Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

SEHELAI RAMBUT PANJANG

"Papa sudah pulang?" sapa seorang anak lelaki berusia 7 tahun pada ayah angkatnya.

"Ya. Tadi malam dan kamu sudah tidur," jawab Baim, lalu mengelus kepala putranya itu.

"Apa ada yang bisa kubantu, Pa?" tanya Brandon lagi. Melihat sang ayah tengah sibuk menyiapkan sarapan, bocah lelaki itu tidak bisa untuk berdiam diri menunggu sarapan siap.

"Tuangkan jeruk peras itu ke dalam gelas, Nak!" perintah Baim kemudian.

"Oke."

Baim telah selesai menyiapkan sarapan. Ia dan Brandon sudah duduk menunggu istrinya. Tidak lama kemudian, sang istri keluar kamar sembari sibuk berbicara di telepon. Tetapi, begitu duduk di depan meja makan, obrolan via telepon tersebut diakhiri.

"Siapa yang menelepon?" tanya Baim.

"Pembantu kita. Dia izin nggak datang hari ini katanya tangannya sakit," jawab Dokter Megan pada suaminya. Keluarga ini memang lebih memilih mempekerjakan pembantu yang datang pagi pulang sore ketimbang pembantu yang menginap di rumah mereka. Yang seperti ini tentunya untuk tujuan privasi.

"Ada aku di rumah, jangan khawatir soal rumah yang kotor dan berantakan. Aku jamin begitu kalian pulang, rumah ini akan rapi dan bersih, oke?" ujar Baim menenangkan sang istri agar tidak terlalu memikirkan rumah yang berantakan karena pembantu mereka terpaksa ambil cuti.

Dokter Megan langsung tersenyum lega. Suaminya itu memang selalu bisa diandalkan. Segalanya bisa, bisnisman, arsitektur, friendly, family man, pokoknya nyaris sempurna.

"Papa nggak ke kantor?" tanya Brandon menyela.

"Papa masih punya waktu libur 2 hari. Nanti papa antar kamu ke sekolah," jawab Baim sembari melempar senyuman pada putranya itu.

"Terima kasih ya, Mas," ucap Dokter Megan dan dijawab dengan anggukan kepala juga senyuman oleh suaminya.

Masalah pekerjaan rumah sudah ada solusinya karena sang suami bersedia menggantikan pekerjaan pembantu. Baim bertugas mengantar Brandon ke sekolah, sedangkan Dokter Megan nantinya yang akan menjemput sepulang dari sekolah.

Ada satu lagi masalah yang akan menemukan solusinya. Ini tentang nilai matematika Brandon yang sudah 2 kali berturut-turut mendapatkan poin 90 bukan 100 dan itu sudah membuat Dokter Megan khawatir. Ia memang terlalu gila rangking dan berharap putranya tidak keluar dari 3 besar peringkat teratas tahun ini.

"Brandon," sebut Dokter Megan pada putranya.

"Ya, Ma," jawab bocah lelaki itu.

"Mama sudah dapat guru privat yang baru untuk kamu," kata Dokter Megan dan putranya langsung tahu ke mana arah pembicaraan mereka.

"Ma, tapi aku nggak mau," keluh Brandon. Ia bukan tidak pandai matematika, tetapi ia tidak menyukainya.

"Ayolah, nilai matematika mu sudah mengkhawatirkan, Nak," bujuk Dokter Megan.

"Nak, mamamu ini peduli padamu jadi menurut lah," ujar Baim membantu membujuk Brandon.

"Lagi pula guru privatnya bukan orang lain. Tante Vira, kamu ingat?" Dokter Megan menyebutkan nama guru privat matematika untuk putranya berharap putranya berubah pikiran dan setuju untuk mengikuti les privat.

"Oh, iya. Teman Papa itu, kan?" Brandon ternyata ingat dengan orang yang dimaksud oleh ibunya.

"Nah! Bukankah dia sangat baik?" tambah Dokter Megan dan ditanggapi dengan anggukan kepala oleh putranya.

Dokter Megan menganggap anggukan kepala itu berarti setuju. Ia senang karena Brandon bersedia les privat dengan Vira, teman suaminya. Dengan demikian satu masalah sudah mendapatkan solusi.

"Apa sudah selesai?" tanya Baim yang hendak membereskan meja bekas sarapan keluarganya.

"Ya, aku akan pergi," jawab Dokter Megan bersiap untuk berangkat ke rumah sakit lebih pagi ketimbang putranya yang juga akan pergi ke sekolah.

"Tunggu dulu, Sayang!" sergah Baim pada istrinya.

"Ada apa lagi? Tapi aku buru-buru," bantah Dokter Megan.

"Sini dulu," tarik Baim pada istrinya.

Baim rupanya mengambil salep pereda nyeri di kotak p3k. Kemudian ia membimbing istrinya duduk dengan nyaman di sofa. Setelah istrinya menurut, ia mulai mengoleskan salep tersebut pada leher dan pundak sang istri sembari memijit dan mengurut.

"Apa sakit?" tanya Baim saat memijit leher istrinya.

"Agak sakit," jawab Dokter Megan.

"Sudah lumayan?" tanya Baim lagi setelah selesai memijit.

"Terima kasih ya, Mas. Baiklah aku harus berangkat," ujar Dokter Megan. Setelah membetulkan bajunya terutama bagian kerah. Ia segera berdiri dan mencangklong tas.

"Tunggu!" sergah Baim.

Dokter Megan berdecih sembari melihat ke pergelangan tangannya yang mengenakan arloji. Ia khawatir akan terlambat. Kemudian sang suami kembali dan ternyata mengambilkan jaket untuk ia kenakan.

"Cuaca sangat dingin. Jangan keluar rumah tanpa jaket," kata sang suami lalu memakaikan jaket tersebut.

Suami istri itu lalu berpelukan dan berpamitan. Dokter Megan segera meluncurkan mobilnya membelah jalanan ibukota.

Di perjalanan menuju rumah sakit. Dokter Megan menghubungi teman sekaligus tetangganya. Seorang janda yang sebentar lagi akan dinikahi oleh seorang pria yang juga teman suaminya.

"Halo, Yuli!" sapa Dokter Megan begitu teleponnya tersambung.

"Hai, Meggy sayang!" jawab wanita itu dengan panggilan sok imut pada Dokter Megan.

"Kamu sudah pulang, ya?" tanya Dokter Megan tentang keberadaan tetangganya itu karena beberapa hari ini Yuli pulang kampung bersama calon suami.

"Iya sudah kemarin. Ada apa?" Yuli balik bertanya.

"Aku punya rencana untuk membuat pesta ulang tahun untuk suamiku," jawab Dokter Megan.

"Oiya? Apa yang bisa aku lakukan untukmu? Katakan!" Yuli langsung antusias. Tetangganya itu memang terkenal sebagai pasangan romantis dan Yuli menyukai keromantisan mereka berdua.

"Semuanya sudah siap. Aku mengundang para tamu melalui telepon, soalnya Mas Baim kurang suka dengan pesta yang didatangi banyak orang. Jadi, aku mengundang kerabat dan teman dekat saja," jelas Dokter Megan.

Dokter Megan dan Yuli mengakhiri obrolan keduanya via telepon dan sepakat akan bertemu nanti malam di rumah Yuli. Sementara itu, Dokter Megan baru saja sampai di rumah sakit. Setelah menaiki lift, ia dengan cepat sampai di ruang praktek miliknya.

Jaket suaminya dilepaskan dan digantung pada gantungan khusus di sisi jendela kaca. Lalu ia menggantinya dengan jas putih yang biasa dikenakan oleh para dokter.

Baru saja selesai mengenakan jas dokter. Fokusnya teralihkan pada jaket suaminya lagi. Atau lebih tepatnya pada sehelai rambut yang tampak berkilau tersorot cahaya dari jendela kaca.

"Wait, apa ini?" gumam Dokter Megan.

Ia masih mengamati sehelai rambut panjang berwarna blonde yang menempel di jaket tersebut. Itu merupakan jaket milik suaminya yang juga dibawa ke Surabaya untuk perjalanan bisnis selama empat hari belakangan ini.

Dokter Megan hendak menjimpit sehelai rambut berwarna blonde tersebut. Akan tetapi, tiba-tiba seorang wanita muda masuk untuk berkonsultasi dan itu adalah pasien pertamanya hari ini.

"Permisi, Dokter!"

Dokter Megan masih fokus pada sehelai rambut berwarna blonde yang akan ia jimpit.

"Dokter!" Wanita muda itu memanggil untuk kedua kalinya.

Dokter Megan tersentak kaget oleh panggilan wanita muda tersebut. Ia pun tidak jadi menjimpit sehelai rambut di jaket suaminya.

"Oh, maaf. Duduk, silahkan duduk dulu!" Dokter Megan mempersilahkan pasiennya untuk duduk.

"Terima kasih, Dokter."

"Baiklah, katakan apa keluhan mu?" tanya Dokter Megan, tetapi ia tidak fokus. Pikirannya terus mengajaknya untuk memikirkan sehelai rambut panjang berwarna blonde yang menempel pada jaket tadi.

"Aku punya masalah tidur, Dok. Aku tidak bisa tidur," jawab wanita muda itu.

"Sudah berapa lama kamu mengalaminya?" tanya Dokter Megan.

"Mungkin sekitar sebulan. Tapi, aku pernah meminum obat dan setelah minum obat tersebut aku langsung tertidur. Tapi tidak semua dokter merekomendasikan merek obat tersebut. Tolong bantu aku, Dok. Tolong buatkan resep agar aku bisa membeli obat itu," pinta wanita muda yang terlihat nyaris seperti zombie di siang hari.

Sayangnya, ia bertemu dengan dokter yang tidak tepat dan waktu yang tidak tepat pula. Dokter yang ditemuinya kali ini benar-benar tidak dalam keadaan siap mendengarkan keluhannya. Terlihat jelas ke mana arah mata dokter tersebut terus melirik ke arah jendela. Bukan jendela, melainkan jaket yang digantung di sisi jendela.

"Dokter? Dok?" panggil wanita muda itu. "Dokter mendengar aku?" tanyanya.

"Ya, aku mendengar mu. Begini, sayangnya kita tidak bisa meresepkan apa yang diinginkan pasien. Pernahkan kamu menemui psikiater?" Dokter Megan tampak memberikan saran yang umum kepada pasien dengan gangguan tidur. Ia terkesan buru-buru untuk menyudahi sesi konsultasi dengan pasiennya.

"Tidak, aku tidak ingin bertemu dengan psikiater manapun. Aku melihat obat itu di internet dan hanya dijual dengan resep dokter. Tolong bantu aku, Dok," pinta wanita muda itu terus mendesak agar mendapatkan resep obat yang ia maksudkan.

Sekeras apapun mendesak tampaknya sia-sia. Perhatian Dokter Megan kembali ke arah jaket yang digantung di sisi jendela lagi.

"Dokter? Dok, tolong bantu aku! Aku tidak memintamu untuk membunuh siapapun. Aku butuh obat itu untuk diriku sendiri. Dokter?" Wanita muda itu tau jika ia tidak benar-benar didendangkan oleh Dokter Megan. "Dokter!" sentaknya.

"Ya?!" kejut Dokter Megan.

"Dokter mendengarkan aku, kan?" ujar wanita muda itu agak kesal.

"Ya. Jika sudah tidak ada lagi untuk ditanyakan, kamu boleh keluar. Masih ada pasien lain yang menunggu," jawab Dokter Megan yang malah menyudahi sesi konsultasi dengan pasiennya tersebut, tanpa memberi resep yang diminta oleh pasiennya.

"Terima kasih banyak, Bu Dokter. Permisi!"

Wanita muda itu sungguh kecewa. Ia datang dengan harapan orang seperti Dokter Megan bisa memberikan bantuan padanya. Namun, nyatanya ia malah diabaikan dan diusir oleh Dokter itu.

Bersambung....
Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel