Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5: Perasaan yang Tak Bisa Dipungkiri

Anaya berjalan cepat meninggalkan kafe, berharap udara malam bisa menenangkan pikirannya. Tapi bayangan Virendra dan Ayesha terus berputar di benaknya.

"Kenapa aku harus peduli?"

Ia sudah menata ulang hidupnya. Sudah berdamai dengan masa lalu. Lalu, kenapa kehadiran Virendra kembali justru mengguncang segalanya?

Ponselnya bergetar di tangan. Sebuah pesan masuk dari nomor yang sudah lama tidak ia lihat.

Virendra: Anaya, aku bisa jelasin.

Anaya menatap pesan itu lama sebelum akhirnya mematikan layar ponselnya tanpa membalas.

Ia butuh waktu.

Keesokan harinya di kantor, Anaya mencoba bersikap normal. Ia fokus bekerja dan menghindari kontak dengan Virendra.

Namun, saat jam makan siang, ia mendapati sosok pria itu sudah berdiri di depan ruangannya.

"Anaya, kita perlu bicara."

Anaya melirik ke sekeliling, menyadari beberapa rekan kerja mulai memperhatikan mereka. Ia menghela napas, lalu mengangguk. "Baiklah."

Mereka berjalan menuju taman kecil di luar kantor, tempat yang cukup sepi.

"Ayesha itu siapa?" Anaya akhirnya bertanya, langsung ke intinya.

Virendra terdiam sesaat sebelum menjawab, "Dia... tunanganku."

Dunia Anaya seakan berhenti berputar.

Jadi selama ini...

Anaya memaksakan senyum. "Selamat, Ren. Aku nggak tahu kalau kamu sudah sejauh itu."

Virendra menatapnya lama. "Aku ingin memberitahumu, tapi... aku juga nggak tahu kenapa aku harus menjelaskan ini padamu."

"Kenapa?" suara Anaya terdengar lebih pelan dari yang ia inginkan.

Virendra menghela napas, lalu menatapnya dengan sorot mata yang dalam. "Karena aku juga nggak yakin dengan apa yang kurasakan sekarang."

Anaya membeku.

Hatinya berdebar, tetapi ia tahu ini salah.

"Kamu sudah punya tunangan, Ren," bisiknya.

"Aku tahu," jawab Virendra lirih. "Tapi aku juga tahu... sejak bertemu lagi denganmu, perasaanku mulai berantakan."

Anaya menggigit bibirnya, menahan gejolak yang mulai muncul di dadanya.

Mereka seharusnya tidak seperti ini.

"Terlambat, Ren," kata Anaya akhirnya, mencoba menguatkan hatinya. "Kita sudah memilih jalan masing-masing."

"Tapi apa kita benar-benar menginginkannya?"

Anaya tidak punya jawaban.

Karena jauh di lubuk hatinya, ia tahu—ia juga masih merasakan hal yang sama.

Anaya menatap Virendra, mencoba mencari jawaban di matanya. Tapi pria itu hanya diam, menunggunya berbicara.

"Apa kita benar-benar menginginkannya?"

Pertanyaan itu masih terngiang di telinganya, menciptakan dilema yang menyesakkan.

Anaya menarik napas dalam, lalu tersenyum tipis—senyum yang dipaksakan. "Ren, kita nggak bisa begini."

Virendra mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya. "Jadi kita pura-pura aja? Seolah nggak pernah ada apa-apa di antara kita?"

Anaya menelan ludah. "Bukan pura-pura, tapi menerima kenyataan. Kamu sudah bertunangan, dan aku... aku nggak mau jadi bagian dari sesuatu yang bisa menyakiti orang lain."

Sorot mata Virendra meredup. Ia menatap tanah sejenak sebelum kembali encar memandang Anaya. "Aku nggak pernah berhenti mencarimu, Nay. Tapi saat akhirnya aku menyerah, aku pikir... mungkin ini takdir. Lalu aku bertemu Ayesha, dan kupikir aku bisa belajar mencintainya."

Anaya tersentak. "Kamu bilang... belajar mencintainya?"

Virendra mengangguk pelan. "Aku menyayanginya, Nay. Tapi perasaanku padamu… berbeda. Dan sejak kita bertemu lagi, aku sadar kalau aku masih..."

"Jangan," potong Anaya cepat, suaranya bergetar. "Jangan lanjutkan, Ren."

Virendra terdiam, tapi ekspresinya jelas menunjukkan perasaan yang sama dengannya.

Hati Anaya terasa semakin berat. Ini bukan situasi yang seharusnya mereka hadapi.

"Ayesha orang yang baik, kan?" tanya Anaya dengan suara lebih pelan.

Virendra menatapnya lama sebelum akhirnya mengangguk. "Ya."

"Dan dia mencintaimu?"

"...Ya."

Anaya tersenyum tipis. "Kalau begitu, jangan sia-siakan perasaan itu. Jangan sakiti dia hanya karena masa lalu kita."

Virendra mengepalkan tangannya semakin erat. "Jadi ini yang kamu mau?"

Anaya menatap langit sejenak sebelum menoleh kembali padanya. "Ini yang seharusnya."

Hening.

Untuk pertama kalinya sejak bertemu lagi, Virendra terlihat benar-benar tak berdaya.

Namun akhirnya, ia menghela napas panjang, lalu berkata dengan suara pelan, "Baiklah, Nay. Kalau itu yang kamu mau."

Anaya hanya tersenyum. Tapi saat Virendra berbalik dan mulai melangkah pergi, matanya mulai terasa panas.

Ia telah membuat pilihan.

Tapi kenapa rasanya seperti kehilangan sesuatu yang begitu berharga untuk kedua kalinya?

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel