Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bagian 3 : Ingatan Dari Masa Lalu

"Egois diperlukan, untuk menunjukan pada dunia, bahwa kita baik-baik saja." - Radza

***

Aku mengerjab pelan, saat sinar matahari menyeruak masuk menusuk

indra penglihatan, kupejamkan mataku kembali karena silau.

"Club-minum-mabuk-berkenalan dengan lelaki asing-bercumbu-lalu..." Kubuka kelopak mataku secara cepat dan dugaanku benar. Seorang lelaki memelukku erat, dengan wajah yang disembunyikan di ceruk leherku."Sial, apa aku kembali tidur dengan para lelaki hidung belang?" Kusibak kasar selimut yang membalut tubuhku, dan benar saja aku polos tanpa sehelai kain.

"Bodoh kamu, Radza!"

Makian itu kutujukan untuk diriku sendiri. Tidak biasanya aku tidur dengan lelaki dalam keadaan mabuk. Biasanya, aku sepenuhnya sadar dan akan bermain dengan lelaki seumuranku, dengan syarat belum pernah menikah. Aku memang bukan wanita baik, tapi aku juga tidak seburuk itu untuk menjadi seorang pelakor.

"Bibirmu berdarah, kenapa masih saja kamu gigit?" Suara familiar itu sontak membuatku menengok. "Ada apa, Radza?" Aku melotot tidak percaya, kenapa lelaki itu bisa di sini?

"Kamu kenapa di sini?" Heranku membuat lelaki itu terkekeh.

"Kamu mabuk dan berpangutan dengan lelaki berumur. Aku tidak menyangka seleramu turun drastis dari biasanya," ujarnya dengan nada menghina. "Sebenarnya, aku tidak peduli kamu mau tidur dengan siapa saja. Tapi semalam aku sedang butuh milikmu, jadi maaf aku mengganggu waktumu dengan client tuamu itu,"

lanjut Shaka, dan berlalu masuk ke kamar mandi meninggalkanku yang hanya berdiam seperti orang linglung.

*

Kami berjalan beriringan menuju cafetaria hotel, entah kenapa semalam lelaki itu membawaku ke sini, bukan ke apartemen miliknya. Tapi aku tidak mau ambil pusing dengan hal itu, diam lebih baik dari pada harus berurusan dengan lelaki yang menjabat sebagai suamiku itu.

"Aku tidak membunuh nya," ujarnya tiba-tiba saat kami sudah memasuki area cafetaria. "Ingat, bahwa aku hanya menyingkirkannya dan itu pun untuk kebaikan kita berdua," lanjut Shaka penuh penekanan. "Radza, jika aku sedang bicara..."

"Terserah kamu!" Kusingkirkan tangan kekar Shaka dari bahuku.

"Radza, tunggu!" Lelaki itu segera mengejarku, tetapi tentu saja kuabaikan. Aku memilih duduk dan segera membuka menu breakfast yang tersedia dan diikuti olehnya.

Kami makan dalam diam, tidak ada pembicaraan sama sekali. Terkadang aku berpikir, kehidupan apa yang sedang kujalani? Kenapa begitu menyedihkan? Kenapa begitu hambar? Dan bodohnya, kenapa aku masih juga bertahan?

Tanpa sengaja mataku melirik ke arah meja sebelah, terlihat sebuah keluarga besar sedang melakukan ritual sarapan sama sepertiku. Bedanya, keluarga itu terlihat sangat bahagia, sesekali candaan terlontar dari mulut mereka, dan dibalas gelak tawa oleh anggota keluarga lainnya, membuatku hanya bisa tersenyum miris.

Saat mataku kembali menjelajah, kutemukan lagi pemandangan yang membuat hatiku semakin tersayat. Seorang wanita paruh baya yang masih tampak cantik, sedang menyuapi seorang perempuan, yang jika dilihat dari wajahnya mungkin seumuran denganku. Senyum perempuan itu tampak merekah, saat sepotong roti masuk ke dalam mulutnya, dan dengan hati-hati wanita paruh baya itu mengusap bibir perempuan muda di depannya yang terkena selai.

"Bunda, maafkan Radza." Tanpa bisa dicegah cairan berwarna putih itu jatuh ke permukaan wajahku. "Asal Bunda tau, Radza sangat menyesal atas semua yang telah terjadi. Jika waktu bisa diulang, Radza ingin sekali bersujud di kaki bunda, sampai semua salah Radza bisa bunda ampuni," lanjutku lirih, dengan air mata yang semakin berlimpah.

Jakarta, 2010.

"Kamu harus menikah dengan Shaka, kalian sudah berzina," teriak ayah sambil menarik kasar lenganku.

"Kami hanya tidur bersama, itu pun di bawah kesadaran kita," ujarku sambil berusaha melepaskan tarikan ayah.

"Hanya tidur bersama? Di mata agama atau pun hukum, dua orang dewasa yang berbeda jenis kelamin, tidur bersama tanpa ikatan pernikahaan, itu salah!" Aku mengerling sebal, mendengar perkataan ayah yang terkesan lebay.

"Radzana, Bunda mohon, menikahlah dengan Shaka." Wanita itu dengan lancangnya ikut menimpali. "Jadilah perempuan yang baik, Nak," lanjutnya kali ini membuatku tertawa.

"Perempuan yang baik kamu bilang?" Aku maju satu langkah, menatap sengit perempuan berkemeja navy di depanku. "Kamu bisa ngaca kan?" tanyaku sarkasme. "Bagaimana mungkin aku bisa menjadi perempuan baik, jika kenyataannya wanita yang harusnya mendidikku dengan teganya malah menelantarkanku, hanya demi pekerjaan tidak berujungnya itu!"

"Radza! Jaga omonganmu, dia ibumu!" teriak ayah.

"Dia, hanyalah wanita yang membuatku ada di dunia," sinisku sambil menatap tajam wanita itu. "Karena tidak ada seorang ibu, yang tidak peduli dengan anaknya!"

"Radzana!"

Tangan itu refleks terangkat membuat mataku seketika terpejam. Satu detik, dua detik, tidak ada rasa panas yang menjalar diwajahku. Kubuka perlahan netraku, dan saat itu juga aku terbahak, melihat drama melakonis, yang sedang diputar secara live tepat di depan mataku.

"Whohahahaha, drama apalagi ini?" ejekku. "pencitraan sekali anda, berusaha menghalangi ayah menamparku." Tepuk tangan riuh itu aku ciptakan sendiri. "Asal anda tau, bahwa saya sebenarnya merindukan tamparan itu, merindukan rasa panas yang menjalar dipermukaan pipiku!"

"Kamu..." Tangan lelaki itu kembali terangkat.

"Mas sudah." Wanita itu menggeleng penuh permohonan.

"Tapi anak ini..."

"Tuan-Nyonya, Maaf mengganggu, ada kurir yang mengantarkan surat ini." Suara itu membuat kami bertiga refleks menengok, bik Kinan menunduk sopan sambil menyerahkan sebuah amplop berlogo rumah sakit.

"Terimakasih, Bik." Dengan segera

bunda menerima amplop itu.

"Semua akan dibuktikan di sini, Radzana!" Ayah mengangkat tinggi amplop putih itu. "Jika hasilnya positif maka kamu harus menikah dengan Shaka, tapi jika negatif, ayah akan berikan kamu satu kesempatan lagi," lanjut lelaki itu terdengar berbelit.

"Negatif, Pa?" cicit wanita yang telah melahirkanku penuh harap.

"Anak siapa kamu, Radzana! Kenapa kamu murahan sekali menjadi perempuan!" Wajah ayah merah padam. "Kamu positif Radzana, Astafirullah." Ayah menyugar rambutnya frustasi. Aku membeku, jantungku berdegup kencang, aku positif? Bagaimana bisa, apakah vonis dokter salah? Tapi tiga hari yang lalu, tamu bulanku baru saja selesai. Dengan tangan bergetar, kuambil kertas putih itu dari tangan ayah.

Radzana Raqueenza

Positif tidak perawan.

Aku menghembuskan nafas pelan,

sebagian hatiku merasa lega dengan hal itu, tapi sebagian lagi hampa, mengetahui bahwa hal itu sulit terjadi padaku atau malah tidak bisa.

"Tidak masalah," gumamku sambil menarik nafas dalam-dalam.

"Apa kamu bilang? Tidak masalah?" Lelaki itu kembali menarik kasar bahuku. "Kamu belum menikah, Radzana! Dan kamu sudah tidak perawan? Dimana otak kamu?!" Aku menghembuskan nafas malas, tidak berniat melawan ayah, tetapi kenapa lelaki ini seperti terus mengajakku ribut.

"Kamu harus menikah dengan Shaka, Bunda mohon." Drama wanita ini dimulai. Sejak kapan manusia satu ini peduli dengan anaknya, bukankah yang terpenting hanyalah karier,karier dan karier?

"Kamu siapa? Berani mengatur hidupku?" Aku terbahak, sambil menatap tajam wanita itu yang semakin terisak, terkesan alay. " Asal kamu tau bahwa..."

PLAKK

"Akhirnya, yang kutunggu datang juga!" Aku bertepuk tangan sambil tertawa puas melihat ayah yang langsung mengepalkan tangan. "Rasanya masih sama, hot!" kekehku, membuat wanita itu semakin terisak. Kuusap bekas tamparan itu dengan pelan, sedikit perih.

"Minggu depan, kamu dan Shaka, harus menikah!" Lelaki itu memerintahku, yang benar saja? Aku kembali tertawa, agar sepasang suami istri itu semakin kesal.

"Baiklah! Sekarang pun saya siap," jelas itu bukan suaraku. Kami serentak menengok, sosok itu mulai mendekat, dan sekarang persis tepat disampingku. "Saya akan menikahi Radza, saya akan bertanggung jawab atas kesalahan yang saya buat."

PLAKK

"Arghhh" Aku ikut meringis, sambil memegang nyeri pipiku. Tamparan barusan lebih keras dari yang kudapatkan tadi, percayalah. Tetapi lelaki itu tetap santai, mata besar nya tetap menatap berani ke arah ayah.

"Memang seharusnya kamu menikahi putri saya!" teriak ayah dengan nafas tersenggal. "Dan asal kamu tau, tamparan tadi tidak ada apa-apanya, dengan kesalahan yang kamu perbuat kepada Radza!" lanjut ayah dengan ekspresi mengerikan.

"Saya tunggu orang tua kamu paling lambat besok untuk melamar Radza, dan minggu depan kalian berdua harus menikah!" Ayah menatap Shaka tajam, lalu menarik pelan tangan bunda untuk menjauh.

"Sebodoh itukah orang tua kamu!Sampai tidak tau bahwa anaknya adalah wanita malam." Lelaki itu kembali bersuara, saat ayah dan bunda sudah menjauh.

"Kamu lebih bodoh menjanjikan sesuatu yang tidak akan pernah terjadi!" sindirku balik.

"Apa?Menikahimu?" tanyanya retoris dan hanya kubalas dengan senyum mengejek. "Asal kamu tau, bahwa aku tidak akan pernah main-main dengan semua perkataanku!" bisiknya penuh penekanan. "Kamu adalah wanita malam favorite di club. siapa yang tidak ingin memilikimu, Radzana. Banyak orang yang rela menguras isi dompetnya, hanya untuk bermalam bersamamu," lanjutnya membuatku sedikit terkejut, dia tau tentangku?

"Walau banyak, tapi aku mengingat semua pelangganku. Dan setahuku kamu belum pernah memakaiku, bagaimana kamu bisa menyimpulkan bahwa aku adalah wanita favorite di club?" tanyaku ingin tau.

"Apa aku sebodoh itu, sampai tidak tau Radzana Raqueenza, wanita malam terlihai tahun ini! Bahkan namamu sudah sangat terkenal dikalangan anak malam sepertiku, Radza." Tawa lelaki itu pecah. "Semua lelaki membayarmu mahal hanya untuk satu malam, dan aku? Akan memiliki wanita itu tanpa mengeluarkan uang sepeser pun! Hanya cukup membawa orang tuaku kesini untuk melamarmu, dan kamu akan menjadi miliku, sampai aku bosan!" lanjutnya percaya diri, membuatku hanya bisa geleng-geleng kepala.

"Kamu mengenalku sangat baik, tapi maaf, kenapa kamu percaya diri sekali untuk bisa menikahiku?" tanyaku penasaran. "Aku seorang wanita yang hanya butuh kepuasan dan uang, bukan ikatan penuh tanggung jawab!" jelasku membuat lelaki itu menyengir lebar. " Kamu paham, bebih?" Aku sedikit berjinjit, lalu berbisik pelan ditelinga Shaka, kuberikan tanda kepemilikan di daun telinganya, dan kurasakan tubuh lelaki itu yang menengang.

"Kamu menggodaku?" Shaka mendekat, mengunciku dengan tubuh kekarnya. "Aku ingin memilikimu, benar-benar ingin!" Lelaki itu semakin mendekat. "Atas dasar apa kamu menolak pernikahan ini, Radzana. Ini akan sama-sama menguntungkan kita!" lanjutnya semakin mendekatiku.

"Menjauhlah," kudorong kasar tubuh Shaka. "Pernikahan ini hanya menguntunganmu, dan aku tidak," ujarku merasa dibodohi.

"Kamu hanya bertugas menafkahi batinku, Radzana. Bukankah itu mudah, untuk kamu yang memiliki pekerjaan seperti itu sehari-hari?" Lelaki itu kembali menarik tubuhku agar mendekat.

"Lalu, apa keuntungannya untuk saya, tuan Shaka yang terhormat!" tanyaku menuntut. "Kamu ingin memberikanku banyak uang? Oh, maaf saya sudah kaya dan jika saya butuh, saya tinggal datang ke club dan dengan senang hati para lelaki di sana, akan memberikanku uang walau itu dengan cuma-cuma." Sombongku.

"Bukan uang, tapi kebebasan." Aku mengerutkan dahi, tidak mengerti dengan ucapannya. "Dengan menikah, maka secara tidak langsung, tanggung jawab seorang perempuan, jatuh ke tangan suaminya!" lanjut lelaki itu.

"Lalu apa hubungannya denganku?" tanyaku masih tidak mengerti.

"Jika kita menikah, maka otomatis tanggung jawabmu, akan berpindah ketanganku. Kamu akan terbebas dari ayah dan bundamu itu, bahkan kamu tidak akan tinggal di sini lagi. Kamu akan ikut aku ke apartemen, dan disana hanya ada kita berdua, kita akan bebas," ujarnya panjang lebar.

"Bebas? Bebas dalam artian apa maksudmu, tuan Shaka?" tanyaku seperti orang bodoh.

"Bebas dalam segala hal, sayang." Lelaki itu menyetuh lembut daguku dan segera kutepis. "Aku akan membebaskanmu! Jika kamu di rumah ini selalu mendapatkan tamparan dan cacian setiap ketahuan pergi ke club, maka tidak saat bersama denganku. Kamu akan mendapatkan kebebasan , bahkan aku tidak akan ikut campur dengan masalah pribadimu. Kamu bebas melakukan apapun, berhubungan dengan siapapun! Tapi ingat prioristas utamamu adalah melayani kebutuhan biologis-ku," lanjutnya mulai membuatku tergiur.

"Hanya itu maumu, kamu yakin?" tanyaku memastikan dan lelaki itu mengangguk mantap.

"Deal?" Kuulurkan tanganku pertanda setuju dan lelaki itu menyambutnya dengan senyum merekah.

-

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel