Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2. Perih Dan Terhina

Selesai membersihkan selokan, akupun menuju kamar mandi yang ada di bagian ruangan belakang tempat biasa digunakan Bi Asih untuk mandi. Setelah itu aku menuju lantai atas ke kamar ku.

Setibanya di kamar, kembali ku henyakan tubuhku di atas tempat tidur, hatiku terasa perih disayat-sayat dan juga merasa terhina.

“Sepertinya aku udah nggak bisa lagi untuk bertahan tinggal di rumah ini, kalau saja bukan karena Ayah di desa dan juga Om Zul sendiri yang memintaku tinggal di sini, akupun nggak akan mau memaksakan diri kalau aku tahu sikap Tante Ira sekejam ini,” gumamku, mataku kembali berkaca-kaca dan aku berusaha keras untuk tidak sampai mengeluarkan air mata.

****

Keesokan harinya sepulang dari sekolah, aku tak langsung pulang ke rumah Om Zul. Aku segaja pergi ke suatu tempat yang lokasinya sekitar 1 kilo dari rumah Om Zul untuk mencari kos-kosan, setelah mengitari lokasi itu belum ada satupun kos-kosan yang aku temui kebanyakan rumah kontrakan untuk orang yang telah berkeluarga.

Aku merasa lelah dan harus ke mana lagi aku mencari kos-kosan yang biasa diperuntukan bagi para pelajar atau mahasiswa yang datang dari desa maupun kota lain, di saat aku hampir putus asa dan memutuskan untuk kembali ke rumah Om Zul, tiba-tiba aku dihampiri oleh seorang wanita yang usianya diperkirakan 30 tahunan.

“Tadi aku dengar kamu mau cari kos-kosan ya?” sapa dan tanya wanita itu ramah.

“Iya Bu, tapi setelah aku mengitari kawasan ini nggak satupun aku lihat ada kos-kosan di sini,” jawabku.

“Hemmm, di sini emang nggak ada kos-kosan yang ada rumah petak atau rumah kontrakan bagi orang yang telah bekeluarga. Kamu dari mana dan kenapa cari kos-kosan di sini?” wanita itu menjelaskan lalu bertanya kembali.

“Aku dari desa Bu, sebelumnya aku tinggal di rumah Om ku tapi karena merasa kurang nyaman makanya aku mencari kos-kosan,” jawabku.

“Oh begitu, oh ya nama kamu siapa?” tanyanya lagi.

“Namaku Ray,” jawabku sembari ulurkan tangan dan wanita itu menjabatnya.

“Aku Ola.” Ulasnya.

“Seperti yang aku bilang tadi di kawasan ini nggak ada kos-kosan untuk anak sekolah, yang ada rumah kontrakan atau rumah petak. Tapi kalau kamu mau di sana ada ruangan kosong di samping rumah petak di ujung sana, ruangan itu sebenarnya ingin aku jadikan gudang tapi kalau kamu mau tempat itu bisa kamu tempati,” sambung wanita yang bernama Ola itu.

“Mau Bu, berapa sewanya?” tanyaku langsung karena saking gembiranya.

“Kalau soal sewa nanti aja, kamu lihat aja dulu. Ntar kamu malah nggak suka karena emang tempatnya kecil dan nggak ada kamar.” Tutur Bu Ola.

“Nggak ada kamarnya juga nggak apa-apa, yang penting bisa untuk ditempati,” ujarku.

“Ayo, sekarang kita lihat dulu ke sana,” ajaknya, aku mengangguk setuju lalu mengiringinya menuju tempat yang dimaksud.

Setibanya di tempat yang dituju Bu Ola langsung membuka pintu bangunan yang diperkirakan hanya 3 x 4 meter itu, akupun ikut masuk ke dalam ruangan itu, ruangannya memang kecil tanpa kamar namun terlihat bersih.

“Seperti yang aku bilang tadi ruangan ini nggak ada kamarnya karena rencananya akan aku jadikan gudang, begitu pula kamar mandinya juga nggak ada selain sumur katrol di belakang sini,” jelas Bu Ola sembari mengajakku untuk melihat sumur katrol yang ia maksud.

Setibanya di belakang ruangan itu, aku melihat memang terdapat sebuah sumur yang untuk mengambil airnya dengan timba dan tali melalui katrol. Di sekilingnya berdinding seng yang dibuat setinggi 2 meter, di sana bisa digunakan untuk mandi dan mencuci pakaian.

“Nah, kamu udah lihat sendirikan ruangan dan sumur untuk mandi dan mencuci pakaian? Apa kamu mau tinggal di sini?” tanya Bu Ola.

“Mau Bu, berapa sewanya per bulan?” jawabku sembari balik bertanya.

“Hemmm, kalau masalah sewa nggak perlu kamu pikirkan. Yang terpenting kamu mau tinggal di sini dari pada kamu musti susah-susah mencari kos-kosan yang hanya ada di kawasan lain dan itu cukup jauh dari sini,” ujar Bu Ola.

“Ya nggak bisa gitu dong Bu, gimanapun juga aku musti tahu berapa sewa ruangan ini per bulannya,” ulasku.

“Terserah kamu mau bayar berapa, yang penting kamu bayar setiap bulannya dan nggak boleh telat yaitu listrik.” Ujar Bu Ola ramah dan sepertinya dia memang sosok wanita yang baik.

“Wah, kalau Bu Ola nggak bilang berapa sewanya, aku nanti bingung harus bayar berapa dan menyediakan uang setiap bulannya,” aku mendesak agar Bu Ola menetapkan harga sewa ruangan itu.

“Baiklah Ray, karena listrik setiap bulannya paling mahal Rp. 50.000,- kamu bayar aja dengan ruangan ini Rp. 150.000,- setiap bulannya. Gimana?” jawab Bu Eva.

“Serius hanya segitu Bu?” tanyaku merasa tak percaya, Bu Eva menanggapi dengan mengangguk disertai senyumannya.

“Wah, terima kasih sekali Bu. Aku benar-benar nggak nyangka ruangan ini Bu Eva izinkan buat aku tempati,” aku merasa senang.

“Sama-sama Ray, lalu kapan kamu akan tinggal di sini?” tanyanya, ditanya begitu aku baru sadar dan ingat jika aku masih tinggal di rumah Om Zul.

“Waduh, gimana caranya aku musti bilang pada Om Zul jika aku ingin ngekos aja? Sementara Om Zul dan Ayah udah sepakat selama aku sekolah di kota ini tinggal di rumah itu?” gumamku merasa bingung.

“Gimana Ray?” aku seketika tersentak ketika Bu Ola kembali bertanya, rupanya antara tidak sadar aku baru saja melamun karena memikirkan solusi untuk menyampaikan keinginanku ngekos pada Om Zul.

“Eh, maaf Bu. Begini Bu, Aku bicara dulu dengan Om ku soalnya nggak mungkin aku pindah ke sini saja tanpa memberi tahu dia dulu,” jawabku.

“Hemmm, ya Ray. Kapanpun kamu akan pindah ke sini nggak jadi soal, nih kamu pegang kuncinya, aku mau pamit pulang ke rumah.” ulas Bu Ola sembari menyodorkan kunci ruangan itu padaku.

“Loh, Bu Ola nggak tinggal di kawasan ini?” tanyaku heran.

“Nggak Ray, di sini hanya rumah kontrakan atau rumah petak yang aku sewakan, sedangkan tempat tinggalku cukup jauh dari sini. Aku ke sini tadi menjemput uang kontrakan bagi para penghuni yang udah tiba harinya untuk membayar,” jelas Bu Ola, aku mengangguk dan mengerti.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel