7. Pondok Sunyi
Pekerjaan memasak pagi itu baru saja usai. Semur ayam, sayur sop, dan tahu goreng sudah selesai semua dimasak. Kirana juga sudah selesai membuat sambal terasi. Pagi itu dia masak sendiri di dapur. Ibunya sedang memanen sayuran di halaman belakang rumah.
Matahari sudah tinggi ketika Kirana selesai memasak. Tubuhnya yang berkeringat menimbulkan rasa gerah. Dia ingin mandi dulu sebelum mengantarkan makan buat suaminya di pondok kebun tempat biasa suaminya beristirahat siang.
Setelah meletakkan tahu goreng dan sambal di meja makan, Kirana masuk ke kamarnya di paviliun. Sebelum mereka menikah, dibuatkan pintu dalam untuk masuk ke paviliun dari ruang tengah. Semula paviliun itu hanya bisa diakses dari depan.
Rumah itu mereka cukup besar dibandingkan rumah-rumah lain di desa itu. Rumah berdinding tembok itu dicat biru muda. Ada ruang tamu yang cukup luas yang terpisah dinding dari ruang tengah yang lebih luas. Kamar depan adalah kamar bapak dan ibunya. Kamar Kirana ada di sisi ruang tengah bersebelahan dengan kamar mandi. Dapurnya ada di belakang dan dipisahkan oleh dinding dengan ruang tengah. Ruang tengah itu merupakan gabungan dari ruang santai tempat nonton televisi dan ruang makan.
Kirana bersiap mandi di kamar mandi yang ada di paviliun yang sekarang menjadi kamarnya dengan suaminya. Dilepasnya kebaya, kain, serta pakaian dalamnya lalu dengan menenteng handuk di tangannya. Dia masuk ke kamar mandi.
Dia memang terbiasa mandi setelah masak meskipun pagi harinya juga sudah mandi. Kirana memang sangat rajin menjaga kebersihan tubuhnya. Itulah sebabnya tubuhnya selalu harum dan itu membuat suaminya menyukainya.
Setelah selesai mandi dan mengeringkan rambutnya, Kirana tidak memakai kebaya dan kain seperti biasanya. Hari itu dia mau memakai baju kurung dan kulot batik yang dibelikan suaminya. Farhan ingin agar istrinya berpakaian praktis ketika melakukan kegiatan di luar rumah supaya lebih bebas bergerak.
Sebenarnya ada alasan lain yang menyebabkan Kirana memakai pakaian itu. Dia akan ke pondok kebun dengan mengendarai motor ATV yang baru dibelikan suaminya sebagai hadiah perkawinan. Hadiah itu baru menyusul lebih dari sebulan mereka menikah setelah Farhan mendapatkan bagian hasil penjualan panen cabai dan tomat dari kebun mereka.
Motor roda empat itu baru saja diantar kemarin. Farhan langsung mencoba motor itu berkeliling. Setelah dia menguasai cara mengendarainya barulah dia ajarkan Kirana untuk bisa mengendarainya juga. Tak sampai satu jam, Kirana sudah tangkas mengendarai motor itu.
Kirana sudah rapi dantampak cantik dengan baju kurung lengan panjang warna krem dan celana kulotbatik. Dia juga memakai sepatu karet slipon warna coklat muda. Rambutnya yang sepunggung digelung sanggulmemperlihatkan leher jenjangnya yang mulus dengan kulit kuning langsat yangterawat.
Motor ATV warna merah nampak gagah terparkir di depan paviliun. Farhan sengaja memilih mesin 250 cc agar Kirana bisa mengendarainya di medan berbukit. Dengan ground clearance yang tinggi, tentu tak masalah melibas berbagai jalan yang tak rata tanpa khawatir nyangkut.
Bekal makan siang untuk Farhan sudah dikemas dalam rantang susun. Agar gampang membawanya, Kirana memasukkannya ke dalam ransel dan dipanggul di punggungnya. Setelah menyalakan kunci kontak dan menekan tombol starter, mesin motor ATV itu pun menderu.
Kirana tampak gagah di atas motor ATV-nya. Dia sudah tak canggung lagi mengendarainya. Biasanya kendaraan yang dikendarai Kirana hanyalah sepeda ontel. Dia lebih suka berjalan kaki kalau jalanan yang bakal dilaluinya berbukit-bukit. Dengan motor barunya, tak masalah baginya untuk menjelajah medan apa pun.
Dari jalan desa, Kirana melewati jalan menanjak dan terjal memasuki kawasan kebun mereka. Ban-ban besar dari motor ATV-nya mencengkeram dengan baik jalanan tanah itu. Tak lama berkendara, tampaklah pondok kebun mereka. Di halaman pondok, nampak motor adventure Farhan terparkir di sana.
"Mas," sapa Kirana setelah muncul di teras pondok tempat Farhan sedang duduk menunggu.
Farhan mencegah istrinya yang bersiap duduk di lantai seperti yang selalu dilakukannya. Diarahkannya istrinya duduk di kursi.
"Kamu gak boleh duduk di lantai lagi, ya." Kirana mengangguk patuh.
Farhan sebenarnya risih melihat istri duduk di lantai sementara dia duduk di kursi. Kirana terbiasa menghormati suaminya dengan cara seperti itu.
"Kamu kelihatan lebih cantik dengan penampilan seperti ini," puji Farhan.
Kirana tersenyum malu-malu. Pipinya bersemu merah.
Gimana tadi bawa motornya?" tanya Farhan.
"Gak masalah. Lancar, Mas," jawab Kirana dengan suara khasnya.
Setelah Kirana menggunakan alat bantu dengar dan mendapatkan terapi AVT (auditory verbal therapy) beberapa kali, dia sudah bicara tanpa terbata-bata lagi. Meskipun masih harus melatih pelafalan kata-kata agar tepat, setiap kata yang diucapkannya sudah terdengar hampir seperti orang berbicara normal. Dia juga sudah melatih untuk tidak membaca gerak bibir lawan bicaranya lagi melainkan berusaha mengandalkan pendengarannya dengan dibantu alat bantu dengar.
"Aku buatkan kopi dulu, ya, Mas," ujarnya sambil berjalan membungkukkan badannya.
Kirana masuk ke pondok dengan membawa rantang susun yang dibawanya tadi. Dia lalu sibuk memasak air serta menakar kopi dan gula untuk membuat kopi. Setelah air masak lalu diseduhnya kopi dan diantarkannya ke teras.
Rantang susun yang dibawanya tadi dibongkarnya dari susunan. Disiapkannya piring, sendok, dan gelas serta air minum. Dia lalu mengajak suaminya makan siang.
"Mas, habis ini aku mampir ke Pondok Sunyi dulu." Kirana pamit pada suaminya setelah makan siang selesai.
"Silahkan. Jangan sampai pulang terlalu sore ya. Kamu kan sendirian? Lain kali kamu ajak Ratih untuk menemani kamu kalo ke sana," ujar Farhan.
"Baik, Mas. Aku pamit dulu ya." Kirana mencium punggung tangan suaminya lalu meninggalkan pondok kebun.
Pondok Sunyi adalah pondok yang dibuat Farhan untuk mereka berdua bersantai. Pondok itu dibangun di tepi tebing. Lokasinya sekitar dua ratus meter dari rumah penduduk terdekat.
Ketika membuka lahan tidur milik Narto yang akan dijadikan kebun kopi dan jeruk, banyak pohon-pohon yang ditebang di lahan itu. Kayu dari pohon-pohon itu lalu dipotong-potong menjadi balok dan papan untuk menjadi bahan pembuat pondok. Farhan mempekerjakan empat orang tukang kayu untuk membuat pondok itu. Setelah hampir sebulan lamanya barulah pondok itu selesai.
Kirana memarkirkan motor ATV-nya di samping pondok. Dia belum pernah benar-benar masuk ke pondok itu. Selama ini hanya pernah melihat-lihat ketika pondok itu sedang dibangun.
Setelah selesai, pondok itu tampak bagus. Farhan merancangnya seperti pondok-pondok di luar negeri yang dia lihat di internet. Pondok itu berlantai semen dan berdinding kayu. Ada beberapa jendela kaca berukuran besar yang dipasang di sana baik di sisi depan maupun samping. Bagian depannya ada teras besar berlantai kayu yang menggantung di tepi tebing. Ada pagar kayu yang dipasang horizontal pada tiang-tiang di tepi sekeliling teras sebagai pengaman.
Dengan agak takut-takut, Kirana mendekat ke ujung teras yang menggantung di tepi tebing. Tangannya berpegangan pada pagar pengaman. Dia memandang ke aliran sungai yang mengalir deras di bawah. Meski agak ngeri melihat ke bawah dari ketinggian, tetapi pemandangannya cukup indah.
Di sisi pondok, ada air yang diarahkan dari bukit melewati samping pondok dan dialirkan ke sungai di bawah seperti air terjun kecil. Aliran air ini digunakan untuk menggerakkan generator kecil sebagai pembangkit listrik untuk penerangan pondok.
Kirana menyukai pondok itu. Selain pemandangannya indah, suasananya sunyi dan hanya terdengar bunyi air dari samping pondok. Dia bisa mendengarnya meskipun terdengar sayup di alat bantu dengarnya. Udaranya sejuk sebagaimana kesejukan yang terasa di seluruh desa di kaki bukit itu.
Pintu pondok dibiarkan tak terkunci ketika Kirana memasukinya. Isi pondok berupa satu ruangan tanpa partisi. Di bagian depan ada karpet yang terpasang di lantai untuk duduk bersantai. Di bagian dalam ada meja kayu pendek tanpa kursi yang tingginya sekitar setengah meter. Di sisi belakang ada dapur. Dari bagian tengah itu ada tangga kayu untuk naik ke kamar loteng. Kamar itu tanpa dinding hanya memiliki pembatas berupa railing yang menerus dari sisi tangga ke sana. Di atas sana ada tempat tidur ukuran double.
Berada di dalam pondok itu terasa menyenangkan bagi Kirana. Pondok itu rasanya seperti rumah kecil yang cukup nyaman untuk menginap. Farhan membuatkan pondok itu untuk Kirana beraktivitas di siang sampai sore hari. Selain itu, Farhan juga berencana untuk sesekali mengajak Kirana menginap di sana.
Sambil tersenyum-senyum sendiri, Kirana membayangkan dirinya beraktivitas dengan belajar dan melakukan berbagai hobinya di sana. Dia berencana berlatih melafalkan kata-kata dengan dibantu aplikasi khusus. Suatu saat dia juga ingin belajar memainkan alat musik. Farhan menganjurkannya belajar biola karena bunyi biola cukup keras untuk bisa didengar telinga Kirana.
Kirana lalu berniat menjemput Ratih untuk menemaninya. Tentu lebih enak kalau ada yang menemaninya sampai sore, pikirnya. Setelah menutup pintu pondok, Kirana menyalakan motornya dan melaju ke rumah Ratih yang tak jauh dari sana.
