Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Part 10 : Rambut baru

Kanz menoleh ke belakang saat merasakan punggungnya di tepuk seseorang. Wajah wanita yang belakangan ini menarik sekaligus memikat hatinya lah sebagai pelaku yang menepuk punggungnya.

"Inka, ini sungguh kau?" tanya Kanz takjub sekaligus pangling dengan penampilan Inka hari ini.

Inka mengangguk seraya tersenyum geli melihat tingkah Kanz yang seperti hampir tak mengenalinya.

"Iya, ini aku Inka, Kanz!" ucap Inka nyaris teriak gembira.

"Astaga! Aku hampir saja tak mengenalimu loh." kekeh Kanz mengacak rambut baru berponi Inka.

Inka mendengus sebal seraya menepiskan tangan Kanz yang mengacak rambut barunya.

"Pipimu jadi kelihatan tirus Inka," goda Kanz memperhatikan wajah Inka dengan jarak dekat.

"Mana pipi cabimu yang selalu bikin aku gemas ini." Kanz mencubit gemas kedua pipi Inka, membuat Inka mengadu kesakitan.

"Uhm, sakit Kanz!"

"Masa sih? aku kan cuma menyubit pelan pipimu, seperti ini—" Inka langsung menghentikan gerakan tangan Kanz yang kembali ingin mengulangi mencubit pipinya seperti tadi.

"Tidak ada adegan ulang!"

"Eh, tapi aku cantik tidak dengan potongan model rambut begini?" Kanz mengangguk.

"Sangat cantik Inka!" teriak Bio yang sejak tadi hanya diam saja memperhatikan mereka berdua.

"Aaa! Terima kasih Bio one." ujar Inka begitu senangnya.

"Bio one?" ulang Kanz seperti pernah mendengar nama itu.

"Bukankah itu nama aktor?" Inka mengangguk.

"Memang iya, berhubung karena aku tidak tahu nama panjang Bio, jadi aku panggil saja dia dengan nama itu."

Kanz geleng-geleng kepala melihat Inka, Inka hari ini memang terlihat sangat ceria dan bahagia.

"Katakan, apa yang membuat dirimu se-bahagia seperti ini?" tanya Kanz penasaran.

"Iiiih, Kanz kepo deh." ledek Inka memeletkan lidahnya.

Kanz yang sebal pun juga membalas menjulurkan lidahnya ke arah Inka. Seketika Inka tergelak melihatnya.

(Abaikan tempat sekitar Kanzeel foto )

Bio hanya tertawa saja menanggapi tingkah kekanakan dua orang itu. Dan kegilaan Inka dan Kanz terus berlanjut satu harian.

*****

"Capek?" tanya Kanz pada Inka yang saat ini tengah memijit kakinya yang tiba-tiba terasa berdenyut.

"Pegel," kekeh Inka.

"Sini, biar aku yang pijit." Kanz menawarkan bantuan pada Inka agar ia yang memijitnya.

"Ehh, jangan!" sentak Inka cepat. "Maksudku itu tidak perlu Kanz, kau pasti juga capek kan?"

"Tidak apa-apa," tangan Kanz meraih kaki Inka yang katanya sangat pegal.

"Hari ini pembelinya sangat banyak sekali ya, makanya kita jadi pegel semua."

"Tapi rezekinya juga lumayan dapat banyak Kanz."

Kanz mengangguk. "Ya, kau benar. Kau tahu kenapa pembelinya jadi sangat ramai."

Inka menggeleng. "Karena apa?"

"Karena ada kau Inka,"

"Aku?" tunjuk Inka pada dirinya sendiri merasa bingung.

"Iya, karena kau pemanis sekaligus pelaris yang mampu memikat pembeli."

Mendengar itu, Inka langsung memukul lengan kekar Kanz. Kanz tertawa karena niat awalnya tadi memang hanya bermaksud menggoda Inka, tetapi wanita itu ternyata kesal.

"Hhhh, ayolah aku antar kau pulang." ajak Kanz seraya berdiri.

Inka ikut berdiri dan Kanz langsung menghidupkan mesin sepeda motornya. Meninggalkan Bio yang masih membereskan sekaligus membersihkan peralatan dan tempat jualan mereka.

Seperti biasa ketika saat di bonceng, maka Inka akan melingkari bagian perut Kanz dengan kedua tangannya. Jika Kanz mencepatkan laju sepeda motornya, maka Inka pun otomatis mengeratkan pelukannya.

Hal ini yang menjadi momen favorit Kanz, dan membuatnya tersenyum-senyum sendiri.

Tiba-tiba senyum Kanz hilang saat ia mengingat sesuatu hal yang ia rahasiakan dari Inka. Inka jelas-jelas pernah mengatakan jika ia tak suka dengan orang yang berbohong dan penuh rahasia, ia lebih suka orang yang terbuka dan berterus terang, dan yang paling penting kejujuran.

Inka adalah orang yang memegang penuh kejujuran. tapi, jika saat dalam keadaan mendesak maka Inka tak mempungkiri jika ia pasti akan memilih berbohong.

Inka semakin mempererat pelukannya dan menyenderkan kepalanya di punggung Kanz. Kanz bergeming saat merasakan itu, apakah Inka tertidur?

"Inka...."

"Hmmm?"

"Ku kira kau tertidur,"

"Tidak Kanz, aku hanya ingin menyenderkan kepala ku di punggung mu. Boleh kan?"

"Tentu saja boleh, punggungku terbuka lebar untukmu." kekeh Kanz yang tentu saja senang akan hal itu, tanpa Inka meminta izin pun maka Kanz akan dengan senang hati memberinya terlebih dulu.

"Salahmu sendiri sih Kanz."

"Kenapa?"

"Siapa suruh kau memiliki punggung kekar, kokoh, dan lebar seperti ini. Kan jadi enak untuk di peluk, haha." Inka tertawa di akhir kalimatnya.

"Kau suka Inka?"

"Suka apa?"

"Punggungku?"

Inka tak menjawab pertanyaan aneh Kanz, ia lebih memilih mengeratkan pelukannya di tubuh Kanz. Dan itu sudah lebih dari cukup membuat Kanz senang.

"Kau tahu Inka, sebenarnya aku lebih suka rambutmu seperti yang biasa tanpa poni. Pipi chubby mu membuat ku gemas setengah hati. Eh, setengah mati, ingin rasanya pipimu itu aku cubit dan gigit. Aiih, mikir apa aku sih?" batin Kanz yang ternyata lebih menyukai potongan rambut Inka yang lama tanpa poni. Tetapi, Kanz tak berani mengatakannya langsung pada Inka, melihat betapa bahagianya Inka membuat ia tak enak hati mengatakannya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel