Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3: Kenangan yang Terpendam

Anaya berusaha fokus pada pekerjaannya, tapi pikirannya terus melayang ke pertemuannya dengan Virendra. Ia tidak menyangka kalau perasaan canggung itu masih ada, meskipun mereka sudah bertahun-tahun berpisah.

Saat jam istirahat tiba, beberapa rekan kerja mengajaknya makan siang bersama di kantin. Anaya setuju, berharap bisa lebih akrab dengan mereka. Namun, saat ia hendak pergi, suara dari belakang menghentikannya.

"Anaya."

Ia berbalik dan melihat Virendra berdiri di ambang pintu ruangannya. Tatapannya tenang, tapi ada sesuatu di dalamnya yang sulit diterjemahkan.

"Ikut aku sebentar," katanya singkat.

Anaya melirik rekan-rekannya yang terlihat penasaran. Dengan sedikit ragu, ia mengikuti langkah Virendra menuju rooftop kantor.

Begitu sampai di sana, angin sepoi-sepoi menyapu wajahnya. Tempat itu sepi, hanya ada mereka berdua.

"Kenapa aku?" tanya Anaya akhirnya.

Virendra menoleh ke arahnya, alisnya sedikit mengernyit. "Maksudmu?"

"Kenapa kamu ingin bicara denganku lagi? Bukankah kamu bilang kita harus profesional?"

Virendra menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya menghela napas. "Aku hanya ingin tahu satu hal. Selama bertahun-tahun, kamu pernah mencari aku?"

Pertanyaan itu membuat Anaya tercekat. Ia menunduk, menggigit bibirnya.

"Aku... aku sempat mencoba," jawabnya lirih. "Tapi aku nggak tahu harus mulai dari mana."

Virendra tertawa kecil, tapi bukan tawa yang menyenangkan. "Jadi kamu menyerah?"

Anaya menatapnya tajam. "Lalu kamu sendiri? Apa kamu pernah mencariku?"

Hening.

Sorot mata Virendra sedikit meredup. Ia menatap langit sebentar sebelum akhirnya berkata, "Aku pernah. Tapi aku berpikir... mungkin kamu memang nggak mau bertemu denganku lagi."

Kata-katanya membuat dada Anaya terasa sesak.

Mereka sama-sama mencari, tapi juga sama-sama menyerah.

Anaya menarik napas panjang. "Sekarang kita sudah bertemu lagi. Apa artinya ini, Ren?"

Virendra menatapnya lama sebelum akhirnya tersenyum tipis. "Aku juga belum tahu, Anaya."

Hati Anaya semakin tak menentu. Virendra bukan lagi anak laki-laki yang dulu selalu melindunginya. Dia sudah menjadi pria dewasa yang sulit ditebak.

Namun, satu hal yang Anaya sadari—perasaan itu masih ada, bersembunyi di balik semua kata-kata yang belum terucap.

Hening menyelimuti mereka di rooftop. Hanya angin yang berbisik, seolah ikut menyaksikan dua hati yang ragu untuk jujur.

Anaya menggigit bibirnya, mencoba meredam gejolak di dadanya. Ia menatap Virendra yang masih berdiri tegak, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana.

"Apa artinya ini, Ren?"

"Aku juga belum tahu, Anaya."

Jawaban itu terus terngiang di benaknya.

"Kalau begitu, untuk apa kita membahas ini?" kata Anaya akhirnya. Ia menghela napas panjang, mencoba tersenyum meski terasa hambar. "Kita sudah berpisah lama. Mungkin kita hanya kebetulan bertemu lagi."

Virendra menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Kamu percaya kalau ini hanya kebetulan?"

Anaya terdiam. Ia ingin menjawab iya, tapi hatinya menolak.

"Kamu tahu, Anaya," lanjut Virendra, suaranya lebih lembut, "aku nggak pernah benar-benar melupakan kita. Tapi mungkin kamu benar. Kita sudah lama berpisah, dan sekarang kita bukan lagi anak-anak yang dulu."

Hati Anaya mencelos.

"Bukan lagi anak-anak yang dulu."

Kalimat itu seharusnya terdengar biasa, tapi ada sesuatu di dalamnya yang membuat dadanya terasa sesak.

"Ya," Anaya berusaha tetap tenang. "Kita sudah dewasa, Ren. Mungkin... perasaan yang dulu ada, hanya kenangan masa kecil."

Virendra menatapnya lama sebelum akhirnya tersenyum tipis. Tapi senyum itu tidak sampai ke matanya.

"Kalau itu yang kamu pikirkan," katanya pelan, "baiklah."

Anaya merasakan sesuatu di dalam dirinya remuk perlahan. Tapi sebelum ia bisa mengatakan apa pun, Virendra melangkah pergi, meninggalkannya sendiri di sana.

Anaya menggenggam jemarinya erat, menahan sesuatu yang terasa mengganjal di dadanya.

Tapi, benarkah semua ini hanya kenangan masa kecil?

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel