Achiel VS Diharja
Lelaki botak berumur lima puluh tahun mendekat ke tempat duduk Achiel diikuti oleh Casandara.
"Adek namanya siapa?" tanya lelaki itu.
"Achiel," jawab Achiel. "A... C.. h.. i.. e... I.." Ejanya pada huruf di namanya itu.
"Nggak perlu di eja juga saya sudah tahu," kesal
Kepala Jurusan itu. "Kamu bisa pindah duduk ke tempat
lain?"
"Saya mau pindah kalo artis terkenal ini mau ngomong
dengan saya secara sopan dan baik-baik, Pak," jawab
Achiel.
Kepala Jurusan itu menarik napas berat. Dia tengah
menghadapi mahasiswanya yang teguh memegang prinsip dan satunya lagi mahasiswi yang tengah mengalami star syndrom.
"Kamu laki-laki, harusnya ngalah sama perempuan."
Kali ini Kepala Jurusan itu bicara dengan agak meninggi.
Karena tidak mau urusan terlalu panjang, akhirnya
Achiel mengemasi bukunya ke dalam tas lusuhnya,
kemudian dia berdiri hendak mencari bangku kosong lain
sambil menatap bapak Kepala Jurusan itu.
"Harusnya pihak kampus tidak mati-matian
menjadikan sosok terkenal sebagai ratu atau raja di
kampus ini... Kampus Nusantara yang terkenal berprestasi
baik di dalam maupun di luar negeri akan sangat
disayangkan jika ternyata begini," ucap Achiel lalu meraih
tangan bapak Kepala Jurusan itu, kemudian salim padanya layaknya anak kepada bapaknya. Setelah itu dia memilih bangku kosong paling belakang.
Bapak Kepala Jurusan itu menahan emosinya lalu
mentap Casandara sambil tersenyum. "Nak Casandara bisa duduk sini, saya kembali ke ruangan saya dulu."
"Makasih, Pak," ucap Casandra tersenyum palsu.
Kepala Jurusan itu pun sedikit menatap Achiel lalu
bergegas keluar dari ruangan itu. Casandra duduk kesal di
bangku kosong itu. Tampaknya dia menyimpan dendam
pada sosok lelaki yang dilihatnya urak-urakan itu.
Tak lama kemudian, terdengar suara pengumuman
dari speaker yang di pasang di setiap langit-langit ruangan
dan di tempat-tempat yang sering menjadi titik
berkumpulnya para mahasiswa dan mahasiswi.
"Kepada seluruh mahasiswa dan mahasiswi
universitas Nusantara, dimohon untuk berdoa sesuai
kepercayaan masing-masing atas wafatnya Bapak Brata
Nasution sebagai pemilik universitas kita tercinta ini dan
Ibu Ningrat sebagai istri tercintnya yang akan dimakamkan siang ini di taman pemakaman umum Jeruk Puruk. Semoga almarhum dan almarhumah diampuni segala dosanya dan ditempatkan di tempat yang paling mulia di sisi-Nya. Aamiin. Berdoa dimulai."
Tak lama kemudian terdengar suara nyanyian paduan
suara diringi musik pilu yang menyanyikan lagu 'Gugur
Bunga' karya lsmail Marjuki itu. Bersamaan dengan itu
seluruh mahasiswa dan mahasiswi baru di kelas itu
tampak husyuk berdoa sesuai dengan kepercayaan
masing-masing.
Sementara Achiel tampak bingung. Dia pun
menengadahkan tangannya untuk berdoa dalam hatinya.
Setelah selesai Achiel berdoa, seketika perkataan Pak
Akbar saat itu di telepon terngiang kembali di telinganya.
"Hasilnya... hasilnya akurat kamu anak kandungnya
Pak Brata..."
Dan saat itu juga Achiel kembali menyandang tasnya
lalu berlari keluar hingga membuat mahasiswa dan
mahasiswi yang masih khyusuk berdoa itu pun heran.
Achiel berlari menembus lorong-lorong kampus
megah itu. Dia berlari di trotoar jalan menuju gerbang
kampus yang lumayan jauh. Sementara itu nyanyian lagu
Gugur Bunga masih terdengar di mana-mana. Lelaki
berkacamata besar tadi yang berdiri di dekat mobilnya
karena tidak berani masuk kelas, khawatir mendapat
perundungan lagi itu heran melihat Achiel berlari di trotoar
jalan yang menuju gerbang. Tanpa pikir panjang mahasiswa berkacamata besar itu langsung menaiki mobil sedannya lalu melajukan mobilnya mengejar Achiel.
Mobilnya pun memelankan lajunya di sebelah Achiel
yang masih berlari.
"Mau ke mana?" tanyanya pada Achiel yang masih
berlari itu.
"Mau ke pemakaman!" jawab Achiel yang menyadari
bahwa mahasiswa itu adalah mahasiswa yang
diselamatkannya tadi.
"Yuk, saya anterin!" tawarnya.
Achiel pun berhenti berlari. Mobil mahasiswa itu pun
berhenti. Tanpa pikir panjang lagi Achiel naik ke mobil itu
lalu duduk di sebelah mahasiswa itu.
"Makamnya di mana?" tanyanya.
"Jeruk Purut," jawab Achiel.
"Oke! Gaaas!!" ucap lelaki itu.
Mahasiswa itu pun melajukan mobilnya agak kencang.
Sembari menyetir dia menoleh ke Achiel.
"Saya Ari," Mahasiswa itu pun mengenalkan namanya.
"Achiel!"
Ari tampak angguk-angguk senang. Bagaimana pun dia
merasa memiliki pahlawan di kampus itu disaat orang lain
di universitas itu banyak yang merundungnya.
"Lo ngapain nggak masuk kelas? Emang nggak ada
jam kuliah?" tanya Achiel.
"Gue masih takut, di kelas gue ada gengnya Lukas,"
jawab Ari.
"Lo kenal Lukas?" tanya Achiel heran.
"Siapa yang nggak kenal dia," jawab Ari. "Sekarang dia
jadi anaknya pemilik kampus ini setelah Pak Brata
meninggal, kan?
Achiel hanya menghela napas mendengar itu.
"Lo ngambil jurusan apa?" tanya Achiel kemudian yang
tidak ingin membahas itu lagi.
"Teknologi Informasi," jawab Ari. "Kalo lo?"
"Manajemen Bisnis," jawab Achiel.
Setelah lama mengitari jalanan, mereka pun tiba di
pemakaman Jeruk Purut itu. Karangan-karangan bunga
berjejer di sepanjang jalan. Saat mobil mereka sudah
memasuki area parkiran yang padat itu. Achiel langsung
keluar dari dalam mobil bersama Ari. Ari heran, ternyata
Achiel hendak menghadiri pemakaman pemilik universitas
mereka.
"Lo saudaranya almarhum Pak Barata?" tanya Ari.
"Bukan," jawab Achiel. "Lo balik lagi aja ke kampus. Lo
masih ada jam kuliah," pinta Achiel.
"Gue nunggu lo aja, nanti ke kampusnya barengan aja,"
jawab Ari.
"Yaudah," ucap Achiel. "Tunggu gue di sini."
Ari pun mengangguk sembari memperhatikan Achiel
yang berlari ke arah orang-orang yang mulai melakukan
ritual pemakaman Pak Brata di kejauhan sana. Achiel pun
berlari menembus kuburan-kuburan di sekitarnya. Saat tiba di area yang akan dimakamkan Pak Brata dan istrinya di sana. Achiel pun ikut berkerumun bersama orang-orang yang menyaksikan pemakaman itu. Achiel pun mengawasi satu persatu orang yang ada di sana itu, dia berharap bisa menemukan Pak Akbar di sana, rupanya setelah dicari-carinya, dia tidak melihat pak Akbar di sana.
Tiba-tiba Achiel tergugu melihat jenazah Pak Brata
hendak dimasukkan ke liang lahat. Dia terpaku bingung.
"Aku masih tidak percaya bahwa aku adalah anak
kandungmu," ucap Achiel dalam hatinya, "tapi seandainya
suatu saat nanti aku mendapatkan bukti yang kuat, aku
berjanji akan membalas perbuatan orang-orang yang jahat
padamu jika benar kematianmu karena unsur kesengajaan dari orang-orang yang tidak mau bertanggung jawab... semoga tenang di alam sana... dan semoga Tuhan mengampuni dosamu dan menempatkanmu di tempatnya yang terindah.."
Achiel pun pergi dari sana saat awan hitam mulai
memayungi area pemakaman itu. Saat sudah tiba di mobil
Ari, Achiel pun mengajak Ari untuk kembali ke kampus
mereka.
***
Pak Diharja yang baru saja selesai dari acara
pemakaman Pak Brata dan lbu Ningrat memasuki ruang
kerja yang luas itu. Dia masih mengenakan pakaian
hitam-hitamnya lalu duduk dengan tersenyum senang
sembari menatap seisi ruangan kantor yang semula
ditempati Pak Brata itu yang kini sudah menjadi milinya
untuk selamanya.
Sesaat kemudian handphone-nya berbunyi. Pak Diharja
bergegas mengangkatnya.
"Halo, gimana? Anak itu udah ketemu identitasnya?"
tanya Pak Diharja di seberang sana. "Apa?! Masih belum
ketemu juga!!" teriaknya. "Pokoknya cari identitas anak itu
sekarangjuga sebelum dia ditemukan oleh orang-orang
kepercayaan alhmarhum kakak saya - Pak Brata!!"
Pak Diharja pun menyimpan handphone-nya dengan
kesal. Tak lama kemudian Lukas datang dengan wajah
cemberutnya lalu duduk di hadapan ayahnya.
"Kamu nggak kuliah?" tanya Diharja.
"Lagi males, Pah. Di kampus ada anak baru, songong
banget, sok preman!" keluh Lukas.
Diharja tampak mengernyitkan keningnya. "Songong
gimana?"
"Sok preman! Dia sampe gebukin aku di kampus!" jawab Lukas menunjukkan wajah dendamnya pada Achiel.
Diharja murka mendengar itu. "Gebukin kamu?!!!"
"lya, Pah," jawab Lukas dengan gemetar ketakutan.
"Kenapa kamu nggak lapor papah biar papah laporin
anak itu ke polisi?!"
"Dia.. dia..."
"Kenapa?!!" teriak Diharja.
Lukas tidak mau memberitahukan bahwa Achiel
memiliki rekaman saat dia merundung mahasiswa baru
yang terkenal pandai meretas itu. Ya, mahasiswa baru itu
bernama Ari, lelaki berkacamata besar yang mengantarkan Achiel ke pemakaman. Ari dikenal oleh kalangan mahasiswa senior pernah meretas akun pemerintahan luar negeri, namun karena tidak cukup bukti, Ari terbebas dari tuduhan itu. Sementara mahasiswa dan mahasiswi senior yakin bahwa Ari lah pelakunya. Semenjak mengetahui Ari masuk di kampusnya, Lukas memaksanya untuk membantunya meretas sosial media mantannya terdahulu sebelum dia dekat dengan Nita. Namun Ari tidak mau. Itulah cikal bakal Lukas merundungnya tadi pagi itu.
"Dia kenapa?!!" teriak Diharja lagi.
"Dia ngerekam sesuatu saat Lukas ngebela diri, Pah.
Kayaknya dia mau fitnah Lukas biar seolah Lukas yang sok preman dan suka merundung orang!" bohong Lukas.
Diharja kian geram mendengar itu. "Sekarang katakan
pada papa siapa anak itu dan di jurusan apa dia kuliah?
Biar Papa suruh orang-orang papa buat nyeret dia ke
hadapan papa! Berani sekali dia sok preman di universitas
punya saya!!!" kesal Diharja.
Lukas pun langsung meraih handphone-nya dan
menunjukkan identitas Achiel pada Diharja melalui
handphone-nya itu. Diharja mengernyit saat melihat foto
wajah mahasiswa yang dimaksud Lukas itu.
"Anak beasiswa?!" ucap Diharja tak percaya.
"lya, Pah. Dia anak beasiswa dari programnya Om
Brata!"
Diharja pun menggebrak meja lalu meraih handphone-nya dan menghubungi seseorang.
"Halo! Kamu cari mahasiswa yang namanya Achiel di kampus Nusantara, terus bawa dia ke ruangan saya sekarang juga!"
Diharja pun meyimpan handphone-nya kembali sambil menatap Lukas dengan geram. "Kamu tunggu di sini sampai mahasiswa songong itu datang ke sini!"
"lya, Pah!"
***
Achiel yang baru kembali ke kampusnya dan hendak
menuju kelasnya itu heran melihat di depan kelasnya ada
lima lelaki berpakaian setelan jas yang tampak rapih.
Mereka mirip dengan para bodyguard yang dimiliki Pak
Akbar. Achiel pun berjalan ke sana tanpa berpikiran
macam-macam. Rupanya mereka menghadang langkah
Achiel hingga menjadi perhatian mahasiswa dan
mahasiswi di sana.
"Kamu yang namannya Achiel?" tanya seorang lelaki paling depan.
"lya," jawab Achiel. "Ada apa, ya?"
"Ikut kami sekarang juga," pinta lelaki itu.
"Tapi saya ada jam kuliah, Pak. Ini saya sudah telat," jawab Achiel heran.
"Pihak kampus udah ngizinin kami ngebawa kamu."
Achiel semakin heran. "Memannya saya mau dibawa ke mana?"
"Ada yang ingin bertemu kamu."
Achiel menduga mereka utusan dari Pak Akbar. Akhirnya dia mau mengikuti kelima bodyguard itu menuju parkiran. Dan saat sudah tiba di sebuah mobil, seorang bodyguard membukakan pintu untuknya. Achiel pun memasuki mobil itu lalu duduk di bangku tengah. Empat bodyguard pun masuk. Dua di depan dan dua mengapitnya di tengah. Sementara satu bodyguardnya lagi pergi ke mobil lainnya.
Mobil itu pun membawa Achiel pergi. Saat mobil itu menembus jalanaan kota Jakarta, Achiel diam saja, dia tidak mau bertanya apakah Pak Akbar yang memerintahkan untuk menjemputnya. Achiel khawatir mereka bukan orang suruhan Pak Akbar. Achiel pun bersiap diri jika hal buruk terjadi di tempat yang akan ditujunya itu. Dia tidak takut harus melawan mereka semua jika ternyata mereka bukan suruhan dari Pak Akbar.
Achiel terkejut saat menyadari mobilnya menuju lobby kantor milik Pak Brata. Kantor yang terkenal dengan nama Nusantara Emas itu. Para bodyguard itu turun dan meminta Achiel ikut dengannya dengan ramah. Melihat keramahan mereka, Achiel tidak curiga sama sekali.
"Apa kah Pak Akbar ada di dalam sana?" tanya Achiel heran.
Saat mereka keluar dari lift entah lantai berapa itu, Achiel memandangi lorong menuju sebuah ruangan itu dipenuhi foto-foto Pak Brata. Setiba di depan pintu ruangan, dua bodyguard yang berdiri menjaga pintu ruangan itu langsung membuka pintu. Saat pintu terbuka, Achiel terkejut di dalam sana dia melihat Lukas dan seorang lelaki tua yang dia tidak tahu itu siapa. Achiel yakin itu adalah ayah Lukas yang diketahuinya bernama Diharja.
"Ayo masuk!" kali ini bodyguard itu bicara kasar padanya.
"Ngapain saya dibawa ke sini?" tanya Achiel heran.
"Buruan masuk!" teriaknya.
Achiel pun menarik napas lalu menghembuskannya.
Kemudian dia masuk ke dalam ruangan itu. Bukan karena
takut pada bodyguard itu, tapi dia penasaran apa tujuan
Pak Diharja itu memanggilnya ke sana hingga ada Lukas
bersamanya.
Pak Diharja pun akhirnya bangkit dari duduknya lalu
berjalan mendekat ke Achiel yang sudah berdiri di dalam
ruangan itu.
"Jadi ini mahasiswa baru yang sok preman dan songong itu?" tanya Diharja dengan menahan amarahnya.
Achiel pun menatap Lukas yang diam menunduk.
Sekarang dia tahu tujuan Pak Diharja mengundangnya ke
sana hanya untuk menyelesaikan masalah antara dirinya
dengan anaknya.
"Jawaaab!" bentak Diharja.
"Semua masalah saya dengan anak bapak itu
disebabkan oleh anak bapak sendiri," jawab Achiel sambil
menatap Pak Brata tanpa takut dan ciut itu.
Pak Brata pun menoleh pada Lukas dengan heran.
Bener dia gebukin kamu karena kesalahan kamu sendiri?!"
Lukas sekarang menunduk gemetar, seperti takut menceritakan alasannya.
"Jawab Papa, Lukas!!" bentak Diharja.
Lukas semakin gemetar dan terbata-bata.
Melihat itu, Diharja kembali menatap Achiel. "Memangnya seperti apa masalahnya?"
Achiel pun menceritakan semuanya pada Diharja. Dia
pun menceritakan kelakuan Lukas di kampus selama ini
yang dilihatnya sendiri dan menurut laporan
mahasiswa-mahasiswi padanya. Mendengar itu Diharja kini malah murka ke Lukas. Dia pun menampar wajah Lukas dengan keras hingga Lukas menangis sesenggukan.
Achiel menjadi kasihan melihat itu, namun dia harus
menjelaskan yang sebenarnya.
"Kamu tahu papa nggak pernah ajarkan kamu bersikap
begitu ke temen-temen kamu di kampus!" bentak Diharja
pada Lukas. "Kalo sampe papa denger lagi kamu suka
merundung anak-anak kampus, papa bakal kirim kamu ke
luar negeri!!"
Lukas mengangguk takut sambil terisak. Setelah itu
Diharja menoleh pada Achiel.
"Kamu boleh pergi!" ucap Diharja.
Achiel pun menatap Lukas sebentar dengan kasihan
lalu berbalik badan untuk keluar dari ruangan itu,
sementara Lukas menatap Achiel penuh dengan kebencian dan dendam.
"Tunggu!" ucap Diharja.
Langkah Achiel terhenti. Heran. Dia pun berbalik badan
kembali menatap Diharja.
"Mana handphone kamu?" ucap Diharja kemudian.
Achiel heran, "Kenapa, Pak?"
"Mana handphone kamu?!!!" bentaknya.
Achiel pun mengeluarkan handphone-nya. Dia teringat
di sana ada nomor Pak Akbar yang disimpannya. Seketika
Achiel khawatir kalau Pak Diharja memeriksa handphone-nya dan menemukan history panggilan Pak Akbar padanya. Meskipun Achiel belum tahu kebenarannya bagaimana, tapi dia khawatir jika benar Diharja sejahat yang diduga Pak Akbar selama ini.
Achiel pun berusaha membuka layar handphone-nya
untuk menghapus nomor Pak Akbar sebelum dia
menyerahkannya pada Diharja. Namun seketika Diharja
merebut handphone di tangan Achiel lalu melemparnya ke
lantai hingga handphone bututnya itu pecah lalu
dinjak-injaknya lagi hingga benar-benar hancur
berkeping-keping.
Achiel terbelalak melihat itu. Dia pun ingin menyerang
Pak Diharja, namun tiba-tiba bodyguard di belakangnya
mengeluarkan pistolnya dan mengarahkan pada Achiel.
"Jangan bergerak!"
Achiel menoleh dan terkejut melihat bodyguard itu
sudah menodongkan pistol ke arahnya.
"Boleh juga nyali kamu!" ucap Diharja. Kemudian dia
menuju meja kerjanya lalu membuka lacinya mengeluarkan segepok uang di dalamnya, setelah itu dia kembali ke hadapan Achiel yang masih diancam dengan pistol oleh anak buahnya itu.
"Saya nggak mau kamu masih megang bukti
perundungan anak saya pada teman kuliahnya," ucap
Diharja kemudian lalu mengulurkan uang segepok itu pada
Diharja. "lni untuk beli handphone baru sebagai ganti
handphone kamu yang udah saya rusak tadi."
Achiel pun tidak mau meraih uang segepok itu, dia pun
meraih kartu sim diantara pecahan handphone-nya itu lalu
meninggalkan ruangan itu dengan wajah dinginnya. Diharja tersenyum melihatnya.
"Boleh juga anak itu.." gumamnya.
***
Dan malam itu, Achiel duduk sendirian di cafe baru
yang sepi itu. Cafe itu berada di pinggir jalan besar yang
tidak jauh dari kawasan perkampungan tempat tinggalnya. Dia awalnya tidak mau ke sana, namun karena melihat sepinya tempat itu, dia merasa tempat itu tempat yang paling cocok untuk menenangkan dirinya. Cafe luas dan tampak mewah namun tidak ada pengunjung sama sekali dan di hari-hari lain juga Achiel melihat hanya sedikit saja pengunjung yang datang ke sana. Segelas kopi hitam tanpa gula sudah tersaji di hadapannya.
Tak lama kemudian dia terkejut melihat mobil mewah
datang dan parkir di depan cafe itu. Tiba-tiba para pelayan
yang berjumlah sedikit dan seorang lelaki yang sepertinya
menjadi manager di cafe itu berlarian keluar. Sepertinya
seseorang di dalam mobil itu adalah pemilik cafe itu
hingga membuat karyawannya berlari tunggang langgang
untuk menyambutnya.
Mata Achiel kian terbelalak ketika mendapati yang
keluar itu ternyata Casandra. Bintang film yang tengah naik daun itu. Dua bodyguardnya yang tadi berjumpa dengannya pada insiden di kelas itu pun ada bersamanya. Saat Casandra memasuki cafe itu, langkahnya terhenti melihat Achiel yang langsung meraih segelas kopi kemudian menyeruptnya.
Casandra pun tampak tidak peduli pada Achiel
meskipun dia masih menyimpan dendam padanya
mengenai kejadian di kampusnya tadi. Casandra pun
berjalan ke dalam lalu memarahi managernya karena
dianggap tidak bisa mengelola cafenya.
"Gimana mau rame kalo bikin cafe semewah ini di
kawasan perkampungan kota Jakarta yang banyak
penduduknya yang masih asik ngopi di warung-warung
kecil!" celetuk Achiel. Dia berani berkata seperti itu karena
tahu Casandra satu jurusan dengannya di kampus.
Casandra menoleh ke Achiel dengan terkejut. "Gue
bikin cafe ini bukan untuk anak-anak kampung kayak lo!
Tapi untuk kalangan kelas atas!"
"Perumahan mewah sangat jauh dari sini, terus di
sekitar sini nggak ada perkantoran elite, yang ada cuma
ruko-ruko dan kantor-kantor pemerintahan kecil saja! Lalu
lintas di sini macet! Bikin males orang elit buat ke sini!"
jawab Achiel. "Kalo cuman ngandelin nama pemiliknya aja, paling ramenya pas awal-awal aja."
"Maksud lo gue harus pindah gitu?!!" teriak Casandra. "
Enak aja! Gue udah modalin cafe ini mahal-mahal!"
"Ya nggak mesti pindah juga! Bisa aja kan disesuaikan
sama keadaan di sini!"
"Lo mau nyuruh gue nurunin standar pengunjung di
cafe gue?"
"Ya kalo mau rame!" jawab Achiel. "Nururnin harga
kalo rame sama aja kan untungnya?"
"Lo baru mahasiswa aja lagaknya udah kayak master
bisnis aja lo! Emang lo punya cafe?" tanya Casandra kesal.
"Nggak! Sekarang malah gue pengangguran yang lagi
nyari kerjaan buat tambahan uang jajan!"
"Kalo lo mau kerjaan, dan lo bebas masuk kerja pas
pulang kuliah dan selesai kerja pas jam tutup cafe ini,
sekarang gue tantang lo buat bikin konsep sesuai dengan
apa yang lo bilang ke gue tadi! Kalo konsep udah jadi, gue
bakal ubah semua yang ada di cafe ini sesuai konsep lo,
dan gue kasih waktu satu tahun, kalo setelah itu masih sepi, lo harus ganti rugi semua biaya yang gue keluarin untuk ngikutin konsep lo itu! Dan selama setahun itu gua bakal gaji lo sama kayak gue ngegaji manager gue! Tapi lo juga harus balikin gaji itu juga selama setahun kalo konsep lo nggak berhasil! Gimana? Berani?" tantang Casandra yang sudah lewat kesalnya dengan sosok Achiel yang sudah membuatnya kesal dua kali selama satu hari itu.
"Oke! Siapa takut!" jawab Achiel tanpa ragu. "Kapan
gue harus nyerahin konsepnya ke elo?"
Manager dan karyawannya di sana tampak ternganga
tak percaya.
Casandra memang Achiel dengan kesal. "Secepatnya!
Paling telat seminggu! Gimana?"
"Oke!!"
"Gue tunggu!" Casandra pun pergi keluar dari cafe itu.
Dua bodyguardnya pun buru-buru mengejarnya.
Sementara Achiel menyeruput kembali kopinya. Dia
paling tidak bisa mendapat tantangan seperti itu. Dia tahu
Casandra menantangnya karena menganggap apa yang
dibicarakannya tadi hanya omong kosong belaka. Achiel
paling tidak suka ada yang meremehkannya. Itulah yang
membuatnya berani menerima tantangannya. Lagi pula ini
kesempatannya untuk mendapatkan uang penghidupannya karena sudah tidak lagi bekerja.
