Bab 4: Kenyataan yang Sulit Diterima
Sejak percakapan di rooftop, Anaya berusaha menghindari Virendra. Ia mencoba fokus pada pekerjaannya, tetapi pikirannya terus berputar pada kata-kata pria itu.
"Kamu percaya kalau ini hanya kebetulan?"
Sialnya, pertanyaan itu semakin sulit ia jawab.
Hari itu, Anaya baru saja menyelesaikan pekerjaannya ketika notifikasi chat muncul di layar ponselnya.
Rekan Kerja: Nay, malam ini kita ada gathering kantor di kafe dekat sini. Ikut, ya?
Anaya ragu sejenak, tetapi kemudian membalas setuju. Mungkin menghabiskan waktu dengan teman-temannya bisa mengalihkan pikirannya dari semua hal yang mengganggu.
Suasana kafe cukup ramai saat Anaya tiba. Ia bergabung dengan rekan-rekannya, tertawa dan mengobrol santai. Untuk sesaat, ia merasa lebih baik.
Namun, semuanya berubah saat seseorang masuk ke dalam kafe.
Virendra.
Dan ia tidak sendirian.
Seorang wanita berjalan di sampingnya, anggun dan penuh percaya diri. Mereka terlihat begitu akrab, saling tersenyum dan berbicara dengan nyaman.
Hati Anaya mencelos.
"Eh, bukannya itu Pak Virendra?" bisik salah satu temannya.
"Iya, dan siapa cewek itu?" sahut yang lain.
Anaya berusaha tetap tenang, tetapi dadanya terasa sesak.
Virendra tampaknya tidak menyadari keberadaannya. Ia berjalan menuju meja lain bersama wanita itu. Anaya menunduk, menggenggam gelasnya erat.
"Kenapa aku peduli?" pikirnya. "Bukankah aku sendiri yang bilang ini hanya masa lalu?"
Tapi kenyataannya, melihat Virendra bersama wanita lain menimbulkan rasa tidak nyaman di hatinya.
Seorang rekan kerja menyadari perubahan ekspresi Anaya. "Nay, kamu nggak apa-apa?"
Anaya tersenyum kecil, meski terasa dipaksakan. "Aku baik-baik saja."
Tapi hatinya tahu, ia sedang berbohong.
Anaya mencoba tetap fokus pada obrolan di mejanya, tapi pikirannya terus melayang ke Virendra dan wanita yang bersamanya.
Siapa dia? Kenapa mereka terlihat begitu akrab?
"Aku nggak peduli. Aku nggak peduli."
Namun, saat tanpa sadar ia melirik ke arah meja Virendra, tatapan mereka bertemu.
Sesaat, dunia terasa membeku.
Virendra menatapnya dengan sorot mata yang sulit diartikan. Ada keterkejutan di sana, tapi juga sesuatu yang lain—sesuatu yang membuat dada Anaya semakin sesak.
Namun, sebelum ia bisa membaca lebih jauh ekspresi pria itu, wanita di sampingnya mengatakan sesuatu, dan Virendra mengalihkan perhatian kembali padanya.
Seolah kehadiran Anaya tidak berarti apa-apa.
Anaya merasakan sesuatu di dadanya mengencang. Ia buru-buru meneguk minumannya, berharap rasa dingin bisa meredakan gejolak di hatinya.
"Eh, Nay, kamu kenal Pak Virendra?" tanya salah satu temannya dengan nada penasaran.
Anaya tersenyum kecil, berusaha terlihat santai. "Kami... teman lama."
"Tapi kok ekspresi kamu nggak kayak orang yang cuma teman lama?" goda temannya yang lain.
Anaya tertawa kecil, meski terasa hambar. "Kalian kebanyakan nonton drama."
Namun, saat ia melirik lagi ke arah Virendra, pria itu masih menatapnya. Kali ini, ekspresinya sulit ditebak.
Setelah hampir satu jam, Anaya tidak tahan lagi. Ia berpamitan lebih dulu pada rekan-rekannya dan keluar dari kafe. Udara malam sedikit membantu menenangkan pikirannya.
Tapi belum sempat ia berjalan jauh, suara familiar menghentikannya.
"Anaya."
Ia berbalik, mendapati Virendra berdiri beberapa langkah darinya.
Hati Anaya berdebar, tapi ia berusaha tetap tenang. "Ada apa?"
Virendra menatapnya lama sebelum akhirnya berkata, "Kamu menghindari aku?"
Anaya terdiam. Ia ingin menyangkal, tapi itu akan menjadi kebohongan.
"Aku hanya sibuk," jawabnya akhirnya.
Virendra menghela napas. "Lalu kenapa tadi di dalam, kamu terlihat terganggu saat melihatku?"
Anaya menegakkan bahu, mencoba bersikap biasa. "Itu cuma perasaanmu."
Virendra menatapnya lebih dalam. "Benarkah?"
Anaya menahan napas. Kenapa pria ini selalu bisa membaca pikirannya?
Namun sebelum ia bisa menjawab, wanita yang tadi bersama Virendra keluar dari kafe dan menghampiri mereka.
"Ren, kamu di sini?" suaranya lembut.
Anaya merasakan sesuatu mencengkeram hatinya saat wanita itu berdiri di samping Virendra dengan ekspresi bertanya.
"Ah," Virendra tersadar, lalu menoleh ke Anaya. "Kenalkan, ini Ayesha."
Ayesha tersenyum ramah. "Hai, kamu teman Virendra?"
Anaya memaksakan senyum. "Ya. Teman lama."
"Senang bertemu denganmu," kata Ayesha dengan nada tulus.
Anaya hanya mengangguk, lalu kembali menatap Virendra. "Aku harus pergi. Selamat malam."
Tanpa menunggu balasan, ia segera berbalik dan melangkah pergi.
Tapi semakin ia menjauh, semakin kuat perasaan aneh yang menggelayuti hatinya.
Virendra tidak mengatakan siapa Ayesha baginya.
Dan itu, entah kenapa, justru lebih menyakitkan.
