Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

2. DARREN FAYEZ NALENDRA

Pagi yang cerah, sang Surya dengan malu-malu kucing muncul dari ufuk Timur. Suara burung berkicau dengan sangat riangnya saling bersahutan di antara ranting pohon dan daun-daun yang bergoyang tertiup angin sepoi-sepoi di pagi hari.

Di dalam sebuah rumah yang cukup besar, terlihat kegiatan rutin selalu terjadi di setiap pagi. Wanita paruh baya yang masih terlihat dengan jelas garis cantik diwajahnya, sedang sibuk menyiapkan sarapan pagi untuk anak dan suami tercintanya.

"Ibu!" Teriak sang kepala rumah tangga dari atas tangga dengan tangan kanan sedang memegang sebuah dasi.

Tidak ada jawaban, sepi. "Ibu!!" Teriaknya lagi dengan suara yang cukup keras.

"Ada apa Ayah?!" Celetuk suara anak laki-laki semata wayangnya dari arah belakang.

"Ibumu, ke mana?" Tanya Ayah melihat ke anaknya.

"Aku tidak tahu, baru ke luar dari kamar. Mungkin Nyonya Danu Sulaiman Nalendra sedang sibuk di dapur. Bukankah setiap pagi, Ibu selalu sibuk di dapur sedang menyiapkan sarapan untuk kita?"

"Ibumu itu terlalu betah kalau sudah berada di dapur. Masa suaminya tidak diurus? Lebih mementingkan dapur daripada suaminya," gerutu Ayah sambil menuruni anak tangga dengan tangan kanan yang masih memegang sebuah dasi.

"Ayah ini seperti anak kecil. Aku saja tidak apa-apa," kata sang anak, mengikuti Ayahnya dari belakang menuruni satu per satu anak tangga.

Di dalam dapur, terlihat seorang wanita paruh baya dengan anggunnya sedang memasak ditemani seorang asisten rumah tangga yang selalu siap bila disuruh.

"Ibu," panggil Ayah mendekat.

Ibu melihat ke belakang, terlihat senyum lebar mengembang dibibirnya begitu tahu siapa yang memanggilnya. "Ada apa suamiku?" Tanyanya.

"Dari tadi Ayah panggil tidak menjawab," ucap Ayah dengan tangan terulur memberikan dasinya. "Apa Ibu tidak mendengar?"

"Bi Inah," panggil Ibu melihat ke arah wanita yang dari tadi berdiri didekatnya. "Teruskan memasaknya."

"Iya, Nyonya," jawab Bi Inah mengambil alih masakan yang tadi dimasak majikannya.

Ibu mendekati Ayah, mengambil dasi yang ada di tangan suaminya. "Ayah ini manja sekali. Bukankah Ayah juga bisa memasang dasi?"

"Aku bisa pasang dasi tapi memasangkan dasi itu sudah menjadi tugas Ibu. Lagi pula, kenapa tiap pagi Ibu selalu saja menghilang?" Jawab Ayah merajuk.

Dari arah belakang terdengar anaknya bicara. "Ayah ini seperti anak kecil. Ibu bukan hanya milik Ayah saja tapi juga milik Darren. Bukankah begitu Ibu?"

Ibu tersenyum melihat anaknya yang sudah rapi dengan baju seragam Sekolahnya. "Iya sayang, Ibu milik kalian berdua."

Darren tersenyum memeluk Ibunya begitu pun dengan Ayah yang sudah selesai dipasangkan dasi langsung memeluk mereka berdua. "Ayah sayang kalian berdua."

Melihat keromantisan keluarga majikannya seperti itu sudah hal biasa bagi Bi Inah tapi tetap saja, matanya Bi Inah selalu berkaca-kaca ikut merasa senang terharu. Bahkan jauh di dalam hatinya ikut mendoakan agar keluarga majikannya selalu dilimpahkan kebahagiaan.

"Ini sudah siang, sampai kapan kalian mau memeluk Ibu seperti ini?" Tanya Ibu.

Ayah tersenyum melepaskan pelukannya. "Ibu sangat menggemaskan, Ayah jadi ingin memeluk Ibu terus."

"Hm, hm," deham Darren. "Ingat! Ada anak kecil di sini. Tidak boleh ada adegan dewasa depan mataku!" Ucap Darren protes melihat Ayahnya yang mau mencium bibir Ibunya.

"Iya, Ayah juga mau apa sih?!" Tanya Ibu sedikit mendorong tubuh suaminya karena malu.

"Ayah hanya mau mencium Ibu. Siapa yang bisa larang?!" Tanya Ayah.

"Ayah genit!" Ibu tersenyum malu membuang muka dengan wajah merona. "Lebih baik kita sarapan saja."

"Iya, ini sudah siang. Nanti aku terlambat ke Sekolah," kata Darren. "Adegan dewasanya nanti dilanjutkan setelah aku berangkat ke Sekolah."

Bi Inah sudah selesai menyiapkan sarapan segera memberitahu majikannya. "Sarapannya sudah siap Nyonya."

"Ayo, kita sarapan," ajak Ibu. "Kalian berdua harus sarapan terlebih dahulu sebelum berangkat."

Ayah sebagai kepala rumah tangga dengan wajah berkharismanya duduk di kursi ujung meja makan sementara Ibu dan Darren duduk di sisi kanan dan kiri. Tidak ada yang bersuara lagi disaat mereka sedang makan, hanya suara sendok dan garpu yang beradu dengan piring yang sesekali terdengar memecah kesunyian di ruang makan.

"Kapan kamu ujian akhir semester?" Tanya Ibu setelah selesai menghabiskan sarapannya melihat ke arah anaknya.

"Beberapa bulan lagi," jawab Darren.

"Belajar yang rajin. Kamu ini anak Ayah dan Ibu satu-satunya, penerus keluarga dan perusahaan yang Ayah punya sekarang, suatu saat nanti akan jatuh kepadamu. Jadilah anak yang berbakti, jangan terbawa pergaulan yang akan menjerumuskan kamu nantinya. Ingat! Hidup ini hanya sekali jadi jangan sia-siakan hidupmu dengan hal yang tidak berguna," kata Ayah melihat Darren.

"Iya," jawab Darren. "Lagipula kapan aku mengecewakan Ayah dan Ibu?"

Ibu tersenyum melihat anaknya. "Iya, kamu memang anak yang baik. Jadilah selalu menjadi yang terbaik sampai kapan pun."

Darren menghabiskan minumnya lalu segera pamit. "Aku berangkat duluan. Mungkin Jasmine sudah menungguku di depan."

"Hati-hati," ucap Ibu menerima kecupan dipipi kanan dan kiri dari anaknya.

"Aku berangkat Ayah," kata Darren langsung pergi tanpa ada kecupan untuk Ayahnya.

Di luar terlihat seorang anak perempuan dengan memakai baju seragam Sekolah sedang berdiri di luar pagar sambil melihat ke dalam halaman yang begitu luas. "Ke mana sih si Darren? Ini sudah siang. Mau Sekolah atau tidak?!" Gerutunya sendiri dengan wajah merengut.

Tidak lama setelah anak perempuan itu menggerutu, dari halaman rumah terlihat sebuah sepeda motor datang mendekat dan secara otomatis pintu pagar besi yang menjulang tinggi terbuka.

"Kenapa lama sekali?! Ini sudah siang," omelnya begitu sepeda motor berhenti didepannya.

"Iya, maaf Jasmine," jawabnya sambil memberikan helm untuk dipakai.

Jasmine menerima helm yang diberikan padanya dan tanpa banyak bicara langsung dipakai dan segera naik ke atas motor yang sedikit tinggi.

"Kamu sudah siap?" Tanya Darren. "Pegangan! Aku sedikit kencang membawa motor karena ini sudah siang."

Tanpa harus diperintah dua kali, Jasmine langsung memeluk pinggang Darren. "Ayo, aku sudah siap!"

Setelah mendengar Jasmine mengatakan itu, Darren segera melajukan motornya membelah jalan raya Ibukota yang terkenal dengan kemacetannya, menerobos di antara pengendara lain yang juga sedang berusaha untuk segera sampai ke tujuan.

Darren dan Jasmine bersahabat sejak mereka masih kecil. Kedua orang tua mereka berteman dan rumah mereka pun berjarak tidak terlalu jauh jadi hampir setiap hari mereka selalu bisa untuk saling mengunjungi. Orang tua Jasmine tidak sekaya orang tua Darren tetapi pertemanan mereka tidak pernah melihat dari seberapa kaya dan seberapa miskin hidup mereka. Itu terbukti dari persahabatan yang terjalin di antara Darren dan Jasmine.

Tidak lama kemudian, Darren dan Jasmine sudah sampai di depan gerbang Sekolah sesaat setelah bel tanda masuk berbunyi nyaring. Penjaga Sekolah yang hendak menutup pintu gerbang berdiri sesaat menunggu Darren dan Jasmine masuk dengan sepeda motornya.

"Hampir saja kita terlambat," kata Jasmine setelah membuka helmnya dan segera turun dari motornya.

"Aku sudah punya perhitungan, kita tidak mungkin terlambat. Kamu tidak percaya padaku, sepanjang jalan mengomel seperti ayam mau bertelur. Berisik!" Kata Darren sambil merapikan baju seragamnya yang terlihat kusut.

"Mata pelajaran pertama kita itu gurunya killer, kamu mau kena hukuman darinya?! Kalau aku tidak mau!" Jawab Jasmine tidak terima.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel