Bab 2: Bayang-Bayang Masa Lalu
Hari pertama Anaya di kantor berjalan cukup lancar, tapi pikirannya masih dipenuhi oleh sosok Virendra. Dia masih sulit percaya bahwa sahabat kecilnya kini adalah atasannya.
Saat jam makan siang tiba, Mira mengajak Anaya ke kantin kantor. "Ayo, sebelum penuh!" katanya semangat.
Anaya mengangguk, lalu mereka berjalan ke kantin. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat Virendra duduk di salah satu meja, sedang berbincang dengan beberapa kolega. Meski terlihat serius, dia tetap punya aura tenang yang khas—sama seperti dulu.
"Pak Virendra emang karismatik banget, ya?" bisik Mira sambil tersenyum. "Gimana sih kamu bisa kenal dia?"
Anaya ragu sejenak. "Kami teman kecil... dulu."
Mira membelalakkan mata. "Serius?! Wah, berarti kamu tahu sisi lain dari dia yang nggak orang lain tahu, dong?"
Anaya hanya tersenyum kecil, tapi hatinya terasa sedikit berat. Ya, dia tahu sisi lain Virendra. Dia tahu bocah laki-laki yang dulu suka melindunginya, yang selalu berjanji akan tetap ada di sisinya. Tapi apakah pria di depannya ini masih sama seperti yang dulu?
Tiba-tiba, Virendra menoleh ke arahnya. Mata mereka bertemu, dan waktu seakan berhenti sejenak. Ada sesuatu di dalam tatapan itu—seperti kenangan lama yang masih tertinggal.
Tapi sebelum Anaya bisa bereaksi, Virendra mengalihkan pandangannya dan kembali berbicara dengan rekan-rekannya, seolah tidak terjadi apa-apa.
Anaya menggigit bibirnya. Apakah dia hanya sekadar masa lalu bagi Virendra?
—
Malamnya, di Apartemen Anaya
Anaya duduk di sofa dengan secangkir teh hangat di tangannya. Di meja kecil di depannya, ada sebuah kotak kayu tua yang sudah lama tidak ia buka.
Perlahan, dia membuka kotak itu. Di dalamnya, ada beberapa foto lama, sebuah gantungan kunci berbentuk bintang, dan selembar kertas yang sudah mulai menguning.
Dia mengambil kertas itu dan membacanya.
"Anaya, kita sahabat selamanya! Aku janji nggak akan melupakan kamu!"
Tulisan tangan itu milik Virendra kecil. Anaya menghela napas pelan.
“Kamu benar-benar sudah lupa, Ren?” bisiknya lirih.
Dia tidak menyadari bahwa di tempat lain, Virendra juga sedang memandangi benda kecil di tangannya—sebuah kalung kecil berbentuk bintang, yang dulu ia temukan saat perpisahan mereka.
Kenangan lama mulai mengusik keduanya. Tapi apakah takdir akan benar-benar menyatukan mereka kembali? Ataukah perasaan yang belum terselesaikan ini akan menjadi luka baru?
Keesokan harinya, Anaya datang lebih pagi ke kantor. Dia ingin memberi kesan baik di hari-hari pertamanya. Namun, begitu memasuki ruangan, dia mendengar beberapa rekan kerja berbisik di dekat meja pantry.
"Katanya, Pak Virendra itu belum pernah dekat dengan siapa pun di kantor ini," ujar salah satu karyawan.
"Iya, dia selalu profesional. Tapi kemarin dia sempat menatap lama ke arah anak baru itu, Anaya, kan?" sahut yang lain.
Jantung Anaya berdegup kencang. Apa mereka memperhatikannya?
Merasa tak ingin terlibat dalam gosip, Anaya buru-buru menuju mejanya. Tapi baru saja dia duduk, suara berat yang familiar terdengar dari belakangnya.
"Anaya, ikut saya ke ruangan."
Deg.
Semua orang langsung menoleh ke arahnya. Tanpa berkata apa-apa, Anaya bangkit dan mengikuti langkah Virendra menuju ruangannya.
Setelah pintu tertutup, suasana mendadak hening. Virendra bersandar di meja sambil menyilangkan tangan di dadanya, menatap Anaya dengan ekspresi sulit ditebak.
"Aku nggak menyangka kita akan bertemu lagi di sini," katanya akhirnya.
Anaya menelan ludah. "Aku juga, Ren."
Mata Virendra sedikit menyipit. "Di kantor, panggil aku Pak Virendra."
Anaya terkejut, tapi dia segera menunduk. "Maaf, Pak Virendra."
Virendra menghela napas, lalu berjalan menuju jendela besar di ruangannya. "Aku cuma ingin memastikan satu hal. Kenapa kamu memilih bekerja di sini?"
Pertanyaan itu membuat Anaya terdiam.
"Aku... butuh pekerjaan," jawabnya jujur.
"Jadi ini kebetulan?"
Anaya mengangguk. "Aku nggak tahu kalau kamu adalah CEO di sini."
Virendra menatapnya dalam. Sekilas, Anaya melihat ada sesuatu dalam sorot matanya—keraguan, atau mungkin luka lama yang belum sembuh.
"Baiklah," kata Virendra akhirnya. "Selama di kantor, kita tetap profesional. Aku harap kamu tidak membiarkan masa lalu mengganggu pekerjaanmu."
Kata-kata itu sedikit menusuk hati Anaya. Seolah-olah pertemuan mereka kembali tidak berarti apa-apa bagi Virendra.
Anaya mengangkat dagunya. "Tentu, Pak Virendra. Aku akan bekerja sebaik mungkin."
"Bagus," sahutnya singkat. "Sekarang kembali ke mejamu."
Anaya membungkuk sedikit lalu keluar ruangan. Begitu pintu tertutup, dia menghela napas panjang.
Sementara di dalam ruangan, Virendra masih berdiri di dekat jendela, menatap ke luar dengan tatapan kosong.
Dia mungkin bilang kalau masa lalu tidak boleh mengganggu pekerjaan. Tapi nyatanya, kehadiran Anaya telah mengacaukan pikirannya lebih dari yang dia duga.
