Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

KECUBUNG UNGU

Hujan yang mengguyur desa Air Durian dan sekitarnya menghanyutkan permukaan jalan yang berstruktur pasir campur koral serta tanah liat.

Dengan terkikisnya lapisan jalan tersebut muncul batu batu putih bening transparan berbentuk kristal segi enam dan meruncing dibagian atasnya. Warga jalur 11 ujung yang berbatasan dengan kecamatan air hitam, heboh melihat kemunculan bebatuan aneh itu terutama kaum lelaki.

"Ini kecubung Jas," kata salah seorang warga yang tau tentang batu batu permata.

"Kalau di Banjar namanya kecubung air."

Warga dirumah ujung ada yang menemukan warna keungu unguan. Ada pula yang menemukan warna semacam teh ada pula yang berwarna putih bening namun didalamnya terdapat nofkah notkah garis abstrak.

Yakin kalau itu benar benar batu kecubung, warga yang mayoritas berasal dari jawa itu makin bersemangat mencongkel satu persatu berbagai warna dan ukuran mulai ibu jari sampai sebesar gagang sapu.

Dua orang warga lokal Maliki dan Nusui melintas jalur 11 menyandang senjata lantak laras panjang dibahu siap berburu.

"Pada nyari apa pak?" tanya Nusui pada Alek.

"Batu kecubung." ujar Alek.

"Batu jelek jelek gitu buat apa." kata Maliki sambil berlalu.

"Maliki...! tunggu !" seru Alek mengejar mereka berdua.

"Kamu bilang itu batu jelek, berarti ada yang baik?"tanya Alek pada mereka berdua.

"Ada pak, ditempat adik saya. Di desa Air Hitam."

"Kapan kapan kita kesana yuk, nanti kalian aku kasih manuk satu satu," rayu Alek. Dalam bahasa Jawa Jawa manuk adalah burung, tapi bahasa mereka manuk adalah ayam.

"Minggu besuk kami kesana. Bapak bisa ikut bersama saya."

Alek girang diijinkan ikut mereka.

*****

Hari minggu pagi sesuai yang dijanjikan Alek, ikut Maliki ke desa Air Hitam. Maliki mengijinkan Alek mengajak Jasri dan Giman tetangga nya di jalur 11.

Selepas perbatasan kecamatan Air

Durian dan Air Hitam, mereka menerobos perkebunan inti kelapa sawit milik PT. Sawit Lestari, sedang perkebunan plasma milik warga Air Durian dikelola PT. Polyplan Sejahtera. Sebenarnya ada jalan propinsi kemudian diteruskan jalan kecamatan untuk menuju ke desa Air Hitam namun memutar cukup jauh.

Maliki potong kompas lewat inclaf, atau hutan sempalan milik warga yang tidak bersedia dialih fungsikan menjadi lahan perkebunan kelapa sawit.

Kata Maliki tanah adat milik yohanes ini memang sudah lama dipersengketakan antara Yohanes dan pihak PT. SL namun sampai saat ini belum ada keputusan dari Pemkab Ketapang.

"Katanya disini banyak pohon garu ya ?" tanya Alek sambil jalan melintas hutan.

"Banyak pak. Sampai sekarang aja masih banyak, cuma ditutupi warga."

"Ditutupi gimana?"

Maliki berhenti. Memetik selembar daun kemudian diremas remas sambil komat kamit. Daun yang sudah hancur ditebar keatas.

"Na, itu garu. Itu garu," ujar Maliki membuat

mereka bertiga tercengang. Ilmu apa yang dipakai tadi.

Dulu sebelum perkebunan kelapa sawit dibuka, orang orang dari luar datang di daerah ini untuk menebang kayu

diolah dalam berbagai ukuran. Makanya disepanjang sungai arut selatan tampak camp camp sawmil pengolahan kayu. Ketika kayu rimba campuran mulai habis seperti kruing, kamper, kayu ulin, orang orang luar mulai berburu kayu garu.

Kayu garu termasuk tanaman langka dan banyak manfaatnya, diantaranya untuk dupa, kosmetik, medis dan mistik. Karena kegunaan dan kelangkaannya itulah harga kayu garu bisa mencapai puluhan bahkan ratusan juta perkilonya tergantung kwalitas.

Selama ini masyarakat awam belum tau banyak tentang kayu dari surga ini. Dalam dunia pewayangan kayu Garu atau dewandaru hanya tumbuh di khayangan dan tidak sembarang dewa atau ksatria boleh menebangnya.

Kayu garu yang banyak dijual dipasaran dengan harga puluhan ribu rupiah itu hanya kulit dan batangnya. Ada pun yang dicari oleh para pemburu kayu garu berada pada inti batang, ia berwarna coklat tua.

Tidak sepanjang batang terdapat galih atau inti garu. Kadang diatas, ditengah atau dibawah dan tidak semua pohon ada inti garunya tergantung proses mikroba fusarium mengolah resin kayu tersebut. Proses alami itu terjadi sampai puluhan bahkan ratusan tahun. Makanya kayu Garu dengan kwalitas super seperti yang ada di kawasan hutan Kalimantan Timur harganya bisa mencapai 1,5 milyar perkilo.

"Wow....luar biasa."

"Kenapa masyarakat Dayak sendiri tidak mengeksplor besar besaran kayu tersebut?"

"Kami takut alam murka. Alam sudah menyediakan kami bermacam buah dan tanaman yang tumbuh sesuai yang kami butuhkan, bila kami mengambil berlebihan, maka akan akan murka, itu tidak kami inginkan."

Semakin masuk kedalam hutan suasana makin lembab. Matahari seakan tidak menembus sampai tanah bila melihat kelembaban disekitar. Bagian batang pohon berlumut menunjukkan bahwa dibagian yang tidak berlumut adalah timur.Sulur rotan malang melintang menghambat perjalanan, belum lagi daunnya yang berduri semacam mata kail, hingga pakaian mereka sering terkait olehnya

Jasri dan Giman serta Alek mulai disibukkan dengan serangan nyamuk. Wajah mereka bintik bintik merah karena gigitan nyamuk. Tapi Maliki tampak tenang tenang saja padahal ia hanya mengenakan celana pendek dan kaos kutang.

"Nyamuk ya pak?"tanya Maliki.

"Nyamuk ya pak!" Alek sambil manyun menirukan Maliki.

Maliki berhenti, mengambil daun entah apa namanya kemudian meremas remasnya dan diusapkan kewajah serta bagian tubuh. Lainnya mengikuti. Aromanya semacam bunga lavender namun lebih menyengat dan langu. Namun setelah mengoleskan daun itu kewajah dan tanga, nyamuk tidak mau mendekat.

"Jangankan nyamuk, siluman aja lari mencium bau ini. Kita melintasi hutan larangan tempat bertemunya para siluman," ujar Maliki keceplosan.

Sontak Alek dan Jasri serta Giman merapat pada Maliki.

Sepuluh meter berselang Maliki mendadak menahan langkah seraya mengangkat tangan.

"Ada apa?"tanya Giman lirih.

Maliki menunjuk arah depan. Mereka bertiga terperanjat melihat bagian tubuh ular sanca kembang sebesar batang pohon kelapa. Ular itu tengah merayap. Entah berapa panjang ular itu karena mereka tidak melihat kepala maupun ekornya. Setelah ekornya tampak dan berlalu, mereka melanjutkan perjalanan.

"Itu tadi siluman juga. Mudah mudahan kita tidak ketemu siluman kera goblok."

"Jangan ngaku nakuti Maliki," kata Jasri sambil celingukan keatas seraya memegang erat lengan Maliki.

Tiba tiba terdengar suara berderak. Mereka bertiga melompat, berpelukan. Maliki menutup mulut menahan tawa.

"Sudah pak, cuma dahan patah," kata Maliki mengguncang guncang tubuh mereka yang berpelukan erat seperti anak kecil.

"Kupikir siluman kera goblok," gerutu Alek.

"Kenapa disebut siluman kera goblok?"tanya Giman.

"Karena dia tidak seperti siluman siluman lain, kadang ia ngencingi orang yang melintas dari atas pohon."

Mereka bertiga lega akhirnya keluar dari hutan langsung ketemu jalan kecamatan Kendawangan. Namun tiba tiba langit gelap. Guntur bergemuruh dan hujan turun disertai petir dan angin.

"Cepat pak, didepan ada pondok."

Mereka berlari mengikuti Maliki.

Mereka berteduh di pondok kosong yang sudah lama ditinggalkan penghuninya. Pondok tersebut terbuka tanpa sekat. Mereka duduk bersedengku ditengah tengah pondok menahan dingin. Tiba tiba petir menggelegar seakan diatas pondok hingga menimbulkan cahaya terang. Bersamaan dengan itu Jastri tergeletak entah pingsan atau jantungan.

"Jas, Jasri. Bangun Jas!"kata Giman berusaha membangunkan Jasri seraya mengguncang guncang tubuhnya. Namun Jasri tidak bangun juga. Alek iseng meraba urat nadinya.

"Mati Man, Maliki, Jasri mati."

Alek dan Giman panik. Tapi Maliki tenang tenang saja.

Ketika hujan reda, Maliki keluar memetik dua lembar daun keladi. Selanjutnya ia komat kamit melafalkan mantra.

Usai melafalkan mantera ia bangkit. Tangannya masing masing memegang daun keladi tersebut menghampiri sarang laba laba disudut pondok.

"Rohnya Jasri nyangkut disini, saat ada petir tadi rohnya melompat keluar dan nyangkut disini."kata Maliki menunjuk sarang laba laba.

"Aneh aneh aja, ada roh nyangkut disarang laba laba," gumam Alek.

Maliki fokus pada sarang laba laba tersebut. Dengan kedua daun keladi ia seolah olah mengkap roh Jasri kemudian dengan hati hati membawanya pada Jasri yang masih tergelak tak sadarkan diri.

Sekali lagi Maliki melafalkan mantra, dan tiba tiba mengibaskan daun keladi tepat didada Jasri. Seketika itu juga Jasri sadar. Mereka bertiga hanya bisa tercengang. Ilmu apa lagi ini, batin Alek.

Sekitar pukul sebelas mereka sampai di rumah adiknya Maliki di Air Hitam .Alek dan kedua temannya heran begitu masuk rumah adiknya Maliki. Diatas pintu masuk terdapat lafal "Bismillahirohmannirrohim." padahal mereka penganut Kaharingan, agama nenek moyang mereka. Saat ditanya untuk apa lafal itu mereka menjawab untuk mengusir hantu.

Disudut ruang ada hiasan dinding berupa piring melamin Tiongkok dari dinasty Ming. Dari mana lagi mereka dapat barang berharga seperti ini.

Dulu katanya barang barang seperti itu banyak. Tapi habis satu demi satu dibeli orang luar dengan harga murah.

"Ini pada mau kemana ." tanya Hainan, suami adiknya Maliki.

"Mau cari kecubung ungu." jawab Alek.

Hainan tersenyum. Lalu ia menjelaskan bahwa kecubung ungu itu memang banyak di daerah sini , tapi harus digali dulu kadang sampai puluhan meter kedalam tanah, itu yang kwalitas super. Kalau yang biasa di kebun belakang aja kadang ada saat mencangkul.

Beberapa bulan lalu seorang pekerja pembangunan jalan kebetulan dapat intinya dekat sungai itu. Tidak banyak paling satu ember kecil tapi super.Taoi para penambang batu kecubung dari Banjar atau kota kota lain sekarang lagi rame nambang di Air Tarap dan Air Bulan. Biasanya ada yang menemukan jalur bebatuan disana.

Butuh waktu berhari hari bahkan berminggu Minggu bila mau menambang. Itu pun belum tentu dapat.

Bayangan Alek dan kedua temannya dapat kecubung ungu buyar seketika.

"Makan dulu kak " ujar istri Hainan.

Setelah melakukan perjalan jauh mereka lahap menyantap makanan yang dihidangkan. Usai makan mereka cuci tangan dibelakang dan terkejut melihat kepala babi segede itu, sontak mereka menutup mulut. Istri Hainan tertawa.

"Yang dimasak tadi itu rusa pak bukan itu. Daging babinya sudah habis dijual kemarin. Kita juga tau kok soal itu" kata istri Hainan.

Alek dan kedua temannya tersipu.

"Kemarin malam saya berburu dapat babi sama rusa." ujar Hainan.

"Pake lantak ya nembaknya?"

"Iya pak "

Jasri berdiri termangu mangu memandang pohon tinggi dari samping rumah. Pohon itu tingginya kira kira satu setengah pohon kelapa. Dari bawah hingga keatas ada semacam pasak kira kira tigapuluh centimeter tertancap sepanjang batang pohon. Kata Hainan pasak itu untuk memanjat mengambil anak burung tiung atau beo.

"Gila ! manjat setinggi itu" ujar Jasri.

Pukul duabelas mereka pulang, sebelum pamitan Hainan memberi mereka seember kecil kecubung warna ungu muda untuk dibagi tiga. Kecubung itu ia kumpulkan saat mencangkul di kebun belakang. Sehari kadang ada lima sampai sepuluh, rata rata sebesar ibu jari. Bagi mereka itu sudah lebih dari cukup etung etung pengobat lelah.

Mereka pulang bertiga karena Maliki tidak bisa ikut pulang. Karena tidak ada penunjuk jalan terpaksa mereka pulang lewat jalan propinsi.

Dalam satu jam perjalanan mereka baru bersimpangan dengan satu orang.

Setelah melewati simpang tiga yang menuju Manis mata dan Air Durian, baru ketemu satu dua orang pedagang dari Manis Mata ke desa desa disekitar Air Upas dan sebaliknya. Ketika masuk perkebunan kelapa sawit PT.SL, hari sudah senja.

Mereka mulai bingung kehilangan arah. Untung Alek punya pengalaman di laut saat jadi nelayan di Banjar Negara . Ia pakai pedoman bintang gubug penceng untuk menuntun jalan pulang. Pukul sembilan malam mereka baru sampai desa Air Durian.

Capek, lelah, cemas, takut yang menggelayuti selama perjalanan pulang tergantikan oleh seember kecubung ungu.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel