Peluru
Saat tukang ojek online yang sedang membonceng
Achiel itu hampir saja mendekat ke mobil yang di
dalamnya diduga Pak Akbar itu, rupanya mereka kembali
menghadapi lampu merah, sementara mobil yang dikejar
mereka itu berhasil lolos dari mereka.
"Yah! Gimana dong, Dek?" tanya Tukang Ojek itu.
Achiel pun pasrah. Jika benar mobil yang dikejarnya
tadi pengemudinya adalah Pak Akbar, dia yakin ada
sesuatu yang sedang Pak Akbar sembunyikan. Achiel akanbselalu berusaha mencarinya dan mencari tahu kenapa dia tiba-tiba menghilang dan menghindar dari dirinya? Padahal dialah yang memaksa Achiel untuk tes DNA itu.
***
Saat Achiel sudah memasuki gang kecil menuju
kontrakannya, dia melihat Boni berdiri seperti sedang
menunggu seseorang.
"Ngapain lo di sini?" tanya Achiel heran.
Boni pun langsung menarik tangan Achiel untuk
memasuki gang lain. Saat Boni merasa sudah aman, dia
menatap Achiel yang tampak kebingungan atas tingkah
sahabatnya itu.
"Tadi di kampung kita kedatangan orang-orang nggak
dikenal," ucap Boni. "Jumlah mereka banyak banget."
"Terus, apa hubungannya lo narik gue ke sini?" tanya
Achiel semakin heran.
"Mereka lagi cari seseorang di kampung ini!" jawab
Boni. "Gue denger, mereka nanyain apakah dulu pernah ada bayi yang dibuang di sini terus diasuh sama orang
kampung sini? Dan tadi gue liat di depan kontrakan elo ada dua orang dari mereka nggak pergi kemana-mana, kayak sengaja nunggu elo di sana. Gue curiga mereka cari elo, makanya gue tunggu elo di sini biar lo nggak berurusan sama mereka."
Mata Achiel mengembang mendengar itu. Dia pun
penasaran siapa mereka itu? Apa jangan-jangan ada
hubungannya dengan apa yang diceritakan Pak Akbar
waktu itu? Apa jangan-jangan yang mencarinya itu adalah
orang-orang suruhan Pak Diharja? Tanya Achiel pada
dirinya sendiri dengan bingung.
"Terus? Emangnya Pak RT sama Pak Muchtar nggak
ikut turun tangan buat ngusir mereka?"
"Kayaknya Pak RT sama Pak Haji Muchtar nggak bisa
berbuat apa-apa karena Pak Suripto kayak ngizinin mereka
cari seseorang itu," jawab Boni.
"Sekarang mereka masih berkeliaran di kampung kita ini."
"Yang lainnya udah pada pegi, karena kata orang-orang
sini nggak pernah ada bayi yang dibuang orang lain terus
diasuh sama warga sini, tapi dua orang dari mereka itu
masih ada di depan rumah lo. Kayaknya mereka curiga
sama lo, soalnya ada warga yang bilang, dulu ada
perempuan janda pindah ke sini bawa bayi, dan dia bilang,
sebenarnya warga sini curiga itu anak kandungnya atau
bukan, soalnya dia nggak pernah cerita siapa suaminya dan setelah itu nggak nikah lagi," jawab Boni. "Lagian kan
emang elo anak kandung Emak lo, kan?
Achiel kian terkejut mendengar itu.
"Gue harus temuin mereka berdua dan jelasin kalo gue
anak kandung Emak gue, dan gue bukan bayi yang dibuang itu lalu diasuh sama Emak gue," ucap Achiel tidak mau bersembunyi dari mereka. Dia berpikir, jika mengikuti saran Boni untuk sembunyi, itu malah akan membuat mereka semakin curiga.
"Jangan, Chiel. Gue ngeri lo kenapa-napa," cegah Boni.
"Justru kalo gue sembunyi dari mereka, mereka malah
tambah curiga," jawab Achiel. Mendengar penjelasan itu akhirnya Boni pasrah. Dia pun akhirnya mengikuti langkah Achiel i belakangnya. Boni tidak mau Achiel harus menghadapi mereka sendirian jika terjadi hal buruk sesampainya di sana.
Benar saja, dua orang yang terlihat seperti preman itu
masih sedang duduk menunggu di depan kontrakan Achiel. Mereka langsung berdiri saat mendapati Achiel dan Boni datang.
"Lo yang namanya Achiel?" tanya seseorang berambut
keriting panjang itu.
"lya," jawab Achiel.
"Bisa ikut kita sebentar?" pintanya.
"Ke mana?"
"Ada yang mau kita tanyain," jawabnya.
"Gue tanya kemana? Bukan soal apa?" tegas Achiel.
Dua preman itu tampak kesal.
"Lo mau ikut kita atau nggak nih?" tanya lelaki satunya
lagi yang berambut cepak dengan nada mengancam.
"Tanya di sini aja," tegas Achiel.
Saat dua perman itu maju, tiba-tiba Pak Muchtar datang dengan heran melihat dua perman itu seperti hendak menyerang Achiel.
"Tunggu!" teriak Pak Muchtar.
Achiel dan Boni terkejut mendengar suara Pak Muchtar. Dua preman itu tampak berdiri diam, urung menyerang Achiel. Pak Muchtar pun melangkah cepat untuk mendekati dua preman itu.
"Lo pada mau ngapain dia? Gue kan udah bilang, lo
bebas mau cari siapa pun di sini! Tapi kalo lo bikin
keributan, urusannya sama gue! Gue nggak peduli kalo bos preman itu dukung lo pada!" tegas Pak Muchtar yang
menyinggung soal Suripto yang ternyata mendukung aksi para preman itu.
"Kita mau nanya baik-baik, Pak. Tapi dia malah ngegas" jawab lelaki berambut keriting panjang itu.
"Yuadah tanya aja di sini," ucap Achiel sekali lagi.
"Kita pengen tahu siapa ibu dan bapak lo," jawab lelaki
berambut keriting panjang itu.
"Buat apa?" tanya Achiel.
"Buat nyari tahu bayi yang pernah dibuang di kampung
ini, siapa tahu ibu elo mungut elo diem-diem hingga
orang-orang kampung di sini nggak pada tahu," jawab lelaki berambut keriting panjang itu.
"Dia bukan anak pungut atau anak dari bayi yang
dibuang itu!" bela Pak Muchtar. "Gue saksinya! Udah cukup kan? Kalo udah jelas, pergi lo bedua dari sini!"
Dua preman itu akhirnya pergi. Pak Muchtar pun
menatap Achiel dengan khawatir.
"Lo ikut gue ke rumah dulu sampe keadaan kampung
membaik," pinta Pak Muchtar.
"lya, Pak Haji." jawab Achiel.
"Saya boleh ikut, Pak Haji?" tanya Boni.
"Lo pulang dulu sono!" tegas Pak Muchtar.
"lya, Pak Haji," jawab Boni dengan kecewa lalu salim
ke Pak Muchtar kemudian pergi meninggalkan mereka. Pak Muctar dan Achiel pun melangkah pergi dari sana.
***
Suripto yang sedang duduk di teras rumahnya sambil
merokok itu tiba-tiba mendapatkan telepon. Dia langsung
bergegas meraih handphone-nya dan terkejut melihat
nomor Diharja yang menghubunginya. Suripto pun
menggunakan handphone-nya dengan ketakutan.
"Halo, Pak!" jawab Suripto sedikit gemetar dan heran.
"Bener, di kampung kamu itu nggak pernah ada anak
yang dibuang di sana lalu diasuh oleh warga sana?" tanya
Diharja bernada tegas.
"Bener, Pak," jawab Suripto. "Tadi sudah saya izinkan
seluruh anak buah Bapak untuk keliling di kampung ini dan memang nggak ada bayi yang dibuang itu."
"Ingat, Suripto! Kawasan di sana memang kamu yang
pegang! Tapi tanpa saya, kamu mungkin nggak bisa aman
di sana dan kawasan itu sudah direbut dan dikuasai oleh
pereman lainnya! Dan kamu juga salah satu penguasa di
sana yang terbanyak setoran sama saya! Saya berterima
kasih akan hal itu, tapi ingat, kalau bukan karena saya, anak gadis kamu itu nggak akan bisa berkuliah di kampus yang sekarang jadi milik saya..."
"I... iya, Pak..."
"Kalo kamu sampe menyembunyikan sesuatu sama
saya! Kamu udah tahu apa yang akan terjadi sama kamu..
seperti yang saya lakukan pada anak-anak buah saya yang berkhianat dengan saya itu..."
"Si. siap, Pak!" jawab Suripto dengan gemetar
ketakutan. Sambungan telepon itu pun terputus. Suripto
menyimpan handphone-nya sembari menarik napas berat
lalu menghembuskannya.
Tiba-tiba dua orang preman yang berambut keriting
dan cepak tadi datang. Suripto berdiri dengan heran.
"Ada apa? Ada yang kalian curigai?" tanya Suripto
heran.
"Kami curgia sama anak yang bernama Achiel, Pak,"
jawab lelaki berambut keriting itu.
Suripto mengernyit mendengarnya.
"Curiganya di mana? Dia itu anak janda! Saya tahu itu."
"Tapi kata sebagian warga, hidup perempuan janda itu
nggak jelas," jawab lelaki berambut cepak. "Mereka nggak
tahu suaminya siapa dan berasal dari mana, tahu-tahu dia
pindah ke sini bawa bayi yang masih merah. Kami curiga,
jangan-jangan bayi yang dibawanya itu bayi yang
ditemukan di kampung ini yang dibuang itu.."
Mendengar itu Suripto tampak berpikir dan ikut curiga.
Tak lama kemudian menatap dua preman itu.
"Serahkan itu sama saya! Nanti saya akan mencari
tahu asal usul anak itu! Kebetulan anak itu memang sering
bikin masalah sama saya!" tegas Suripto.
Dua preman itu mengangguk lalu pergi. Sementara
Suripto tampak berpikir sejenak lalu masuk ke dalam
rumahnya seperti hendak merencanakan sesuatu.
***
Achiel dan Pak Muchtar pun duduk di bale-bale
belakang rumahnya. Dua gelas kopi hitam sudah tersaji
diantara mereka.
"Kayaknya lo harus pindah dari sini, Chiel," pinta Pak
Muchtar.
Achiel terkejut mendengar itu. "Kenapa, Pak Haji?"
"Lo nggak aman tinggal di sini," jawab Pak Muchtar. "
Mending lo cari kontrakan di deket kampus lo aja biar bisa
fokus kuliah. Kalo lo netap di sini, lo bakal kena banyak
masalah, apalagi dua preman itu tadi udah curiga sama lo.. dua preman itu ada hubungannya sama Pak Suripto... gue ngeri mereka nekad kalo mereka tahu elo lah yang mereka cari.."
"Saya bakal tetap tinggal di sini, Pak Haji," jawab
Achiel.
"Ini demi masa depan lo, Chiel. Di sini itu kayak di
hutan! Yang kuat yang menang dan yang lemah tertindas!
Gue suruh lo pindah bukan mau nyuruh lo jadi pengecut
dan lari dari masalah! Tapi ini demi masa depan lo, biar lo
jadi singa kalo udah lulus kuliah nanti! Biar lo bisa bantai
semua yang selama ini ngeremehin elo!"
Achiel terdiam mendengar itu. Tapi ini kampung saya,
Pak Haji... tempat saya dibesarkan... apapun yang terjadi,
saya akan bertahan, bukan kah itu yang sering Pak Haji
ajarkan pada saya sewaktu saya belajar silat sama Pak Haji dulu?"
"Emang dulu gue pernah ngajarin elo buat jadi orang
kuat dan ngejaga kampung ini sampai tetes darah terakhir
kalo ada yang berani usik! Tapi ini beda, Chiel! Gue nyuruh
lo pergi biar lo balik lagi ke sini udah jadi orang! Biar lo bisa
nyelametin warga yang kerap ditindas sama si preman itu!"
"Nggak, Pak Haji... Achiel nggak akan kemana-mana
dan akan tetep di sini..."
Muchtar pun menarik napas lalu menghembuskannya.
Dia pun pasrah pada keputusan muridnya itu. Tak lama
kemudian Muchtar berdiri saat melihat istrinya datang
menghampirinya dengan wajah ketakutannya.
"Pak! Pak!" teriak istri Pak Muchtar itu.
"Kenapa?"
"Di depan ada Suripto, Pak!" jawab istrinya.
Muchtar dan Achiel pun saling menatap heran mendengar itu.
"Lo tunggu di sini biar gue yang adepin dia!" pinta Muchtar pada Achiel.
Achiel pun terpaksa mengangguk. Pak Muchtar dan
istrinya pun masuk ke rumah lewat pintu belakang. Achiel
menunggu sembari mengintip ke hadapan sana dengan
heran.
Pak Muchtar pun datang membukakan gerbang rumahnya untuk Suripto yang datang sendirian.
"Ada apa?" tanya Pak Muchtar dengan nada tegasnya.
"Murid lo ada sini?" tanya Suripto.
"Murid yang mana?" tanya Pak Muchtar. "Murid gue banyak!"
"Achiel," jawab Suripto.
"Ngapain lo nanyain dia? Dia udah nggak berhubungan
lagi sama anak gadis lo! Jangan gangguin dia lagi!" tegas
Muchtar. "Kalo lo berani gangguin dia lagi kayak dulu
sampe dia babak belur dan masuk rumah sakit, lo harus
berhadapan sama gue!"
"Gue nyari dia bukan soal itu, tapi soal lainnya."
"Soal apa?"
"Soal asal usul keluarganya," jawab Suripto.
"Maksud lo, lo mau nuduh dia anak yang dipungut
sama mendiang Emaknya?! Emaknya emang nggak mau
cerita ke orang-orang bukan mau nutupin aib, tapi karena
males jadi omongan tetangga. Achiel itu anak kandungnya, semuanya jelas kok, tanya aja sama Pak RT! kalo mau ngecek! Jangan ganggu anaknya!" tegas Muchtar.
Karena malas berdebat, akhirnya Suripto pergi dari
sana menahan kesalnya. Ya, dahulu mereka satu perguruan. Tapi Pak Muchtar berada di jalan putih, sementara Suripto memilih jalan hitam. Dahulu mereka bersahabat, tapi sejak mereka berbeda jalan, sejak itulah persahabatan mereka patah meski masih tinggal di kampung yang sama.
Achiel yang mengintip dari belakang semakin kesal
dengan Suripto. Dia berpikir apapun yang terjadi dia tidak
akan pindah dari sana. Dia tidak akan mungkin keluar dari
perkampungan itu tempatnya disebarkan oleh mendiang
ibunya meskipun hingga saat ini dia masih mengontrak di
sana.
Pak Muchtar pun kembali datang sambil menatap
wajah Achiel dengan seriusnya. Saat sudah tiba di
hadapannya, langkah lelaki tua itu terhenti.
"Nanti malam lo ikut gue ke Bogor," pinta Pak Muchtar.
Achiel mengernyit. "Ke Bogor?"
"lya," jawab Pak Muchtar.
"Mau ngapain, Pak Haji?"
"Lo udah dapet semua ilmu silat dari gue," jawab Pak
Muchtar. "Tapi satu yang belum gue turunin ke elo.."
"Apa, Pak Haji?" Achiel kian penasaran.
"Di zaman sekarang ini, memang ilmu-ilmu zaman
dahulu udah nggak penting lagi," ujar Pak Muchtar. "Tapi
karena elo hidup di kandang singa dan sekarang
musuh-musuh lo udah banyak, apalagi lo bakal berurusan
sama orang-orang yang jahat sama bapak kandung elo
kalo emang dia beneran bapak kandung lo... lo bukan
hanya butuh kecerdasan biar bisa lulus kuliah dengan nilai
sempurna... tapi lo juga butuh kekuatan.. kekuatan yang
akan ngelindungi lo dari kejahatan mereka..
Achiel terdiam sembari menunggu kata-kata Pak
Muchtar selanjutnya.
Pak Muchtar pun kembali melanjutkan kata-katanya,"
Gue bakal kasih ilmu kebal yang turun temurun dikasih
sama leluhur keluarga gue."
Achiel terbelalak mendengar itu. "lmu kebal?"
"lya," jawab Muchtar. "Mereka pasti bakal gunain
peluru buat ngebunuh elo... gue tahu siapa yang lagi nyari
elo sekarang ini... dia pasti orang yang nusuk Pak Brata dari belakang... dia pasti mau bunuh bayi yang dibuang di sini itu dan sekarang sudah dewasa itu agar harta kekayaan Pak Brata nggak jatuh ke tangan anak kandungnya dan orang itu bisa nguasain seluruh peninggalan Pak Brata..."
Achiel kian terkejut mendengar itu.
"Cuman gue yang tahu kalo elo bukan anak kandung
ibu elo..."
Achiel kembali terbelalak mendengar itu.
"Dan gue yakin elo emang anak kandung Pak Brata..."
Seperti mendengar suara petir, Achiel benar-benar
terkejut mendengar pernyataan itu dari Pak Muchtar.
Dan malam itu, Pak Muchtar membawa Achiel ke
wilayah pedesaan di daerah Bogor dengan motornya. Pak
Muchtar membawanya ke sebuah rumah yang dindingnya
terbuat dari anyaman bambu. Rumah kakeknya dulu yang
sekarang sudah lama ditinggalkan.
Tengah malam itu juga, bersama hujan yang
mendadak turun deras, Pak Muchtar menurunkan ilmu
kebalnya pada Achiel. Dengan bertelanjang dada, Achiel
mengikuti semua gerakan yang dicontohkan oleh Pak
Muchtar. Hujan mengguyur mereka. Gigil yang datang
sudah tidak terasa di badannya.
Setelah lama mengikuti arahan dari Pak Muchtar,
lelaki tua itu meminta Achiel duduk bersila. Lalu saat
Achiel duduk bersila dengan mata terpejam itu, Pak
Muchtar duduk di belakangnya lalu menyalurkan tenaga
dalamnya ke punggung Achiel. Tubuh Achiel tampak
bergetar hebat bersama suara-suara kilat yang masih
terdengar di atas langit sana. Hujan belum juga berhenti.
"Sekarang buka mata dan berdiri," pinta Pak Muchtar.
Achiel pun megikuti perintah gurunya itu. Dia pun
berdiri menghadap Pak Muchtar dengan tubuh gemetar
karena menahan kedinginan. Seketika Pak Muchtar masuk ke dalam rumahnya tanpa berkata apa-apa. Achiel heran apa yang hendak dilakukan Pak Muchtar selanjutnya.
Setelah cukup lama menunggu, Pak Muchtar keluar
dari dalam rumah itu sembari membawa sebuah pistol
hitam. Achiel terbelalak melihat itu. Apalagi saat melihat
Pak Muchtar mengarahkan pistolnya tepat ke arah dadanya.
Achiel mundur ketakutan.
"Pak Haji mau bunuh saya?" tanya Achiel dengan gemetar.
"Nggak usah mundur!" tegas Pak Muchtar. "Lo tetap diri di tempat yang tadi."
Achiel pun tidak mau maju melihat pistolnya masih
terarah padanya. "Tapi kenapa Pak Haji mau bunuh saya?"
"Gue nggak akan bunuh lo! Gue mau menguji ilmu yang
sudah gue turunin ke elo itu!" teriak Pak Muchtar geram.
"Tapi... tapi... gimana kalo ternyata.."
Dorrr!!!!
Achiel terkejut saat mendengar suara tembakan yang
mengarah ke dadanya itu. Tiba-tiba dia merasakan
dadanya seperti dilempar batu oleh orang lain lalu batu itu
mental dari dadanya. Percikan api membakar sedikit kulit
di dadanya. Achiel terbelalak melihat peluru yang
ditembakkan oleh Pak Muchtar benar-benar tidak dapat
menembus dadanya
.
"Saya... saya....?" gugup Achel.
Pak Muchtar pun tertawa senang melihat ilmu yang
diturunkan pada Achiel itu telah berhasil diturunkannya.
"Sekarang lo nggak usah takut lagi sama ancaman bos
preman di kampung kita, nggak usah takut lagi juga sama
ancaman orang-orang yang jahat yang ada di belakang
almarhum Pak Brata... lo fokus aja kuliah dan tunjukkin
bahwa lo bisa sukses tanpa harus menunggu warisan
almarhum ayah lo itu jatuh ke tangan lo..." pinta Pak
Muctar.
"Baik, Pak Haji..." jawab Achiel gemetar tidak percaya.
