Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Kecelakaan

Tepat pukul satu siang, jadwal mata kuliah terakhir, akhirnya selesai. Kuhentikan langkah kakiku begitu suara familiar menyusup ke dalam gendang telingaku, memanggil-manggil namaku dari kejauhan.

Helaan napas pelan lolos dari bibirku saat kulihat siapa yang datang. Moge hitam. Jaket kulit. Jeans ketat. Ya, seperti biasa. Pria itu lagi.

Langkahnya santai, seolah dunia tak pernah menyimpan ancaman untuknya. Ia berhenti tepat di depanku, menyunggingkan senyum miring yang lebih terasa seperti ejekan terselubung daripada sapaan tulus.

"Apa kabar?" tanyanya, dengan nada santai seolah kami hanya dua kenalan lama yang kebetulan bertemu.

Aku tidak langsung menjawab. Mataku hanya menatapnya datar, nyaris tanpa ekspresi. Di balik dada, gejolak itu masih belum reda, perdebatan di kantin tadi masih menggema. Kata-kata Zayden terngiang kembali di kepalaku, menusuk lebih tajam dari sebelumnya.

“Apa kau benar-benar yakin pria itu tidak menyimpan niat lain? Apa kau bisa menjamin dia tidak akan melakukan sesuatu padamu?”

Dan sekarang, pria yang mereka cemaskan berdiri di hadapanku. Tatapannya tenang, bahkan terlalu tenang. Tapi justru itulah yang membuatku gusar. Karena aku pun belum sepenuhnya tahu siapa dia sebenarnya.

"Nggak usah basa-basi. Kau mau apa?”

“Hai, santai dong,” balasnya sembari terkekeh pelan, dengan nada ringan yang terdengar seperti senjata bermata dua. “Aku cuma pengen lihat kau. Just that.”

"See? I’m good. I’m fine. Puas?" sahutku dingin, tatapanku tajam seperti belati. “Kau sudah lihat aku, ‘kan? Bye.”

"Hey, tunggu." Pria itu langsung mencekal pergelangan tanganku, gerakannya cepat, menghentikan langkahku tanpa memberi ruang untuk mengelak.

“Kau nggak lupa taruhan kita, ‘kan?”

Aku mendengus, mengangkat satu alis dengan ekspresi sinis. “Ah, jadi itu maksudmu?” Nada suaraku rendah, penuh ketidaksabaran. “Tenang aja. Aku belum pikun.”

Dia mengangguk pelan, sorot matanya menelusup seolah sedang mengukur keteguhan hatiku. “Alright. Malam ini, di tempat biasa.”

“Oh,” jawabku singkat, nyaris tanpa intonasi. Lalu aku berbalik, melenggang pergi tanpa menoleh sedikit pun, membiarkan tatapannya tertinggal di punggungku yang mulai menjauh.

Setelah menempuh perjalanan selama hampir setengah jam, menyusuri jalanan kota yang makin padat seiring sore merambat senja, aku akhirnya tiba di sebuah bangunan sederhana, pusat studi kanak-kanak yang tampak biasa di mata siapa pun. Tapi tidak untukku. Tidak untuk Zayden. Dan tidak untuk orang-orang tertentu yang tahu apa yang tersembunyi di balik dinding polos itu.

Tanpa mengucap salam atau menyapa siapa pun, aku langsung melangkah masuk, menyusuri koridor sempit yang mulai lengang. Tanganku menyentuh pegangan tangga besi, dingin dan sedikit berembun. Aku menaiki anak tangga satu per satu, napasku tenang meski pikiranku tidak.

“Kali ini apalagi?” Suara itu datang dari sudut ruangan saat aku mendorong pintu dan masuk. Tenang. Datar. Tapi mengandung rasa penasaran yang tak bisa disembunyikan.

Aku menjatuhkan tubuh ke sofa berbentuk stroberi di dekat jendela. “Tadi pria itu menemuiku,” ujarku pelan tanpa mengalihkan pandangan dari langit-langit yang mulai dipenuhi bayangan sore.

“Ini!” Zayden menyodorkan segelas jus stroberi.

“Thanks.” Aku menerima gelas itu, menyesap sedikit, lalu berkata, “Aku bingung. Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana.”

Zayden duduk di sebelahku, tapi tak bicara. Hanya menunggu. Menatapku, seakan ingin menelusuri isi pikiranku yang berlapis-lapis seperti labirin yang sulit dijabarkan.

“Menurutmu, aku harus gimana?”

Dia diam sesaat, lalu menjawab dengan nada tetap datar namun penuh makna. “Menurutku, kau nggak usah datang. Dan berhentilah dari hobi menantang mautmu itu.”

Aku mendesah panjang. Helaan napas yang berat, seperti beban yang tak bisa dibagi. “Itu bukan solusi, Zay. Kalau aku nggak pergi, mereka bakal ngeremehin aku. Aku nggak suka harga diriku diinjak-injak.”

Zayden tak menjawab. Ia hanya menatap lurus ke depan, wajahnya berubah serius. Wajar dia dan Ayah selalu berada di sisi yang sama. Mereka memandangku dari kacamata yang sama. Memandangku layaknya anak perempuan keras kepala yang sedang menggali kuburnya sendiri, sedikit demi sedikit.

“Kau tahu, Re?” katanya akhirnya, dengan nada lebih pelan. “Kau terlalu sibuk menjaga harga dirimu. Tapi, apa kau pernah berpikir seberapa dalam orang tuamu menanggung rasa takut setiap kali kau balapan liar?”

Aku tercekat.

Kalimat itu menamparku. Tapi entah kenapa, tamparan itu tak menyisakan luka. Tidak meninggalkan jejak. Kata-kata Zayden hanya lewat seperti angin dingin yang menyentuh kulit, terasa sesaat, lalu lenyap begitu saja.

Buktinya? Malam ini aku kembali menyelinap keluar rumah. Melanggar janji. Mengabaikan segalanya. Tujuanku hanya satu, arena balap.

Maafkan Reyna, Ayah, Ibu. Kali ini saja izinkan anakmu ini membangkang.

“Semua bersiap... satu, dua, tiga... GO!”

Sorak-sorai menggema memecah malam. Namaku dan nama pria itu diteriakkan bertubi-tubi, menggelegar memenuhi udara bersama aroma bensin dan adrenalin.

Gas kuputar penuh.

Suara raungan mesin memecah malam, liar dan beringas, seolah ikut menumpahkan semua perasaan yang selama ini kupendam. Motor melesat bagai peluru, menembus angin yang menyayat kulit, menyalip bayangan-bayangan samar yang hanya bisa kulihat dari ekor mata. Tak ada lagi yang kupikirkan, selain satu hal. Menang.

Garis finis semakin dekat. Hanya tinggal beberapa meter lagi. Aku bisa merasakannya, getaran kemenangan di ujung jemari, denyut nyata di dada. Tapi justru di detik itulah, dari sisi kanan, tiba-tiba sebuah sedan hitam muncul. Melaju kencang ke arahku. Secepat kilat.

Mataku membelalak. Napasku tercekat. Jantungku berdentum tak karuan saat roda motorku mendadak bergetar hebat. Panik, kutarik rem berkali-kali. Percuma.

Motor itu seolah berubah menjadi makhluk liar yang tak ingin dijinakkan. Hingga benturan itu tak bisa lagi kuhindari. Segalanya terasa berhenti dalam sekejap. Tubuhku terlempar ke udara, seolah waktu melambat. Dunia berputar tak menentu. Lalu aku jatuh menghantam aspal. Menggelinding tanpa arah, tanpa kendali, tubuhku terhempas seperti boneka tanpa nyawa.

"Reyna!" Samar, suara itu menembus keheningan yang membungkus kesadaranku. Suara yang terasa familiar berulang-ulang kali memanggil namaku.

Ayah, Ibu... maafkan Reyna. Langit malam yang kelam di atas sana seakan menusuk mataku, seperti ribuan jarum dingin menari-nari di pelupuk. Semuanya berputar cepat, kabur, dan gelap hingga akhirnya hanya keheningan yang tersisa.

"Reyna, wake up. Hey, can you hear me?" Suara itu kembali, kini lebih dekat, menggema dalam rongga kesadaranku yang tersisa. Tapi perlahan, suara itu memudar, tergantikan oleh kicau-kicau kecil, ringan, bernada, menyelinap masuk ke telingaku seperti bisikan dari alam.

Cuit! Cuit! Cuit!

Burung? Suara burung? Itu suara kutilang? Kenapa tiba-tiba ada suara burung? Kemana perginya suara jeritan dan deru mesin? Kemana perginya orang-orang yang memanggilku tadi?

Dengan sisa tenaga yang nyaris tak tersisa, aku memaksa kelopak mataku terbuka. Cahaya putih kekuningan langsung menyerbu penglihatanku, bukan cahaya lampu jalan atau lampu rumah sakit seperti yang kuharapkan, melainkan sinar matahari yang hangat sekaligus menyilaukan, memancar dari celah-celah dinding.

Celah dinding?

Ya, dinding. Dinding rapuh yang tersusun dari bilah-bilah bambu tipis, tampak reyot dan lapuk dimakan usia. Angin menyelinap dari sela-selanya, membawa aroma kayu basah yang berpadu dengan bau tanah lembab. Di sisi ruangan, sebuah jendela kecil hanya ditutupi sehelai kain lusuh yang bergoyang perlahan diterpa angin.

Tubuhku terasa begitu berat, seolah seluruh ragaku tertindih oleh beban tak kasatmata. Denyut nyeri yang samar menjalar perlahan di setiap persendian, menyisakan ngilu yang menyusup hingga ke tulang, menancap diam-diam seperti duri tak terlihat.

Dengan kesadaran yang masih mengambang di antara nyata dan ilusi, aku memindai ruangan asing itu. Di mana aku? Bukankah seharusnya tubuhku kini tergeletak tak berdaya di atas dinginnya aspal?
Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel