5. TEMAN BAIKKU TELAH PERGI
Kenzo hanya bisa menghela napas mendengar ucapan Ratu, sementara pelayan restoran hanya tersenyum mendengar ucapan Ratu yang begitu polos.
"Aku tidak tahu semua makanan ini, namanya saja begitu aneh-aneh." Ratu menutup buku menunya dengan wajah kesal. "Kamu juga, kenapa kita harus makan di sini?"
Kenzo tidak menggubris ucapan Ratu, dipilihnya beberapa menu yang kira-kira bisa dimakan oleh gadis di depannya yang tidak lengkap hidupnya kalau tidak menggerutu.
Ratu mengedarkan pandangannya ke sekeliling, terlihat beberapa pengunjung lain sedang menikmati makanannya. Suasana timur tengah sangat kental sekali dengan berbagai macam ornamen timur tengah menghiasi seluruh ruangan, apalagi sayup-sayup terdengar musik mengalun indah mengisi ruangan.
Kenzo sibuk dengan ponselnya, beberapa kali terlihat menerima panggilan masuk dan juga membalas beberapa pesan yang masuk. Diam-diam Ratu memperhatikan semua apa yang dilakukan Kenzo. Pikirannya sekarang dipenuhi pertanyaan siapa sebenarnya Kenzo Bastian ini?
*** Flash back ***
Pagi itu Ratu dengan langkah terburu-buru akan pergi menjenguk temannya yang sedang sakit. Panas terik matahari yang menyengat membakar kulitnya yang putih sudah tidak dihiraukannya lagi.
"Ratu!"
Dari jarak beberapa meter terdengar suara cempreng memanggil namanya. "Cila."
"Mau ke mana kamu?" tanya Cila begitu sampai di depan Ratu.
"Mau ke rumah Kleo," jawab Ratu. "Kamu mau ke mana?"
"Kebetulan sekali, aku juga mau ke rumah Kleo. Katanya dia sakit, aku mau menjenguknya," jawab Cila.
"Iya Kleo sakit, tapi aku dengar katanya dia kecelakaan," jawab Ratu melanjutkan lagi langkahnya.
Cila kaget. "Benarkah? Aku tidak tahu kalau Kleo kecelakaan. Kasihan sekali."
"Aku juga tidak tahu benar atau tidak berita itu. Aku hanya mendengar dari orang," jawab Ratu mempercepat langkahnya.
"Mudah-mudahan tidak benar," jawab Cila. "Ayo cepat jalannya, ini matahari panas banget. Kulit kita bisa melepuh."
"He-he-he. Berlebihan sekali khayalanmu. Mana ada kulit melepuh, memangnya direbus."
Mereka berduapun tertawa terbahak, berlari kecil dengan tangan saling berpegangan di bawah teriknya matahari yang sangat menyengat kulit.
Rumah yang mereka datangi terlihat banyak orang. Ratu dan Cila berdiri beberapa menit di halaman rumah Kleo memperhatikan orang-orang yang datang dengan wajah yang begitu sedih.
"Ada apa di rumah Kleo? Kenapa banyak orang?" tanya Cila.
"Aku tidak tahu," jawab Ratu melihat ke sekeliling merasa aneh dengan orang-orang yang datang dengan wajah sedih bahkan terlihat ada yang menangis.
"Lihat!" Cila menyenggol tangan Ratu untuk melihat ke arah yang ditunjuknya.
Wajah Ratu langsung menegang begitu melihat ada bendera kuning yang terpasang di pintu pagar.
"Bendera kuning," ucap Cila. "Bukankah itu artinya ---," Cila menutup bibirnya. "Ya Tuhan, tidak."
Jantung Ratu berdetak kencang, apa yang dipikirkan Cila sama dengan apa yang dipikirkan dirinya. Ratu melihat lagi ke arah rumah Kleo yang pintunya terbuka lebar.
"Ratu, ada apa sebenarnya di rumah Kleo?" Tanya Cila.
"Aku tidak tahu," jawab Ratu dengan pikiran yang sudah menduga-duga.
Cila memegang pergelangan tangan Ratu. "Apa kita masuk ke sana?"
Ratu menarik tangan Cila agar ikut dengannya. "Ayo! Aku ingin tahu apa yang terjadi di dalam."
"Aku takut." Cila menepiskan tangan Ratu tidak mau ikut.
"Apanya yang ditakutkan? Aku malah ingin tahu apa yang terjadi?" Ratu menarik tangan Cila kembali. "Ayo, kita masuk!"
Ratu melihat orang-orang yang berdiri di luar rumah memperhatikan dirinya dan Cila. Kebingungan semakin menyelingkupi hatinya ketika kakinya menginjak teras rumah.
"Neng Ratu," terdengar suara bariton menyapa mereka.
Ratu segera melihat ke arah darimana suara berasal. "Pak RT."
"Iya, Neng," jawab Pak RT yang sudah sangat mengenal Ratu karena sering main ke rumah Kleo.
"Maaf Pak, ada apa ya ini? Kenapa ramai sekali?" tanya Ratu sopan sementara Cila hanya diam sambil melihat orang-orang yang kebanyakan Ibu-ibu.
"Memangnya Neng Ratu belum tahu?" tanya Pak RT.
Ratu melihat Cila yang berdiri disampingnya merasa bingung dengan pertanyaan Pak RT. "Tahu apa Pak?"
"Neng Kleo telah meninggal," jawab Pak RT. "Neng Ratu benar-benar tidak tahu?"
Wajah Ratu dan Cila seketika menegang sekaligus kaget begitu mendengar apa yang dikatakan Pak RT.
"Meninggal?" tanya Ratu. "Bapak jangan becanda."
"Untuk apa saya becanda tentang hidup dan matinya orang? Saya serius Neng," jawab Pak RT. "Ini semua tetangga yang akan membantu keluarga Almarhumah untuk mengurus pemakaman."
Ratu dan Cila langsung melihat ke arah pintu masuk. Baru sekarang Ratu menyadari dari dalam terdengar suara orang sedang mengaji. "Kleo."
Cila memegang erat tangan Ratu, jantungnya berdetak kencang. Rasanya seperti mimpi mendengar apa yang dikatakan Pak RT barusan.
"Masuk saja Neng, di dalam ada Ibunya Almarhumah sedang mengaji dengan Ibu-ibu yang lain," kata Pak RT.
"Iya Pak, saya masuk dulu," jawab Ratu pelan lalu menarik tangan Cila untuk masuk.
Suara orang mengaji semakin jelas terdengar begitu kaki Ratu dan Cila menginjak lantai ruang tamu rumah Kleo. Terlihat beberapa Ibu-ibu sedang mengaji di depan tubuh yang terbujur kaku tertutup kain bercorak batik.
Ratu dan Cila beberapa detik tertegun melihat pemandangan di dalam rumah, sampai suara seorang wanita memanggil dan menyadarkan keduanya. "Neng Ratu, Neng Cila."
Ratu dan Cila melihat Ibunya Kleo sedang duduk di depan tubuh yang terbujur kaku tertutup kain dengan matanya yang sembab serta wajah yang begitu sedih.
Ratu menarik tangan Cila agar mengikutinya untuk mendekat ke Ibunya Kleo. "Ayo, ada Ibunya Kleo."
"Duduk di sini Neng." Ibunya Kleo menepuk tempat kosong yang ada disampingnya.
Ratu dan Cila perlahan duduk di samping Ibunya Kleo dengan tatapan yang tidak beralih dari tubuh yang terbujur kaku tertutup kain di depan mereka. Seketika kesedihan langsung menyelingkupi hati Ratu dan Cila.
"Kleo sudah tidak ada," bisik Ibunya Kleo dengan suara serak serta air mata yang jatuh dari kedua kelopak matanya yang sudah merah.
Ratu seakan tidak percaya dengan apa yang terjadi di depannya saat ini. Bukankah satu Minggu yang lalu, Kleo masih bermain bersamanya bahkan derai tawanya masih terdengar ditelinganya.
"Bu, Kleo meninggak karena apa?" tanya Cila pelan.
"Sakit perut. Tiga hari yang lalu, Kleo mengeluh perutnya sakit. Ibu pikir itu sakit perut biasa karena masuk angin, jadi Ibu hanya memberinya obat warung untuk masuk angin. Tapi begitu kemarin pagi Ibu bawa ke Dokter ternyata sakit di perutnya berasal dari lambungnya yang sudah terluka parah. Ibu terlambat membawanya ke Dokter." Isak tangis Ibu Kleo kembali pecah.
Ratu memegang dan mengelus pelan tangan Ibu Kleo. "Sabar Bu. Jangan menyalahkan diri sendiri. Ini memang sudah jalannya harus seperti ini."
Ibu Kleo melanjutkan ceritanya di antara tangisnya. "Dari semalam, Kleo mengeluh perutnya sangat sakit lalu tadi pagi ... tadi pagi ... Kleo ... Kleo ...."
