8. Teman Sepi
"Wah, pondoknya bagus sekali, Mbak." Kirana hanya tersenyum menanggapinya.
Ratih terkagum-kagum melihat pondok yang arsitekturnya berbeda dari pondok-pondok yang ada di desa itu.
Kirana mengajaknya beranjak dari motor ATV yang baru saja mereka kendarai. Dia menuntun Ratih ke ujung teras pondok di tepi tebing itu. Dia penasaran apakah hanya dirinya sendiri yang takut melihat ke bawah atau Ratih juga begitu.
"Iiih ... serem lihat ke bawah, Mbak."
Ratih berpegang erat pada pagar pengaman teras. Dia mengalihkan pandangannya dari sungai deras di bawah mereka lalu menatap ke arah sumber bunyi di sampingnya. Aliran air penggerak generator yang terjun ke sungai yang ada di samping kiri pondok itu diamatinya.
Kirana lalu membuka aplikasi kamera di ponselnya dan mengangkat tangannya dalam posisi untuk berswa foto bersama Ratih. Kedua perempuan itu tersenyum manis ke arah kamera.
"Mbak, nanti share ke HP ku, ya," ujar Ratih.
Meski mereka cuma penduduk desa, barang seperti ponsel bukanlah barang mewah untuk dimiliki. Tak mampu beli yang berharga mahal, yang murah pun jadilah.
"Ayo, masuk ke dalam," ajak Kirana sambil menggandeng tangan Ratih.
Mereka masuk ke Pondok Sunyi setelah Kirana membuka pintu depan yang tak terkunci. Ratih memandangi seisi ruangan pondok itu.
"Itu yang di atas kamar, Mbak?" tanya Ratih.
"Iya," jawab Ratih sambil tersenyum.
Kirana lalu berjalan menaiki tangga diikuti Ratih menuju kamar loteng. Dia lalu duduk di tepi kasur spring bed yang diletakkan begitu saja di atas lantai kayu loteng. Ratih ikut duduk di sampingnya.
"Kapan-kapan, aku ingin menginap di sini sama Mas Farhan," ujar Kirana sambil menampakkan muka gembira.
"Wah, asyik dong. Bisa seru main kuda-kudaan," ujar Ratih sambil tertawa nakal.
"Huussh ... kamu ini," jawab Kirana sambil tersenyum malu.
"Mbak, pasti enak, ya, kalo sudah kawin. Bisa bercinta sama suami."
Kirana menoleh memandangi muka Ratih. Dia berusaha menebak apa yang dipikirkan Ratih. Kirana tak menjawab. Hanya senyuman yang terkembang di bibirnya.
"Malam pertama itu gimana sih, Mbak? Sakit gak?" tanya Ratih penasaran.
Senyuman di wajah Kirana mendadak hilang. Dia teringat bagaimana perih yang dia rasakan di malam pertamanya. Bukan hanya perih di kemaluannya, tetapi juga perih melihat ibunya yang disetubuhi oleh suaminya di ranjang pengantinnya dengan sukarela. Terlebih sakit lagi, dia tak bisa membuktikan bahwa dirinya masih perawan.
"Kok malah diem, Mbak? Sakit, ya?" ulang Ratih semakin penasaran.
"Ya terasa perih karena belum pernah dimasuki barang lelaki."
Kirana menjawab juga agar Ratih tak malah curiga dengan apa yang dipikirkannya. Ratih hanya mengangguk-angguk. Ekspresi mukanya menunjukkan bahwa dia sedang memikirkan sesuatu.
"Gak usah takut. Yang penting jangan tegang," lanjut Kirana.
Kirana terdengar lancar berkomunikasi. Dia sudah tidak terbata-bata lagi kalau berbicara, tetapi suaranya terdengar agak aneh dalam mengucapkan kata-kata. Itu juga yang dikatakan terapis yang memberinya terapi AVT. Dia harus belajar banyak tentang cara melafalkan kata-kata dengan tepat.
Selama ini, Kirana tak bisa mendengar kata-kata yang diucapkannya sendiri dengan jelas. Dia juga tidak bisa mendengar jelas orang lain berbicara. Dengan bantuan alat bantu dengar yang digunakannya, dia baru tahu bahwa kata-kata yang dia ucapkan selama ini terdengar berbeda dengan yang orang lain ucapkan.
Untuk membantunya melatih pelafalan, dia minta Ratih membantunya. Kirana menjelaskan bagaimana cara dia akan berlatih dan yang harus dilakukan Ratih adalah menyimak dan memperbaiki apa yang diucapkannya sampai terdengar normal.
Setelah ngobrol sejenak di kamar loteng, Kirana mengajak Ratih turun ke ruang depan pondok. Mereka berdua duduk di karpet. Kirana membuka aplikasi khusus yang akan digunakannya untuk belajar pelafalan.
Aplikasi yang digunakannya itu cara kerjanya sederhana. Kirana cukup memasukkan sebuah kata dan menekan sebuah tombol lalu akan terdengar kata tersebut diucapkan melalui pengeras suara di ponsel.
Mulailah Kirana memulai acara belajarnya. Ratih menyimak dan membetulkan cara pelafalan Kirana. Untuk tiap kata, Ratih berkali-kali membetulkan ucapan Kirana. Setelah ucapan Kirana terdengar normal barulah beralih ke kata lainnya.
Hampir dua jam lamanya Kirana belajar dibantu oleh Ratih. Saatnya istirahat. Kirana ingin melatih pendengarannya di luar ruangan. Diajaknya Ratih menuju ke teras pondok dan mereka berdua duduk di kursi kayu yang ada di sana.
Kirana menjelaskan lagi kepada Ratih apa yang akan dilakukannya berikutnya. Dalam latihannya itu, dia akan menjalaninya sendiri tanpa perlu dibantu. Kirana mempersilahkan Ratih jika dia mau berjalan-jalan di sekitar pondok sementara dia melatih pendengarannya.
Sambil mengambil posisi duduk santai di kursi kayu, Kirana memejamkan matanya. Dia berusaha fokus dengan pendengaran di telinga kanannya untuk mendengarkan bunyi sekecil apa pun yang bisa terdengar di telinganya dengan bantuan alat bantu dengar yang terpasang di telinganya itu. Tujuannya adalah melatih pendengarannya agar lebih sensitif.
Dengan berkonsentrasi sambil memejamkan mata, Kirana merasa bisa lebih fokus mendengarkan bunyi di sekitarnya. Bunyi air dari samping pondok terdengar dominan di telinganya. Sesekali dia mendengar ada bunyi burung.
Tiba-tiba Kirana membuka matanya dan menoleh ke arah kanannya. Dia mendengar bunyi motor yang sudah dikenalnya. Itu bunyi motor Farhan. Dia lalu bangkit menyambut suaminya yang berjalan mendekatinya.
"Gimana latihannya?" tanya Farhan sambil tersenyum.
"Bagus," jawab Kirana singkat.
"Silakan kamu lanjutkan latihannya," ujar Farhan sambil berjalan mendekati Ratih yang sedang memandang pemandangan hijau di seberang tebing.
Kirana lalu duduk kembali dan memejamkan matanya. Sayup-sayup dia mendengar Farhan dan Ratih ngobrol tapi tak terlalu jelas yang mereka bicarakan. Meski Kirana berusaha keras fokus dengan pendengarannya, suara mereka tetap tak bisa ditangkapnya dengan baik sehingga dia tak tahu isi percakapan mereka berdua.
"Umurmu berapa sekarang?" tanya Farhan.
Ratih memandang lelaki paruh baya di samping kanannya, "bulan lalu 18 tahun." Dia lalu mengalihkan pandangannya lagi ke depan.
Farhan memandangi wajah gadis remaja di sampingnya itu. Gadis itu berkulit sawo matang. Hidungnya agak mancung dan matanya cukup indah. Wajah gadis itu cukup manis dan bertubuh langsing dengan buah dada berukuran sedang. Rambut hitamnya dikuncir satu di belakang. Bibirnya merah alami tanpa polesan lipstik.
"Kamu sudah tamat sekolah?" tanya Farhan lagi.
"Sudah selesai SMA tahun lalu," jawab Ratih sambil menoleh memandangi lawan bicaranya.
Dia baru sadar bahwa jika diperhatikan, lelaki di sampingnya itu cukup tampan. Tubuhnya tinggi dengan badan berukuran sedang. Kulitnya agak coklat namun kelihatan bersih terawat. Wajahnya teduh namun tampak tegas. Meski tak berotot seperti para lelaki di desa itu yang biasa bertani dan berkebun, tubuhnya cukup tegap dan berpostur gagah.
Ratih lalu bercerita tentang orang tuanya yang bertani di sawah mengandalkan sepetak sawah yang mereka punya. Meski tak menghasilkan banyak uang, orang tuanya sanggup menyekolahkan dia dan dua adik lelakinya. Kedua adiknya masih duduk di kelas tiga SMP dan kelas enam SD. Dia sendiri menganggur setelah tamat SMA.
"Kalo kamu gak keberatan, aku mau kamu tiap hari menemani istriku di sini mulai siang sampai sore hari. Nanti aku bayar gajimu 500 ribu tiap bulan. Gimana?" tanya Farhan.
Ratih tampak berpikir sejenak lalu dia mengangguk sambil tersenyum manis.
"Sepakat?" Farhan menyodorkan tangannya.
"Sepakat," jawab Ratih menyambut jabat tangan Farhan.
Tangan gadis itu terasa halus dirasakan Farhan. Nampaknya gadis itu tidak terbiasa bekerja kasar. Kulitnya pun terasa halus dan nampak terawat. Gadis itu cocok menemani Kirana, pikirnya.
"Oh ya, aku tunjukkan kamu dapur di dalam biar kamu sesekali bisa membuat minuman atau makanan selama kalian di sini."
Farhan lalu mengajak Ratih masuk ke dalam pondok. Mereka melewati Kirana yang masih menutup matanya berkonsentrasi tanpa mengganggunya.
"Kamu lihat, di sini ada kompor gas yang sudah saya siapkan. Mungkin gas itu cukup awet juga karena kamu tentu cuma sesekali memasak di sini." Farhan menjelaskan pada Ratih ketika mereka ada di dapur.
"Di lemari itu ada perlengkapan makan. Ada gelas, piring, sendok, dan garpu di dalamnya."
Ratih mencoba membuka lemari itu, tetapi dia tak berhasil membuka kuncinya setelah mencobanya beberapa kali. Pintu lemari itu nyangkut.
Farhan mendekatinya untuk membantunya membukanya. Saat kunci pintu lemari itu dibuka Farhan, Ratih menarik pegangan pintu itu dengan terlalu keras sehingga bokong menabrak paha Farhan dekat selangkangannya. Posisi Farhan terlalu dekat di belakang Ratih.
Farhan kaget dihantam pantat gadis itu. Tangannya refleks memeluk pinggang gadis itu. Dengan begitu, sesuatu di balik celana panjangnya tersentuh bagian atas bokong gadis itu yang terasa padat.
Mereka berdua terdiam sejenak. Tangan Farhan masih memeluk pinggang Ratih. Gadis itu merasa serba salah. Di satu sisi dia merasa kaget, di sisi lain dia menikmati kehangatan dipeluk tubuh lelaki dewasa di belakangnya.
"Maaf," ujar Ratih agak gugup.
"Gak apa-apa kok. Kamu kan gak sengaja. Kalo sengaja juga aku ikhlas kok," ujar Farhan menggoda.
Ratih tersipu malu, tetapi dia tidak berusaha melepaskan pelukan lelaki itu dari pinggangnya. Di bokongnya terasa ada yang mengeras terasa mengganjal. Sebagai perempuan yang mulai dewasa, dia tahu apa yang sedang terjadi.
Farhan lalu melepaskan tangannya dari pinggang Ratih. Pikirannya jadi tidak karuan. Kejantanannya menegang. Dia tergoda dengan gadis itu.
"Ayo ikut aku ke atas," ajak Farhan.
"Tadi Mbak sudah mengajak aku ke atas," jawab Ratih.
"Tapi aku kan belum mengajakmu ke sana?" Farhan berdalih.
Gadis itu lalu mengikuti Farhan menapaki anak-anak tangga naik ke kamar loteng.
"Kalo kamu lelah nunggu Mbakmu sedang melatih pendengarannya sambil tutup mata seperti sekarang itu, kamu boleh tiduran di sini." Ratih hanya mengangguk menurut.
"Kamu belum coba kan tiduran di situ?" ujar Farhan.
"Belum, Mas."
"Ayo coba."
Ratih bingung disuruh mencoba tiduran di kasur. Jantungnya deg-degan. Dia tak mengerti apa maksud lelaki itu.
Farhan lalu membimbingnya duduk di tepi kasur lalu mendorong tubuhnya perlahan hingga terlentang di kasur. Diraihnya pipi gadis itu dengan tangannya lalu dilumatnya bibir merahnya. Ratih terpejam dan merasa bingung mendapat serangan seperti itu. Dia tak berpengalaman menghadapi lelaki. Dia hanya bersikap pasif, tetapi tak menolak diperlakukan begitu.
Tak lama Farhan menghentikan lumatannya di bibir Ratih. Ditariknya tangan gadis itu untuk bangkit dari kasur lalu mengajaknya turun ke bawah. Mereka berdua lalu keluar ke teras dan duduk di sana.
Kirana membuka matanya saat langkah mereka berdua mendekat. Dia tersenyum melihat suaminya dan Ratih.
"Maaf, aku asyik sendiri dengan latihanku," ujarnya.
"Ah, gak apa-apa. Memang tujuanmu ke mari kan untuk berlatih?" ujar Farhan.
"Aku tadi sudah bilang pada Ratih untuk menemanimu tiap siang di sini jadi kamu gak sendiri. Mulai sekarang, Ratih bekerja untukmu. Mungkin kalian bisa bawa makanan ke mari biar lebih enak di sini."
Farhan menjelaskan itu pada istrinya. Kirana dan Ratih hanya mengangguk patuh.
"Oh ya, kemarin aku sudah pasang hotspot di sini jadi kamu bisa bawa laptop. Kamu bisa belajar dari internet juga. Mungkin besok aku ajak warga pasang kamera CCTV di beberapa tempat untuk memantau keamanan desa. Satu nanti dipasang di sini."
"Besok hari Sabtu, kita nginap di sini ya, Mas." Kirana membujuk suaminya.
"Boleh. Kamu boleh ajak Ratih juga kalo dia mau," jawab Farhan.
