Patah
Achiel terbangun. Dia terkejut sedang didudukkan di
atas bangku dengan tubuh terikat. Kedua kakinya dikat
kuat dan tangannya diborgol. Kepalanya terasa sangat
pening. Pandangan matanya samar.
"Di mana aku? Siapa yang sudah melakukan ini?" tanya
Achiel dalam hatinya.
Lalu samar dia melihat seorang lelaki berambut
panjang, tubuhnya tinggi, dengan tato naga di tangan kanan dan kirinya. Di wajahnya banyak terdapat bekas luka. Di belakang lelaki itu terlihat sepuluh lelaki kekar yang berpakaian ala pereman tampak berbaris menatap ke arahnya. Achiel berusaha mengeluarkan ilmu tenaga
dalamnya namun semakin dia berusaha, dia tak dapat
memutuskan tali yang mengikatnya itu dan melepas borgol yang mengikat tangannya itu. Achiel heran sendiri, padahal Pak Muchtar sudah menurunkan ilmu kebal padanya.
Para Preman itu tertawa.
"Lo nggak bakal bisa lolos dari kita!"
Achiel mendongak ke mereka. "Siapa kalian? Ada
masalah apa kalian dengan saya hingga membuat saya
begini?" tanya Achiel dengan suara agak seraknya.
Tenggorokannya terasa sangat kering.
Lelaki gondrong itu melangkah pelan menuju Achiel
lalu berhenti tepat di hadapannya.
"Lo tinggal jawab aja pertanyaan gue," ucap Lelaki
Gondrong itu dengan tatapan seriusnya. "Kalo udah
dijawab, urusan lo sama kita selesai. Apa bener elo
diangkat anak sama mendiang ibu elo? Anak yang dia
temukan di tong sampah itu?"
Achiel tersenyum kecut. "Kalian pasti orang
suruhannya Pak Suripto, kan?"
Satu tamparan keras mendarat ke wajah Achiel. Achiel
pun mengatur napasnya untuk menahan emosinya. Dia
teringat kata-kata Pak Muchtar malam itu saat diturunkan
kepadanya ilmu kebal itu.
"Kuncinya cuma satu, Chiel... lo nggak boleh emosi... kalo lo dikuasai emosi, ilmu kebal itu nggak akan berfungsi... lo harus tahan emosi lo untuk mengeluarkannya..."
Mengingat itulah Achiel mencoba menahan semua
emosinya untuk kembali berusaha meleloskan diri dari
sana. Dia membiarkan lelaki gondrong itu menampar
wajahnya karena dalam keadaan tidak berdaya.
"Jawab pertanyaan gue bukan malah bertanya balik!"
teriak lelaki berambut gondrong itu.
Achiel pun memperhatikan mereka satu persatu. Dia
belum mengenal orang-orang itu. Dia yakin orang-orang itu
bukan anak buah Pak Suripto karena belum melihat mereka berkeliaran di perkampungannya. Achiel yakin Pak Suripto telah menyewa preman di wilayah lain untuk
menghilangkan jejak darinya dan Pak Muchtar. Karena
bagaimana pun Pak Muchtar sudah mengancam Pak
Suripto jika terjadi sesuatu padanya. Pak Suritpo pasti tidak akan terang-terangan untuk mencari tahu siapa dirinya sebenarnya.
"Jawaaab!" teriak lelaki berambut gondrong lagi.
"Gue anak kandung ibu gue! Bukan anak angkat yang
dia dapet dari tong sampah!" jawab Achiel berbohong
padanya.
Lelaki berambut gondrong itu pun menendang dada
Achiel hingga tubuhnya bersama kursi yang didudukinya
terdorong jauh ke belakang lalu menghantam dinding dan
kini Achiel terbalik dengan kursi masih menempel di
pantatnya karena tali itu telah mengikat kuat perutnya
dengan kursi itu.
Lelaki gondrong itu menoleh pada salah satu anak
buahnya lalu memberi kode untuk mengambilkan sesuatu.
Anak buahnya itu mengangguk lalu pergi keluar dari
ruangan itu. Tak lama kemudian anak buahnya itu kembali
datang lalu membawa balok kayu kemudian
menyerahkannya pada lelaki berambut gondrong itu.
"Jawab jujur pertanyaan gue... atau nggak... lo bakal
gue siksa sampai elo mau ngaku..." tegas lelaki gondrong
itu sambil menepuk-nepuk baloknya ke telapak tangannya.
Achiel kembali menarik napas lalu menghembuskannya dengan berat, kemudian biacara padanya. Jawaban gue udah jelas!"
Lelaki berambut gondrong itu pun memukulkan kayu
balok itu bertubi-tubi ke tubuh Achiel hingga Achiel
merintih menahan sakitnya sambil berusaha menahan
emosinya. Jika Achiel berhasil menahan emosinya dia
akan mudah melepaskan tali yang mengikat tubuhnya
dengan kursi, kedua kakinya dan borgol yang terpasang di
kedua tangannya. Saat itu dia masih belum bisa
meloloskan diri. Dia yakin karena emosi masih
menguasainya.
"Ngaku nggak lo?!!!" teriak lelaki berambut gondrong
itu masih melanjutkan aksinya memukul tubuh Achiel
dengan balok kayu di tangannya.
"Jawaban gue udah jelas!" teriak Achiel sekali lagi.
Lelaki gondrong itu pun melempar kayu balok itu ke
dinding lalu mengeluarkan pistol di balik punggungnya dan mengarahkannya ke langit-langit ruangan itu. Seketika
lelaki gondrong itu menembakkan pistol itu ke langit-langit
hingga membuat anak-anak buahnya terkejut takut.
"Gue kasih waktu lo tiga puluh menit dari sekarang!
Biar lo bisa berpikir jernih! Kalo gue dateng lagi ke sini dan
lo masih dengan jawaban yang sama, maka peluru ini akan menembus kepala lo!" ancam lelaki gondrongitu lalu
berbalik badan mengajak anak-anak buahnya keluar dari
ruangan itu.
Saat semuanya sudah keluar, terdengar suara pintu
masuk itu dikunci dari luar. Achiel pun kembali mengatur
napasnya lalu mencoba menggerak-gerakkan tubuhnya
agar ikatan tali di tubuhnya bisa terlepas dari kursi itu. Dia
pun mencoba membuka borgol itu dengan mencoba
mengeluarkan tenaga dalamnya, namun berkali-kali dia
lakukan tidak berhasil.
"Mungkin aku masih dikuasai emosi," ucap Achiel
dalam hatinya dengan heran.
***
Casandra tampak heran melihat Achiel belum datang
juga di kelasnya. Sementara dosennya sudah berdiri di
hadapan sana untuk mengajarkan materi kuliahnya di pagi
itu. Casandra pun menoleh pada dua gadis di sebelah
kanannya.
"Achiel nggak masuk?" bisiknya.
Dua gadis itu mengangkat bahu karena tidak tahu.
Karena penasaran, akhirnya Casandra berdiri lalu berjalan
mendekati dosennya untuk İzin keluar. Dosen pun
mengizinkannya.
Saat Casandra sudah berada di luar kelas, dia
mencoba menghubungi nomor Achiel, namun nomornya
tidak aktif. Akhirnya dia menghubungi salah satu karyawan di cafenya.
"Halo, Mbak," ucap karyawannya di seberang sana.
"Apa Achiel ada di cafe?" tanya Casandra heran.
"Nggak ada, Mbak. Memangnya kenapa, Mbak? Nanti
kalo dia dateng biar kita sampaikan?"
"Nggak usah," jawab Casandra lalu kembali
menyimpan handphone-nya dan kembali ke kelasnya
dengan heran.
***
Achiel pun sudah tampak babak belur. Wajahnya
tampak memar dan keningnya sudah mengucurkan darah.
Namun dia belum mengaku juga ke lelaki gondrong itu dan anak-anak buahnya hingga paginya.
"Gue udah kasih waktu elo sampe pagi! Elo masih
nggak mau ngaku juga? Mau lo gue bikin cacat sekalian,
hah?!!!" ancam lelaki gondrong itu lagi.
"Gue... anak... kandung... emak... gue.." jawab Achiel
lemah dengan jawaban yang sama.
Karena kesal, si gondrong itupun akhirnya menggunakan senjata terakhirnya, yaitu pistol itu. Dia pun langsung mengarahkan pistol itu ke kening Achiel.
"Sekarang mau ngaku atau nggak?" ancam lelaki
gondrong itu.
Achiel menatap wajahnya dengan sorot mengancamnya. Tiba-tiba handphone lelaki gondrong itu berbunyi. Saat mengecek ternyata Pak Suripto yang menghubunginya, dia pun kembali menyimpan pistolnya lalu keluar dari ruangan itu.
Saat berada di luar ruangan itu dia mengangkat telepon dari Pak Suripto.
"Halo, Pak," jawab lelaki gondrong itu.
"Bagaimana, dia udah ngaku?" tanya Suripto di seberang sana.
"Dia masih nggak mau ngaku, Pak. Jawabannya masih
tetep sama, katanya dia anak kandung ibunya yang sudah
meninggal itu."
Pak Suripto terdengar tertawa kecil di seberang sana.
"Kamu tanya dia sekali lagi. Kalau dia masih tidak mau
mengakui, tembak kepalanya sekarang juga! Nanti bawa
mayatnya ke tempat biasa!" pinta Suripto di seberang sana.
"Baik, Pak." Lelaki Gondrong itu pun kembali masuk ke
ruangan itu.
Saat dia sudah kembali berdiri di hadapan Achiel yang
terkulai lemah di atas lantai ruangan, dia kembali
mengarahkan pistolnya ke kening Achiel.
"Sekali lagi gue tanya, bener elo anak angkat ibu yang
merawat lo dari kecil itu?!"
"Jawaban gue bakal sama... gue anak kandung emak
gue..." jawab Achiel dengan tegas tanpa takut dengan
ancaman pistol itu.
Tak lama kemudian lelaki gondrong itu menembak
kening Achiel dengan pistolnya. Seketika peluru yang
mengenai kening Achiel mental lalu berguling di atas lantai. Lelaki gondrong itu terbelalak lalu mundur. Sepuluh anak buahnya yang berada di belakangnya pun tampak terkejut tak percaya.
Melihat itu Achiel yakin dia sudah berhasil mengalahkan emosinya. Seketika dia berteriak keras lalu terlepas borgol yang mengikat tangannya. Kemudian Achiel langsung melepas ikatan di tubuhnya ke bangku itu, kemudian merengangkan kakinya hingga tali yang mengikatnya terlpas cepat.
Lelaki gondrong itu berkali-kali menembakkan
pelurunya ke tubuh Achiel namun tidak berhasil menembus ke kulitnya. Seketika Achiel langsung melompat dan menendang dada lelaki gondrong itu hingga dia tersungkur. Achiel pun menarik kakinya untuk mematahkan tulang kakinya.
"Siapa yang nyuruh kalian?" tanya Achiel dengan geram.
"Tidak ada yang nyuruh kami! Gue sendiri yang pengen
tahu siapa elo sebenarnya," jawab lelaki gondorong itu
yang tidak bernai mengatakan sejujurnya.
Mendengar itu, dengan cepat Achiel mematahkan
tulang kakinya hingga terdengar suara patahan. Lelaki
gondrong itu berteriak kencang karena kesakitan.
"Siapa yang nyuruh kaliaaaan?!!" teriak Achiel.
"Pak... Su... rip... to." jawab lelaki gondrong itu sambil
menahan sakit di kakinya yang patah itu.
Mendengar itu Achiel semakin geram. Dia pun berdiri
menghadap sepuluh anak buah preman itu yang tampak
takut mendekati Achiel, namun mereka tidak berani lari
dari sana khawatir akan dihukum oleh bosnya.
"Maju kalian!!!" tantang Achiel.
Akhirnya kesepuluh anak buahnya itu terpaksa maju.
Mereka menyerang Achiel bersamaan. Satu persatu
tumbang. Achiel pun membuat mereka cacat satu per satu. Kini ke sepuluh anak buah preman itu memegangi kaki masing-masing karena berhasil dipatahkan oleh Achiel.
"Gue sengaja bikin kalian cacat! Biar kalian berhenti
berkecimpung di jalan haram! Kalo kalian berani gangguin
gue lagi! Gue bakal bunuh kalian semuanya!!" teriak Achiel
kembali menendang lelaki gondrong yang masih kesakitan itu. Setelah itu dia keluar dari ruangan itu.
"Cepat panggilkan ambulaaan!" teriak lelaki gondrong
itu pada anak buahnya yang tampak kesakitan sambil
memegangi kaki masing-masing itu.
Salah satu anak buahnya pun terpaksa menghubungi
pihak rumah sakit. Tak lama kemudian handphone lelaki
gondrong itu berbunyi. Dia pun terpaksa mengangkatnya
disaat kesakitan seperti itu setelah mengetahui yang
menghubunginya adalah Pak Suripto.
"Maaf, Bos.... dia berhasil kabur... dia... dia.." seketika
lelaki gondrong itu pingsan karena sudah kehabisan darah. Handphone di tangannya terlepas. Sementara itu Pak Suripto di seberang sana tampak geram mendengarnya.
***
Achiel yang sudah di gang kecil menuju kontrakannya
berjalan cepat sambil mengepalkan tangannya. Dia ingin
memberi pelajaran pada Suripto yang telah membuat
dirinya hampir sekarat. Di hadapan sana, Pak Muchtar yang baru pulang dari mushola sehabis sholat ashar tampak heran melihat wajah Achiel seperti babak belur.
"Achiel?"
Langkah Achiel terhenti. Pak Muchtar berlari ke arahnya.
"Lo kenapa?" tanya Muchtar heran.
"Pak Suripto udah nyuruh preman wilayah lain buat
nangkap saya, Pak Haji. Pas pulang dari cafe semalam,
tiba-tiba aja ada yang mukul kepala saya hingga saya
pingsan. Lalu bangun-bangun saya sudah dikat dan
dipaksa ngaku siapa saya sebenarnya. Akhirnya saya kasih pelajaran mereka semua dan pas saya tanya, mereka ngaku disuruh oleh Pak Suripto!" jawab Achiel.
Pak Muchtar terbelalak mendengarnya.
"Sekarang saya harus ke tempat Pak Suripto, Pak Haji.
Saya harus kasih pelajaran buat dia biar dia nggak
gangguin saya lagi," ucap Achiel kemudian.
Pak Muchtar pun menarik tangan Achiel untuk pergi ke
rumahnya. Achiel heran.
"Pak Haji! Kalo saya nggak ngasih pelajaran sekarang,
dia akan semakin menjadi-jadi! Pak Suripto harus mati hari ini!"
"Diam! Ikut gue ke rumah!" teriak Pak Muchtar.
Achiel pun akhirnya terdiam dan terpaksa mengikuti
Pak Muchtar ke rumahnya. Saat mereka sudah tiba di
bale-bale belakang rumah Pak Muchtar, lelaki tua itu
meminta Achiel duduk. Achiel pun duduk sambil menahan
emosinya pada Pak Suripto.
"Gue kasih ilmu itu ke elo biar elo nggak jadi preman!"
ucap Pak Muchtar kemudian. "Gua bukannya pengen
nyuruh elo diam aja ketika elo tahu kelakuan si Suripto!
Tapi lo harus ingat, ilmu itu nggak bisa digunain pas elo lagi emosi begini! Kalo elo ke sana sekarang, itu namanya
sama aja cari mati!"
"Tapi.."
"Dengerin dulu omongan gue!"
Achiel pun kembali terdiam. Pak Muchtar pun berjalan
ke dalam rumahnya melalui pintu belakang, tak lama
kemudian dia keluar membawa kotak P3K untuk
mengobati luka di kening Achiel dan lebam-lebam di
wajahnya. Sembari mengobati Achiel, Pak Muchtar kembali bicara padanya.
"Suripto punya imu yang sama kayak gue..."
Achiel terkejut mendengar itu. Dia kira di perkampungan itu hanya Pak Muchtar saja yang menguasai ilmu itu.
"Untuk ngelawan dia jangan pake kekuatan elo, tapi pake strategi..." lanjut Pak Muchtar.
Achiel terdiam mendengar itu.
"Makanya gue suruh elo kuliah yang tinggi dan ambil
beasiswa itu, biar elo makin pinter dan bisa ngalahin
semua musuh-musuh elo dengan strategi."
"lya, Pak Haji," sahut Achiel yang mulai mengerti.
"Suripto udah dikuasai hawa nafsunya," lanjut Pak
Muchtar. "Sekarang ini dia dikendaliin oleh seseorang
gara-gara tergiur sama duit! Dia nggak peduli orang yang
ngasih duit ke dia itu mau punya ilmu atau kagak! Mau
kecil atau besar! Mau tua atau muda! Asal orang itu bisa
ngasih duit banyak ke dia, dia bakal tunduk!"
Achiel angguk-angguk.
Pak Muchtar kembali melanjutkan kata-katanya. "Lo
harus sukses ke depannya biar bisa bungkam mereka! Biar mereka tunduk sama elo hingga elo bisa ngendaliin
mereka untuk mengarahkan mereka berbuat baik!"
"lya, Pak Haji."
"Semua yang gue punya udah gue turunin ke elo," lanjut Pak Muchtar. "Gue rasa udah waktunya gue ngelepas elo!"
Achiel terdiam mendengar itu.
"Nanti sore, gue sama anak bini gue mau pindah ke Bogor... mau nunggu rumah peninggalan bokap gue... udah waktunya gue ninggalin semuanya di sini... nanti soal kontrakan gue di sini biar diurus sama saudara gue... dan gue harap elo selalu inget nasehat-nasehat gue..."
Seketika Achiel sedih mendengar itu.
"Pak Haji mau pindah ke Bogor mananya? Ke tempat kemaren?"
"Gue nggak bakal ngasih tahu sama siapapun di mana
gue pindah... pokoknya sekarang... lo jaga baik-baik semua ilmu yang gue kasih ke elo... sekarang lo gue lepas... apa pun itu... kalo elo nurutin semua nasehat-nasehat gue... gue yakin elo bakal aman dan suatu saat nanti lo bakal jadi orang sukses meskipun elo nggak bisa nguasain harta warisan keluarga kandung elo..."
Pak Muchtar mengangkat kotak P3K lalu berdiri.
"Sekarang lo pulang... fokus ke kuliah lo dan kerjaan
sampingan lo di cafe itu sembari hati-hati dan waspada
sama semua musuh-musuh lo.."
Achiel pun berdiri dengan mata berkaca-kaca. Dia pun
salim ke Pak Muchtar lalu pergi meninggalkannya menuju
kontrakannya. Langkah Achiel terhenti, dia hendak berbalik badan dan mengatakan sesuatu pada gurunya itu, namun Pak Muchtar langsung berkata padanya hingga Achiel urung berbalik badan dan tetap diam memunggunginya.
"Jangan lihat ke belakang! Terus maju...melihat ke
belakang hanya ngebuat diri elo membenci takdir yang
Allah kasih ke elo... padahal semua kesakitan elo selama
ini itu adalah sebuah cara biar elo punya alasan kenapa
harus jadi orang sukses... pulanglah!"
Achiel pun kembali melangkah meninggalkan Pak
Muchtar di sana. Pak Muchtar menarik napas berat lalu
menghembuskannya.
Saat Achiel hendak membuka pintu kontrakannya, Nita
yang baru pulang kuliah tampak heran melihat wajah Achiel tampak lebam dan dikeningnya sudah dipasang perban.
"Acheil?"
Achiel menoleh pada Nita dengan terkejut.
"Lo kenapa? Lo dipukulin sama Lukas sama temen-temennya?" tanya Nita curiga.
"Bukan urusan lo,"jawab Achiel lalu membuka pintu lalu masuk ke dalam sana.
Nita pun akhirnya pergi dari sana. Sementara itu, Pak
Suripto yang kini sedang menunggu informasi apa yang
sebenarnya terjadi pada preman-preman suruhannya
hingga Achiel berhasil kabur, akhirnya anak buahnya yang
diutusnya ke sana untuk mencari tahu, datang.
Suripto langsung berdiri dengan tidak sabar.
"Informasi apa yang kamu dapet dari sana?" tanya Pak
Suripto pada anak buahnya itu.
"Katanya... katanya... Achiel punya ilmu kebal hingga
nggak mempan ditembak, Bos."
Suripto terbelalak mendengarnya. Dia yakin Pak
Muchtar sudah menurunkan ilmu itu padanya. Dia tahu di
perkampungan itu hanya dirinya dan Pak Muchtar lah yang menguasai imu itu.
"Sekarang Achiel-nya di mana?" tanya Pak Suripto penasaran.
"Tadi kata yang lain dia udah balik ke kontrakannya."
"Apa dia tahu kalo saya yang menyuruh para preman
itu buat gebukin dia?" tanya Pak Suripto penasaran.
Bersamaan dengan Pak Suripto bicara begitu, Nita
datang dan terkejut mendengar itu dari dekat gerbang
menuju rumahnya. Dia pun diam ingin mendengar lebih
banyak lagi. Pak Suripto dan anak buahnya tidak menyadari keberadaannya di sana.
"Sepertinya Achiel nggak tahu kalau Bos yang nyuruh
mereka buat gebukin Achiel," jawab anak buahnya itu.
Suripto pun tampak lega. "Kalo sampai Achiel tahu, ini
pasti sampe ke telinga Pak Muchtar! Saya nggak mau
berurusan sama dia lagi setelah saya suruh kalian gebukin
dia dulu buat mutusin dan jauhin anak gadis saya.."
Nita kian terbelalak mendengar itu. Sekarang dia tahu
alasan Achiel memutuskan cinta padanya. Ternyata karena ancaman dari bapaknya. Nita lemas mendengar itu dan sangat merasa bersalah pada Achiel. Dia pun diam-diam pergi dari sana lalu berlari ke kontrakan Achiel.
