Part 9 : Tentang Kanzeel Laurent
Mohan sudah sampai di tempat janji temu dengan kliennya, kliennya meminta pertemuan mereka di lakukan di luar kantor. Dan disinilah Mohan berada, menunggu sang klien sampai di cafe yang sudah mereka pesan.
Cukup lama Mohan menunggu, tak lama seorang pria paruh baya namun masih terlihat sangat tampan dan gagah.
Mohan langsung berdiri dari duduknya menyambut sang klien. "Selamat siang tuan Hans Laurent."
Mohan mengulurkan tangannya ingin berjabat tangan dengan tuan yang ia panggil Hans Laurent itu. Tuan Hans Laurent menyambut uluran tangan Mohan.
"Selamat siang juga tuan Mohan."
"Ah, mari silahkan duduk." Mohan mempersilakan tuan Hans untuk duduk di kursi di depannya.
"Terima kasih," balas tuan Hans seraya duduk.
"Baiklah, mari kita mulai saja tujuan kita kesini. Tentang rencana kerjasama mengenai bisnis kita."
Tuan Hans mengangguk. "Tuan Mohan bisa memulainya lebih dulu."
Mohan tersenyum dan langsung berbicara mengenai bisnis pabriknya yang sedang ia jalani sekarang ini. Pabrik yang baru ia kuasai beberapa bulan terakhir ini, jika dulu pabriknya atas nama sang papa. Sekarang di wariskan kepada Mohan, makanya tak banyak orang yang tahu jika Mohan Alagra adalah pemilik pabrik yang bergerak di bidang makanan tersebut, terutama Inka yang hanya baru 3 minggu bekerja di sana.
Setelah Mohan selesai berbicara, maka bergantian tuan Hans yang berbicara mengenai perusahaan miliknya. Perusahaan Laurent Company, milik tuan Hans yang bergerak di bidang perhotelan yang bisa di katakan hotel mewah ternama dan terbaik dari deretan hotel-hotel ternama lainnya.
"Saya tertarik dengan ide konsep tuan Mohan," ucap tuan Hans. "Saya rasa kerjasama ini akan menguntungkan bagi kita berdua, baiklah. Saya setuju." sambung tuan Hans mengakhiri.
"Saya pun juga tertarik dengan ide konsep tuan Hans," ujar Mohan menimpali.
"Sepertinya chemistry kita berdua sudah klop ya." gurau tuan Hans.
"Ya, sepertinya begitu. Kita memang di takdirkan untuk bertemu dan bekerja sama."
Pak Hans tergelak mendengar ucapan Mohan. "Tuan Mohan masih muda, tetapi sudah bisa se-sukses ini. Saya kagum dan bangga sekali pada anda."
"Tuan Hans bisa saja, ini juga berkat warisan turun-temurun, kerja keras dan yang paling penting kemauan."
"Ya, anda benar. Kerja keras dan kemauan yang paling penting." ujar tuan Hans tampak murung.
"Maaf, kenapa anda tampak murung tuan Hans?" tanya Mohan penasaran.
"Saya merasa iri dengan anda," kekeh tuan Hans. "Seandainya saja anak saya mau mengikuti jejak papanya dengan bekerja di perusahaan. Mungkin saat ini anak saya yang melakukan janji temu dengan anda."
"Loh, memangnya anak tuan Hans, kenapa?"
"Entahlah. Dia tipe orang yang sangat suka sekali hidup sederhana. paling benci dengan hidup yang bergelimang harta, tahta, dan jabatan."
Mohan terdiam mendengar ucapan tuan Hans Laurent, berpikir keras kenapa anak tuan kaya raya ini malah lebih memilih hidup yang jauh dari kata kemewahan. Apakah anaknya memiliki penyakit kelainan jiwa, atau semacamnya?
"Astaga! Kenapa saya jadi curhat ya tuan Mohan. Maafkan saya," Hans Laurent tersadar jika dia sudah terlalu banyak berbicara dengan Mohan.
"Ah, tidak apa-apa tuan Hans. Malah saya senang, setidaknya, bukankah dengan ini kita jadi bisa lebih dekat. Dekat yang bukan hanya sekedar kerjasama antara bisnis, tetapi dekat seperti saling sharing, anggaplah saya seperti anak tuan Hans sendiri. saya pikir usia saya dengan anak tuan sama, bukan?"
Kedua mata tuan Hans tampak berbinar bahagia mendengar ucapan Mohan. Kepala tuan Hans mengangguk membenarkan.
Mohan tersenyum dan mengulurkan tangannya ke arah tuan Hans. "Terima kasih tuan Hans, saya permisi." pamitnya seraya tersenyum.
Tuan Hans memperhatikan kepergian Mohan dengan rasa kagum luar biasa.
*******
Di dalam mobilnya, Mohan menelpon seseorang yang sangat penting. Dering ketiga panggilan Mohan di angkat orang tersebut, Mohan pun langsung mengatakan apa yang di inginkannya.
"Aku ingin kau mencari tahu tentang anak dari Hans Laurent, sekarang juga!"
Klik.
Tanpa menunggu jawaban dari seberang telepon, Mohan langsung saja mematikan sambungan telepon secara sepihak. Tak peduli apakah orang tersebut merasa keberatan atau tidak.
Mohan tersenyum seraya menghidupkan mesin mobilnya, ia mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang sambil bersiul.
Entah kenapa dirinya begitu tertarik dan penasaran dengan anak dari Hans Laurent. Seperti ada sesuatu hal yang menarik di diri anak tuan Hans itu.
Tujuan Mohan saat ini bukan langsung pulang, melainkan ke tempat dimana tadi ia melihat Inka. Mohan ingin memantau Inka dari jauh, seperti sebelum-sebelumnya yang ia lakukan.
Mobil Mohan sudah sampai di tempat yang agak jauh dari jarak Inka sekarang ini. Kanz dan Inka tampak repot menjuali pesanan para pembeli.
Tatapan Mohan nyalang ke arah Kanz yang selalu mengumbar senyum ke arah semua orang. Terutama Inka, maka Kanz tersenyum dengan sangat manisnya.
Ciiiiihhhh! Apa itu? Pria itu benar-benar memuakkan, Inka juga kenapa betah sekali bersama pria itu. dengus batin Mohan mengomel, kentara sekali sarat akan ketidak sukaannya pada Kanz.
Di saat yang bersamaan, satu notifikasi pesan dari ponsel Mohan berbunyi. Pria itu mengambil ponselnya yang ada di dalam saku jas kerjanya.
Tersenyum merasa puas dengan kinerja orang suruhannya yang begitu sangat cepat menemukan segala informasi yang di inginkannya. Mohan membuka pesan itu dan seketika matanya melotot horor.

"Ini—" ucapnya menggantung seraya mengalihkan tatapannya dari ponsel dan ke arah Kanz.
"Aku tidak salah liat, ini benar dia!" tunjuk Mohan ke arah ponselnya namun dengan mata yang masih menatap Kanz.
Mohan geleng-geleng kepala tak percaya, tersenyum sinis memandang tajam Kanz seraya berkata. Kena kau!
