Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6: Luka yang Tak Pernah Sembuh

Anaya mencoba menjalani hari-harinya seperti biasa, tapi perasaan aneh itu terus menghantuinya. Sejak perbincangan dengan Virendra di taman kantor, pikirannya tak pernah benar-benar tenang.

Ia sudah membuat keputusan, kan? Lalu, kenapa hatinya masih terasa sesak?

Saat sedang menatap layar komputer tanpa fokus, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Rani, sahabatnya.

Rani: Kamu sibuk? Ketemu yuk, aku lagi di dekat kantor kamu.

Anaya segera membalas.

Anaya: Oke, aku keluar sekarang.

Beberapa menit kemudian, Anaya bertemu dengan Rani di sebuah kafe kecil tak jauh dari kantornya. Rani sudah menunggu dengan secangkir kopi di hadapannya.

"Jadi, ada apa?" tanya Anaya setelah duduk.

Rani menyipitkan mata, menatapnya curiga. "Aku yang harusnya nanya, Nay. Kamu kenapa?"

Anaya menghela napas. "Aku baik-baik aja."

Rani mendengus. "Jangan bohong. Aku tahu kamu lebih dari sepuluh tahun, dan ekspresi kamu sekarang kayak orang yang lagi menyimpan sesuatu."

Anaya terdiam. Haruskah ia bercerita?

Setelah beberapa detik menimbang-nimbang, ia akhirnya berkata pelan, "Aku ketemu Virendra lagi."

Rani membelalakkan mata. "Virendra? Maksudmu Virendra yang dulu?"

Anaya mengangguk.

Rani meletakkan cangkirnya dengan sedikit kasar. "Dan kamu nggak bilang dari kemarin-kemarin?! Gimana ceritanya?!"

Anaya tersenyum kecil. "Dia ternyata kerja di tempat yang sama denganku."

Rani terdiam sesaat, lalu menghela napas. "Dan perasaan kamu gimana?"

Anaya menggigit bibirnya. "Aku nggak tahu, Ran. Aku pikir aku udah melupakan semuanya, tapi ternyata nggak semudah itu."

Rani menatapnya dalam-dalam. "Kamu masih cinta sama dia?"

Anaya menunduk. "Dia udah bertunangan."

Rani mengangkat alisnya. "Jawaban kamu nggak menjawab pertanyaanku, Nay."

Anaya menghela napas panjang. "Aku nggak tahu, Ran. Aku cuma... bingung."

Rani meraih tangannya dan menggenggamnya erat. "Dengar, Nay. Aku nggak akan bilang kamu harus melupakan dia, atau harus berjuang untuk dia. Tapi satu hal yang pasti—kamu harus jujur sama diri sendiri. Kalau kamu terus menahan perasaan, kamu hanya akan menyakiti dirimu sendiri."

Anaya menatap sahabatnya lama, merasa hatinya semakin berantakan.

Benarkah selama ini ia hanya berusaha menghindari perasaannya sendiri?

Anaya menyesap kopinya, mencoba meredakan kegelisahan di hatinya. Kata-kata Rani masih terngiang di kepalanya—kamu harus jujur sama diri sendiri.

Tapi bagaimana kalau kejujurannya justru menyakiti orang lain?

"Aku nggak bisa, Ran," gumamnya lirih.

Rani menatapnya tajam. "Nggak bisa apa?"

"Nggak bisa egois," jawab Anaya, memainkan sendok kecil di tangannya. "Aku nggak bisa memikirkan perasaanku sendiri tanpa memikirkan Ayesha."

Rani mendengus. "Tapi kamu juga nggak bisa terus-terusan menyangkal perasaanmu. Ini bukan cuma tentang Ayesha atau Virendra, Nay. Ini tentang kamu juga. Sampai kapan mau begini?"

Anaya terdiam.

Sampai kapan?

Sebelum ia sempat menjawab, ponselnya tiba-tiba bergetar di meja. Nama di layar membuat dadanya mencelos—Virendra.

Rani ikut melirik layar ponsel itu dan menaikkan alisnya. "Itu dia, kan? Jawab."

Anaya menelan ludah, ragu-ragu sebelum akhirnya mengangkat panggilan itu. "Halo?"

"Anaya, bisa ketemu sebentar?" Suara Virendra terdengar serius di seberang.

Anaya melirik Rani, yang langsung mengangguk antusias seolah menyuruhnya pergi.

"Di mana?" tanya Anaya akhirnya.

"Lobi kantor. Aku tunggu."

Sambungan terputus sebelum Anaya bisa berkata apa-apa.

Rani berseru excited, "Udah, cepetan temui dia! Aku penasaran banget!"

Anaya memutar mata. "Kamu lebih heboh dari aku, Ran."

Rani menyeringai. "Ya iyalah, ini kayak drama Korea yang aku tunggu ending-nya!"

Anaya tertawa kecil meski hatinya masih berdebar.

Beberapa menit kemudian, ia sudah berdiri di depan lobi kantor, dan di sana, Virendra menunggunya.

Pria itu mengenakan kemeja biru tua yang digulung sampai siku, rambutnya sedikit berantakan seolah dia banyak berpikir.

"Ada apa?" tanya Anaya pelan.

Virendra menatapnya sejenak sebelum akhirnya berkata, "Ikut aku sebentar."

Anaya ragu, tapi akhirnya mengikuti langkah pria itu menuju taman kecil di samping gedung.

Begitu sampai di sana, Virendra menatapnya dengan mata yang penuh keraguan dan keteguhan di saat yang sama.

"Aku mau jujur sama kamu, Nay," ucapnya, suaranya rendah tapi dalam.

Anaya menahan napas, menunggu kelanjutan kata-katanya.

"Ayesha mengajakku membicarakan pernikahan minggu depan," lanjutnya.

Jantung Anaya seperti berhenti berdetak sejenak.

"Kamu tahu apa yang pertama kali kupikirkan?" Virendra melanjutkan, tatapannya menusuk.

Anaya menggeleng pelan, meski ia takut mendengar jawabannya.

Virendra tersenyum kecil—senyum yang terasa pahit. "Aku bertanya pada diriku sendiri... kenapa aku masih berharap orang yang berdiri di altar itu adalah kamu?"

Dunia Anaya seakan berhenti berputar.

Hatinya berdegup kencang, dan ia merasa ingin lari dari perasaan yang baru saja diungkapkan pria itu.

"Aku nggak minta kamu melakukan apa-apa, Nay," kata Virendra lagi. "Aku cuma... ingin kamu tahu."

Anaya menggigit bibirnya, mencoba mengendalikan emosinya yang memuncak.

"Kamu nggak boleh ngomong kayak gitu, Ren," bisiknya, nyaris tak terdengar.

"Tapi itu yang aku rasakan," jawab Virendra, suaranya penuh ketulusan.

Hening.

Hanya suara angin yang berhembus lembut di antara mereka.

Anaya mengepalkan tangannya erat. Ini salah. Ini tidak boleh terjadi.

Tapi kenapa hatinya ingin berteriak dan berkata bahwa ia merasakan hal yang sama?

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel