selidik.
Zayden hanya mengangkat bahu, wajahnya tetap datar seperti biasa, nyaris tanpa ekspresi. Sudah bisa ditebak, dia selalu begitu menyimpan kepeduliannya di balik sikap masa bodohnya.
Aku menatap lurus ke dua sahabatku yang tengah sibuk mengaduk kuah baksonya. Sendok mereka berputar di dalam mangkuk, menciptakan pusaran yang nyaris hipnotis di mataku. Kuah panas mengepul, menyebarkan aroma gurih yang biasanya menggugah selera tapi tidak kali ini. Tidak saat pikiranku dipenuhi oleh gemuruh keputusan yang terasa lebih berat dari hidup itu sendiri.
"Kau kenapa, sih?" tanya Indah, nadanya lebih dalam kali ini. “Jangan bilang kau frustasi karena Fajar pacaran sama si Mbak Condor itu?”
Aku mendecak pelan sambil memutar bola mata. Please, bukan urusanku siapa pun pacaran sama siapa. Apalagi si playboy penuh drama itu.
"Aku bakal masuk pesantren."
Pernyataanku meluncur cepat, seperti peluru tanpa aba-aba. Dan benar saja, tiga pasang mata di meja itu langsung membelalak. Mereka terdiam seketika, terpaku seperti patung lilin. Hanya suara denting mangkuk dan hiruk pikuk kantin yang menjadi latar hening mendadak ini.
"Kau bercanda?" seru Sasa sambil celingukan. "Dimana kameranya?"
“Itu udah basi, Re,” tukas Zayden, suaranya terdengar tajam. “Berhentilah bohongin kami.”
Dua gadis itu langsung mengangguk setuju.
Aku menghela napas panjang. “Kali ini aku serius. Aku nggak bercanda dan aku nggak bohong.”
Ketiga sahabatku memandangku seperti sedang melihat sosok baru yang tak mereka kenali. Mungkin wajahku sama, tapi ada sesuatu dalam sorot mataku yang berubah. Aku tahu mereka tahu. Bahwa ini bukan kalimat yang dilontarkan tanpa beban.
"Nggak ada angin, nggak ada hujan, kenapa tiba-tiba?" Indah memecah diam. "Bukannya kau paling anti masuk ke sana?"
Aku menunduk sejenak, sebelum menjawab lirih, “Ini negosiasi terakhir dari Ayah. Kalau aku nolak sekarang, semuanya selesai. Seluruh jalan yang ingin kutempuh, semua yang ingin kukejarkan, hancur begitu saja.”
Sasa langsung menyela, "Terus gimana dengan kesepakatan kalian?”
Aku mengangkat bahu santai. "Itu urusan nanti. Masalah ini jauh lebih penting dari apa pun. Ini menyangkut hidup dan karirku.”
“Kau jangan main-main, Re!” Suara Indah melengking bersamaan dengan dentuman mangkuk yang ia gebrak, kuahnya muncrat, sebagian membasahi meja. Matanya membara, seperti hendak menelanku hidup-hidup.
“Kau tahu dia siapa, kan? Kau tahu risiko apa yang bakal kau tanggung kalau—”
“Aku tahu, In.” Suaraku memotong cepat. Tanganku terangkat, mengibas-ngibas malas seolah ingin menyapu semua kekhawatiran mereka. “Aku akan pikirkan nanti. Kalian nggak usah khawatir .”
“Bagaimana kami nggak khawatir?” Suara Zayden tiba-tiba terdengar, berat dan tajam seperti pisau yang membelah udara. “Ini hidupmu yang kau pertaruhkan, Reyna Maheza. Apa kau benar-benar yakin pria itu tidak menyimpan niat lain? Apa kau bisa menjamin dia tidak akan melakukan sesuatu padamu?”