PELEMBAB BIBIR RASA STRAWBERRY
Orang-orang mengatakan bahwa kemarahan wanita yang dikhianati itu, lebih buruk dari api neraka. Dan inilah yang sedang dijalani oleh Dokter Megan Yamika, dan dilihat oleh semua orang. Sebelumnya, ia telah percaya sepenuh hati bahwa ia dan suaminya, juga putra angkat mereka adalah keluarga yang sempurna. Dokter Megan percaya penuh kepada suaminya — Baim Bramastyo akan mencintai dirinya sampai maut memisahkan mereka berdua.
Di rumah yang asri dengan keluarga yang harmonis. Dokter Megan dan Baim telah menghabiskan setiap saat hidup mereka dengan saling mencintai, hangat, penuh kasih sayang. Suami yang sempurna. Istri yang sempurna. Hingga Dokter Megan berpikir bahwa Baim adalah ayah yang sempurna bagi putra angkat mereka — Brandon. Lalu ia juga merasa menjadi wanita yang paling beruntung karena dengan Baim, ia akan memiliki segalanya yang diimpikan.
Selama orang yang ia cintai bersama dengannya. Apa lagi yang ia inginkan? Baim selalu mengatakan kalimat ini setidaknya 10 kali dalam sehari 'aku mencintaimu, istriku' membuat mood booster Dokter Megan sepanjang hari. Setiap hari hanya cinta, cinta, dan cinta sampai wanita itu tenggelam di dalamnya.
Sampai suatu hari ....
Ini adalah hari keempat sejak Baim pergi ke luar kota untuk urusan pekerjaan. Tanpa memberi tahu sang istri bahwa ia akan pulang malam ini, pria bertubuh tegap atletis itu ingin memberikan surprise kepada istri tercintanya — Dokter Megan.
Di luar rencana. Jadwal penerbangan terpaksa delay karena cuaca buruk. Ia akhirnya tiba di Jakarta hampir tengah malam. Kemudian ia bergegas menaiki taksi menuju rumahnya di tengah hujan deras mengguyur seluruh kota Jakarta.
"Hujannya awet ya, Pak?" tanya Baim pada sopir taksi guna berbasa-basi.
"Iya, Mas. Udah dua hari kagak berhenti. Tempat saya malah udah banjir," jawab sopir taksi tersebut. "Mas dari mana?" tanya sopir taksi ganti bertanya.
"Dari Surabaya, Pak. Di sana juga sama, hujan terus," jawab Baim.
"Cuacanya cocok untuk pengantin baru, Mas. Cocok untuk berkembang biak," kelakar sopir taksi membuat Baim juga ikut tergelak.
"Bapak tahu aja," balas Baim.
Blue bird itu berhenti di pelataran rumah luas tanpa pagar. Sang sopir di bawah guyuran hujan membantu penumpang yang dibawanya menurunkan barang bawaan. Setelah menerima lembaran uang tarif taksinya. Mobil biru muda itu kembali menembus derasnya hujan meninggalkan pelataran tersebut.
Baim mengibas sisa-sisa air hujan di badannya. Sialnya ia tidak memakai jaket saat turun dari taksi dan malah memeluk jaket tersebut. Punggungnya agak basah jadinya.
Ngiiikk ....
Perlahan-lahan ia memasuki rumah yang sudah dalam keadaan gelap. Hanya lampu-lampu di tempat tertentu yang sengaja tidak dimatikan, contohnya lampu untuk menerangi tangga ke lantai dua.
Menapaki anak tangga dengan hati-hati. Baim menuju kamar putranya yang berusia tujuh tahun, Brandon Bramastyo.
Tampak anak lelaki berkulit putih itu tengah terlelap memeluk guling. Melihat putranya tidur nyenyak, Baim pun tersenyum. Itu adalah anak lelaki yang ia dan istrinya adopsi pada tahun ketiga pernikahan mereka. Saat itu Brandon berusia 5 tahun.
Baim dan sang istri benar-benar jatuh cinta pada yatim piatu tersebut karena kecerdasan, kesopanan, dan ketampanannya. Untuk anak usia 5 tahun, Brandon punya banyak sertifikasi penghargaan untuk banyak bakat yang dimiliki. Saat ini, sudah 2 tahun berlalu Baim dan sang istri menjadi orang tua angkatnya.
Bukan Brandon yang beruntung karena diadopsi oleh pasangan Dokter dan arsitek. Akan tetapi, justru orang tua angkat lah yang merasa beruntung seperti menemukan emas berlian seperti dirinya di antara ratusan yatim piatu lainnya.
Setelah membetulkan posisi selimut dan memberikan kecupan pada kening sang anak, tanpa membangunkan. Baim lalu pelan-pelan keluar dari kamar anaknya.
Tujuan Keduanya adalah kamar sang istri. Wanita yang sudah ia rindukan selama beberapa hari ini. Rindu, ya? Benarkah?
Pintu dibuka perlahan. Sosok wanita bertubuh tinggi semampai berbalut piyama bahan satin menjiplak tubuh, tengah terlelap dengan anggunnya. Bahkan saat tidur pun, wanita 30 tahunan itu masih terlihat sangat cantik. Orang-orang mengira mungkin ia adalah model berusia 23 tahunan. Tapi tidak. Ia adalah Profesor Dokter Megan Yamika. Seorang dokter umum di sebuah rumah sakit swasta terbesar di ibukota.
Lima tahun menikah dan belum pernah hamil sekalipun. Menolak upaya pembuahan dengan metode bayi tabung dan lebih memilih untuk mengadopsi seorang putra. Bagusnya, sang suami tidak pernah mempermasalahkan soal kehamilan dan keturunan.
"Sayangku ... aku sudah kembali," ujar Baim berbisik di telinga istrinya. Sementara tangannya lembut membelai rambut sang istri.
"Mas kok nggak bilang akan pulang hari ini?" tanya Dokter Megan dengan suara lemah khas orang bangun tidur. Ia agak terkejut tengah malam suaminya datang dan membangunkannya.
"Aku merindukanmu, jadi aku pulang lebih awal," jawab Baim. Tangannya mulai nakal meremas bagian dada sang istri. Kemudian bibir tipis klimis nya perlahan mencecapi ceruk leher istrinya sampai lenguhan lembut itu terdengar membangunkan gairah keduanya.
"Aku juga kangen sama kamu, Mas..."
Keesokan harinya....
Dokter Megan menyimpan hairdryer ke dalam laci. Kemudian ia mulai melakukan serangkaian perawatan wajah sebelum merias wajahnya dengan riasan yang terlihat natural.
"Mas, bisa antar Brandon ke sekolah hari ini?" tanya Dokter Megan pada suaminya yang baru saja keluar dari kamar mandi.
"Iya, sayangku," jawab Baim.
Pria itu kemudian mengenakan pakaian lebih cepat ketimbang istrinya yang masih menyisir rambut. Diperhatikannya, sang istri tampak beberapa kali memijit leher dan pundak yang tampak kaku.
"Kenapa dengan lehermu? Apa sakit?" tanya Baim.
"Kayaknya salah posisi tidur," jawab Dokter Megan dibarengi dengan bunyi alarm dari ponsel miliknya.
"HP-mu bunyi terus, tuh!" tunjuk Baim pada benda pipih di atas kasur.
"Padahal seingat ku sudah kumatikan. Aku paling nggak suka dibuat buru-buru begini," jawab Dokter Megan.
"Itu alarm yang kamu tunda bukan matikan," kata Baim memberitahu kalau istrinya mungkin tidak benar-benar menggeser tombol off, melainkan tunda.
"Astaga," desah Dokter Megan, lalu menghampiri benda pipih berisik itu.
Usai memastikan kalau kali ini ia telah benar-benar mematikan alarm di ponselnya. Fokusnya teralihkan pada kondisi kamarnya. Ia baru sadar kalau tempat itu sangat berantakan. Pakaiannya dan suaminya tercecer di lantai. Jaket ditaruh asal-asalan dan tas suami yang belum dibongkar.
"Ya ampun, apa ini? Benar-benar berantakan sekali," keluhnya, lalu memunguti pakaian dan juga jaket tersebut.
Klunting!
Saat jaket milik suaminya disambar. Sebuah benda kecil berbentuk stik melompat dari dalam kantong dan jatuh ke lantai. Dokter Megan pun mengambil benda tersebut. Keningnya seketika mengernyit.
"Mas," sebut Dokter Megan.
"Hm," jawab Baim yang sedang fokus mengancingkan kancing lengan kemeja panjangnya.
"Apa ini?" tanya Dokter Megan sembari menunjukkan sebuah pelembab bibir wadah putih tutup pink dan beraroma strawberry.
"Oh, pelembab bibir. Akhir-akhir ini bibirku kering. Rekanku yang memberikan itu padaku. Mungkin ia terganggu dengan bibir keringku saat presentasi," jawab Baim terlihat biasa saja dengan temuan istrinya itu.
"Hmm, merah muda dengan rasa strawberry," celetuk Dokter Megan.
"Ya, begitulah aku nggak terlalu pemilih, kupikir semua pelembab bibir sama saja," jawab Baim masih merasa itu biasa saja.
Dokter Megan melihat ekspresi biasa suaminya. Mendengar jawaban datar suaminya. Jadi, ia tidak perlu merasa khawatir atau curiga. Sebagai dokter, ia juga pasti akan menyarankan pasien dengan keluhan bibir kering untuk menggunakan pelembab bibir.
"Berdandan lah dengan santai, aku akan membuat sarapan," ujar Baim yang sudah lebih dulu selesai.
"Apa Brandon sudah bangun?" tanya Dokter Megan menanyakan anaknya.
"Kurasa sudah. Dia anak yang disiplin," jawab Baim dengan yakin.
Kecupan manis mendarat di kening wanita berprofesi sebagai dokter itu dari suaminya. Dalam sekejap hanya ia sendiri di kamar. Dokter Megan kembali membuka kepalan tangannya. Pelembab bibir itu....
Bersambung....