TANTE RAMBUT BLONDE
Setelah pasien wanita muda tadi keluar dengan perasaan kecewa. Dokter Megan masih tidak merasa bersalah dengan ketidak profesionalnya sebagai seorang dokter. Ia benar-benar terganggu dan terus memikirkan sehelai rambut panjang berwarna blonde di jaket suaminya.
Bangkit dari tempat duduknya. Dokter Megan kembali mendekati tempat ia menggantung jaket suaminya. Pelan-pelan, dijimpitnya sehelai rambut berwarna blonde itu, lalu menertawakan ke cahaya jendela kaca.
"Bu Dokter cantik!!"
Seruan seorang wanita yang baru saja masuk ke dalam ruangan praktek, mengejutkan Dokter Megan. Ia segera menggenggam sehelai rambut yang tadi ditelitinya.
"Hei, kenapa kamu terkejut begitu?" tanya wanita paruh baya yang baru saja masuk itu.
"Nggak, nggak apa-apa Tante," jawab Dokter Megan dengan gugup.
"Aku datang untuk kontrol, terus pengen mampir aja. Kamu sibuk?" tanya wanita paruh baya itu.
"Nggak, Tante. Silahkan duduk!" pinta Dokter Megan beramah-tamah.
Dokter Megan meletakkan sehelai rambut panjang berwarna blonde tadi di atas map hitam di sudut mejanya. Ia lantas berfokus pada wanita paruh baya di hadapannya.
Berbeda perlakuan antara pasien sebelumnya. Kali ini, ia tidak enak jika harus mengabaikan. Pasalnya, wanita paruh baya ini adalah teman mendiang mamanya dulu.
Ada lagi alasan kenapa Dokter Megan begitu memerhatikan wanita yang ia panggil Tante Kamila, yaitu warna rambut. Ya, warna rambut Tante Kamila benar-benar terlihat seperti sehelai rambut yang ia temukan menempel di jaket suaminya. Panjangnya kurang lebih juga sesuai. Sekarang ia mulai terusik dan memikirkan mungkin itu memang rambut milik Tante Kamila.
"Aku datang untuk memberimu ini," kata Tante Kamila kemudian menyodorkan sebuah undangan pameran seni yang akan diadakan besok malam atau lebih tepatnya Sabtu malam Minggu.
"Apa ini Tante? Undangan?" tanya Dokter Megan membolak-balik kertas persegi panjang dengan hiasan Glitter tersebut.
"Ya. Aku sudah lama menekuni hobi ini. Mungkin aku tidak punya banyak pengalaman, tapi ini sudah menjadi mimpiku sejak aku masih remaja dulu. Kamu harus datang dan melihat betapa tantemu ini sangat inspiratif, bla bla bla bla ...."
Tante Kamila terus mengoceh menceritakan awal, tengah, dan semuanya tentang kecintaannya pada seni lukis. Sementara Dokter Megan bukannya mendengarkan malah terus memerhatikan rambut baru Tante Kamila sembari berpikir yang tidak-tidak tentang suaminya dengan wanita paruh baya ini.
"Jadi, apa kamu akan datang?" tanya Tante Kamila membuyarkan kebengongan Dokter Megan.
"Aku ingin sekali datang, tapi aku benar-benar sangat sibuk untuk seminggu ke depan, Tante," jawab Dokter Megan menolak datang ke pameran seni tersebut.
"Ya ampun, aku benar-benar akan sangat kecewa kalau kamu tidak datang. Ini sangat penting bagiku. Kamu lihat betapa aku sangat bersemangat. Hobi baru, rumah baru, rambut baru. Ngomong-ngomong kamu dari tadi memerhatikan rambutku terus. Apa kamu juga menyukainya?" tanya Tante Kamila.
"Apa?!" Dokter Megan kembali terperanjat.
"Sejak aku masuk kamu terus melihat rambutku. Kamu suka kan?" ulang Tante Kamila.
"Oooh, iya. Warnanya sangat cocok untuk Tante. Terlihat lebih muda dan segar," jawab Dokter Megan sekenanya saja tapi sangka jika jawaban ngawurnya itu justru membuat Tante Kamila merasa tersanjung.
"Tentu saja. Ini adalah trend saat ini. Baiklah, aku tidak akan menggangu kamu lagi, tapi aku menunggumu dan suamimu datang ke pameran itu, oke?" paksa Tante Kamila agar Dokter Megan tetap datang ke pameran seni dan bahkan ia juga ingin suami Dokter Megan juga datang.
Wanita paruh baya berambut blonde itu pun meninggalkan ruang praktek Dokter Megan. Sementara Dokter Megan sendiri tampak kacau tidak seperti biasanya. Ia kembali meraih sehelai rambut panjang berwarna blonde dan menelitinya. Dilihat berulang kali memang sama warnanya dengan rambut Tante Kamila.
"Yang benar saja? Masa Tante Kamila? Usianya bahkan hanya lebih muda dua tahun dari mamaku. Apa yang aku lakukan? Mas Baim nggak mungkin begitu, kan?" gumam Dokter Megan bermonolog dengan dirinya sendiri.
Sementara Dokter Megan masih pusing perihal temuannya itu. Suaminya di rumah tampak tanpa beban mengurus rumah yang berantakan menjadi rapi dan bersih.
Tidak ada sudut ruangan yang tidak teratur. Baim sangat cekatan dalam hal ini. Ia pria yang tidak asing dengan apa pun jenis pekerjaan rumah. Bahkan, ia memasak menu favorit istri dan putranya untuk makan siang.
Sedang mengelap kompor usai memasak, tiba-tiba bel pintu berbunyi.
"Wow! Segar dan nyaman," ujar seorang pria yang baru saja datang itu.
"Duduklah! Aku ganti baju sebentar," kata Baim, lalu meninggalkan tamunya di ruang tamu.
Semua pekerjaan rumah sudah selesai. Sebentar lagi waktunya untuk menjemput Brandon pulang sekolah. Akan tetapi, ia baru saja mendapat tamu dan mereka berdua akan pergi ke luar.
Oleh karena itu, Baim tidak punya pilihan lain selain meminta istrinya yang pergi menjemput putra mereka yang akan pulang sekolah satu jam lagi.
"Halo, Sayang!" sapa Baim via telepon pada istrinya.
"Ya, Mas?" sahut Dokter Megan.
"Aku mendadak ada pekerjaan. Satu jam lagi Brandon akan pulang sekolah. Bisakah kamu saja yang menjemputnya?" tanya Baim.
"Bisa, Mas. Akan aku jemput," jawab Dokter Megan.
"Terima kasih, sayangku! I love you," ucap Baim langsung membuat istrinya merona.
"I love you too...."
Baim mematikan sambungan telepon dengan sang istri. Ia segera berpakaian dan keluar kamar untuk menjumpai tamunya.
Dilihatnya rekannya itu mengangkat sebuah pigura foto dirinya, istri, juga putranya saat natal tahun lalu.
"Letakkan itu," pinta Baim dengan nada memerintah, tapi tidak dengan nada tinggi.
"Kamu terlihat bahagia dengan keluargamu. Bisa-bisanya —" ujar pria itu terpotong.
"Kita berangkat sekarang atau tidak?" sambar Baim.
"Oke lah, kita berangkat!" ajak pria itu.
Rekan Baim tidak ingin mencampuri urusan pribadinya. Hanya saja, melihat bagaimana keharmonisan rumah tangga Baim dan Dokter Megan rasanya hampir tidak mungkin Baim punya alasan untuk menyeleweng.
Akan tetapi, aktualnya berkata lain. Rekannya ini tahu seperti apa kelakuan Baim di luar sana. Kendati demikian, ia juga tidak punya niat untuk membongkar hal itu terutama pada istri Baim.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa laki-laki akan menjaga rahasia temannya sekalipun itu sebuah keburukan.
"Sudah sampai. Kamu masuk dulu, gih! Aku cari parkiran," kata Baim pada rekannya.
"Im," sebut rekannya sebelum meninggalkan mobil.
"Apa?"
"Kurasa ini bukan ide yang bagus," ujar pria itu dengan mimik wajah khawatir.
"Halah ... ini hanya senang-senang. Main-main saja," jawab Baim sepele.
"Kalau Megan tahu—"
"Dia nggak akan tahu," sambar Baim.
"Oke lah!"
Rekannya itu akhirnya pasrah. Ia sudah berusaha untuk mengingatkan Baim. Akan tetapi, ia juga tidak bisa memaksa Baim untuk mengurungkan niat kali ini. Mempertaruhkan rumah tangga yang adem ayem demi apem tembem. Apa yang sebenarnya sedang dipikirkan oleh pria itu?
Bersambung....