Part 11 : Kebohongan Kanzeel Laurent
Kanz menatap jalanan dari jendela rumah kontrakannya, rumah kontrakan sederhana yang ia sewa bersama Bio. Sedikit banyaknya Bio tahu tentang kehidupan seorang Kanzeel Laurent.
"Kau berbohong padanya Kanz," ujar Bio pada Kanz yang saat ini fokus menatap ke arah jalanan.
Kanz sama sekali tak bergeming dengan ucapan temannya itu, membuat Bio merasa gemas melihatnya.
"Ayolah Kanz, sebaiknya kau jujur saja pada Inka mengenai dirimu yang sebenarnya." sambung Bio lagi agar Kanz mau jujur pada Inka.
"Aku takut dia tidak akan menerima ku lagi sebagai temannya, kau tahu kan Bio, hubungan pertemanan kami baru saja di mulai." lirih Kanz sedih.
"Dia akan lebih terluka jika kau tak jujur dari awal padanya Kanz, dia akan menganggap jika kau hanya memanfaatkan dirinya saja dengan kebohonganmu."
Kanz terdiam, tampak ia sedang mencerna ucapan temannya yang sebenarnya ada benarnya juga.
"Aku tidak bisa Bio, Maaf." lirih Kanz lagi yang kini bangkit berdiri dan berjalan ke arah kamarnya.
Bio memandang sendu punggung Kanz yang perlahan hilang di telan pintu yang tertutup.
"Kenapa sulit sekali bagimu untuk jujur pada Inka, aku rasa Inka tak akan mempermasalahkan latar belakang hidupmu, Kanz." gumam Bio lirih.
Di dalam kamar Kanz hanya berdiam diri sembari termenung, bayang-bayang Inka yang tersenyum saat bersamanya pun tak pernah mau hilang.
Wajah ceria Inka tak mampu mengalihkan perhatian Kanz pada hal lainnya. Berbeda sekali dengan wajah Inka saat mereka pertama kali bertemu, wajah jutek dan cara bicara yang ketus kini perlahan berubah.
Kanz jadi bertanya-tanya, apakah jika saat Kanz mengatakan yang sebenarnya pada Inka, Inka masih mau berteman dengannya? Ataukah Inka malah mencapnya sebagai pembohong besar?
Kanz mengusap wajahnya kasar, ia benci dengan latar belakang hidupnya yang lahir dari keluarga Laurent. Sungguh, jika ia bisa memilih, maka ia lebih senang menjalani kehidupan sederhana seperti ini.
"Aku tidak jujur padamu Inka, jika suatu saat kau mengetahui kebohongan ku. Ku harap, kau mau memaafkanku dan masih mau berteman denganku." lirih Kanz sedih.
******
Inka menatap garang seseorang yang turun dari mobil mewah miliknya, belum lagi kaca mata hitam yang bertengger di matanya. Mohan membuka kaca mata hitamnya dan tersenyum manis ke arah Inka.
Bio melirik Kanz yang ada di sampingnya, terlihat jika Kanz merasa bingung dengan kehadiran pria yang sama saat ia dan Inka pertama kali bertemu di cafe. Pria itu juga yang membuat keributan di cafe.
Ah! Kanz sekarang baru ingat!
"Maaf, kami belum buka." ucap Inka agar Mohan pergi.
"Aku sedang tidak ingin beli." sahut Mohan santai.
"Percayalah Inka, aku datang kesini karena aku merindukanmu sekaligus mencemaskanmu." sambung Mohan dengan mata yang menatap lekat Inka.
Ciiiiihhhh! Apa itu? Menjijikkan! dengus batin Inka sabar.
"Siapa dia?" bisik Bio di telinga Kanz.
Kanz melirik sekilas ke arah Bio, dan kembali menatap Mohan.
"Aku tidak tahu siapa dia."
"Sepertinya pria itu ada hubungannya dengan Inka, Kanz." bisik Bio lagi ke telinga Kanz.
Mohan dan Inka terlihat sedang beradu mulut, dan tampak tegang sekali.
"Kau lihat Kanz, Inka sepertinya sangat benci sekali pada pria itu. Terlihat dari tatapannya." tebak Bio sangat tepat.
"Diamlah Bio!" sentak Kanz kesal karena temannya itu terus berbisik.
"Upss, sorry." Bio mengangkat jari telunjuk dan tengahnya tanda peace.
Kanz yang penasaran pun mendekati Inka dan Mohan, melihat Kanz ada di tengah-tengah percakapan sengit mereka. Sudut bibir Mohan terangkat tersenyum sinis.
"Oooh, jadi ini pahlawanmu Inka." ejek Mohan menatap nyalang Kanz.
Inka menoleh ke arah Kanz dan tersenyum. "Kanz...." panggilnya lirih.
"Ada apa ini Inka? Siapa dia?" tanya Kanz membuat Mohan terkekeh geli mendengarnya.
"Sepertinya kalian berdua sangat dekat sekali ya. Aahh, aku jadi sangat iri sekali Inka."
"Kenapa kau iri? Bukankah kau sudah mempunyai Dewi di dalam hidupmu!" sentak Inka telak. Mohan mengeraskan rahangnya mendengar Inka menyebut nama mantan istrinya.
"Diam kau Inka!"
"Tidak! Kenapa aku harus diam, huh? Saat kau mulai kembali dan mengacaukan hidupku, apakah aku harus diam saja, sialan!" amarah Inka sudah tak dapat ia tahan lagi.
"Inka, kau—" Mohan tak sanggup melanjutkan kata-katanya.
Dengan kesal Mohan mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya. "Ambil, dan lihat ini!" ucapnya seraya menyerahkan amplop.
"Apa ini?"
"Bukalah, maka kau akan tahu yang sebenarnya mengenai pria ini!" tunjuk Mohan ke arah Kanz.
Inka menatap Kanz bingung, begitu juga Kanz yang luar biasa bingungnya.
Perlahan tangan Inka membuka amplop pemberian Mohan tersebut, dan seketika matanya membelalak kaget. Menatap horor ke arah Kanz dan foto di tangannya.
Mohan sangat menunggu dengan antusias reaksi Inka, inilah saat-saat yang di tunggu Mohan. Inka marah, benci bahkan menjauhi pria sok tampan itu.
Hal yang mengejutkan bagi Mohan saat reaksi yang Inka tunjukkan sangat berbeda sekali dengan harapannya. Inka dengan santai bahkan tersenyum memasukkan kembali foto-foto beserta profil dan fakta lengkap tentang Kanz ke dalam amplop.
Menoleh ke arah Kanz. "Kanz, siapa Hanz Laurent itu?"
Kanz menelan ludahnya, nafasnya tercetak saat ia mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut Inka.
"Di—dia ayahku." akui Kanz jujur.
Sialan kau Kanz! Aku ingin menendang kakimu sekarang juga! dengus Inka hanya dalam hatinya saja.
Jika tidak ada Mohan disini mungkin itu yang akan dia lakukan, mendendang kaki Kanz, dan memukuli brutal pria itu yang tega membohonginya.
Inka berbalik ke arah Mohan. "Jadi, karena hal ini kau datang menemui ku?"
Inka mencampakkan amplop tadi di depan Mohan, Mohan terperangah melihat itu semua.
"Kau tahu Mohan, aku bingung harus mengucapkan apa padamu. Ucapan terima kasih saja rasanya tak cukup untuk membalas kebaikan mu." ucap Inka menatap kasihan serta mengejek Mohan.
"Berkat kau, kini aku mengetahui fakta yang sebenarnya. Jika Kanz—tidak, maksudku Kanzeel Laurent adalah putra dari pengusaha kaya Hans Laurent."
Mohan meradang mendengarnya, apa-apaan ini? Bukan ini yang ingin ia dengar dan lihat.
Inka berbalik badan menghadap Kanz, tanpa peringatan ataupun kode pada Kanz, Inka memeluk tubuh kekarnya. Bio berteriak nyaring melihat hal itu, adegan yang sungguh menarik dan sayang untuk di lewatkan.
Mohan mengepalkan kedua tangannya, emosinya meningkat pesat. Kanz yang masih belum mengerti dengan situasi saat ini pun malah menggerakkan tangannya membalas pelukan Inka.
Inka tersentak, tubuhnya terasa kaku tiba-tiba dengan sentuhan tangan Kanz yang membalas pelukannya.
"Maafkan aku Inka," bisik Kanz pelan di telinga Inka.
"Diamlah Kanz!" titah Inka geram.
