Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bagian 2 : Tidak Pernah Akur

"Jika kamu senang berlari dari masalah, maka dengan senang hati masalah akan mengejarmu." ~ Shaka

***

Aku berdehem, saat kami berdua sudah duduk manis untuk melaksanakan ritual makan pagi. Kulirik perempuan di depanku yang tetap membisu sambil terus memakan sarapannya dengan sangat tenang.

"Dua hari yang lalu, saya mendapatkan penerbangan ke Indonesia," ujarku memecah keheningan. Perempuan itu tetap diam, sambil sesekali melirik jam tangannya, sudah biasa."Saya bertemu bunda dan ayah," lanjutku cepat.

"Kamu menemuinya?" Aku tertawa samar, hanya masa lalu yang mampu membuat seorang Radza bisa mengeluarkan suara emasnya.

"Kamu ingin aku dihajar di hadapan banyak orang?" tanyaku balik membuat perempuan itu kembali membisu. "Cepat atau lambat, aku ataupun kamu tetap akan bertemu mereka kembali. Enam tahun bukan waktu yang singkat, Radza. Sudah cukup selama itu kita berdua menjadi seorang pengecut. Aku berharap kamu bisa berdamai dengan masa lalu." Kuteguk cepat sisa kopi di atas meja, dan berlalu keluar. Meninggalkan perempuan itu yang masih setia membisu, dengan segala pikirannya.

*

Aku memutar pelan kursi kebangsaanku, sambil meneliti beberapa berkas yang harus kutanda tangani. Jika sedang tidak ada jadwal penerbangan, aku lebih sering menghabiskan waktu di kantor, walau sebagian besar pekerjaanku sudah dikendalikan oleh Romeo, asistenku.

"Wuihh, tumben banget udah balik." Kuhembuskan nafas kasar, ketika pintu ruanganku terbuka tanpa ada ucapan salam. "Curiga gue, liat elu terbang bentar banget." Romeo duduk di depanku mengambil sebungkus kripik lalu memakannya.

"Oh, gue tau. Elu nggak tahan kan, karena di udara nggak ada yang bisa nampung cairan kelelakian, elu?" Romeo mencondongkan tubuhnya kearahku dengan tatapan menyelidik. "Enggak usah dijawab,bos. Gue udah tau dari sorot mata elu, kasian si Radza semalem, semoga nggak sampe lecet." Kesabaranku akhirnya habis, kulempar bolpen berwarna hitam itu hingga membentur kepalanya.

"Astaga boss, bercanda doang sih." Romeo terlonjak kaget sambil mengusap-usap kepalanya.

"Berapa kali Radza pergi ke club selama gue sedang bertugas?" tanyaku serius.

"Dua kali," jawab Romeo sambil menunjukan kedua jarinya.

"Masuk kamar?" tanyaku ingin tau.

"Grepe aja, terus istri elu ngejauh gitu," jawab Romeo.

"Syukurlah," refleksku membuat lelaki itu menengok. "Kenapa?"

"Mulai peduli sama si Radza?" selidik Romeo.

"Biasa aja," jujurku membuat lelaki itu malah tertawa.

"Awas aja elu jatuh cinta." Perkataan Romeo kali ini membuatku ikut terkekeh.

"Mimpi." Kulempar berkas yang baru saja kutanda tangani membuat lelaki itu semakin terbahak.

"By the way, kapan terbang lagi?" Romeo memungut berkas yang bercecer lalu menatanya kembali di meja, lelaki itu memang kelewat menyebalkan, tetapi sangat bisa diandalkan.

"Bulan depan," jawabku malas. "Gue kayak ada niat balik ke Indonesia gitu, buat nyelesain masalah sama keluarga di sana, rasanya ganjel bertahun-tahun menghindar terus," lanjutku setengah hati.

"Serius, boss?" Lelaki itu menatapku intens. "Biasanya paling anti elu disangkutin sama yang namanya masa lalu, tapi ini malah tiba-tiba ngebahas dan berniat mau nyelesain. Nggak mabuk kan, elu?" lanjut Romeo sambil memegang dahiku, dan dengan kasar langsung kuhempas.

"Dua hari yang lalu gue dapet penerbangan ke Indonesia, gak sengaja ketemu bunda sama ayah. Dan dengan pengecutnya, gue langsung lari kayak orang habis maling." Kusugar kasar rambutku. "Gue gabisa selamanya kayak gini, Rom. Ini udah enam tahun lebih,dan emang harusnya gue udah berani muncul kehadapan mereka semua," sambungku frustasi.

"Radza setuju sama ide, elu?" tanya Romeo ingin tau, membuatku hanya bisa menghembuskan nafas kasar. "Entah kenapa, gue nggak yakin bini elu mau, dibalik wajah judesnya  mata dia itu kosong, boss. Dan elu juga udah paham kalau itu karena masa lalu," lanjut Romeo

"Sok tau banget!" umpatku kesal dan dibalas gelak tawa oleh lelaki kurang waras di depanku.

"Eh, handphone lu nyala tuh," ujar Romeo sambil menunjuk ke arah meja, membuatku dengan malas langsung mengambilnya.

Bini lu di club bro, dia kelihatan mabuk berat, terus kayaknya mau masuk kamar deh, gue harus gimana? -

"Radzana!" teriaku kesal lalu dengan kilat berlari keluar, mengabaikan Romeo yang terus memanggilku.

*

"Dimana Radza?" tanyaku pada salah satu pelayan yang kukenal.

"Tuh, istri elu." tunjuk Rayyan pada dua orang beda generasi yang sedang asyik bercumbu membuat darahku seketika mendidih.

"Pulang, Radzana!" Kuhampiri perempuan itu dengan cepat, lalu kutarik kasar pergelangan tangannya.

"Lepas!" teriaknya sambil menghempaskan kasar tanganku.

"Aku bilang, Pulang!" kembali kutarik kasar tangan Radza. "Dan kamu lelaki tua, pergilah! Dia istriku," lanjutku sambil memandang tajam lelaki yang

sudah setengah telanjang itu.

"Lepas, brengsek! Aku tidak sudi ikut dengan malaikat pencabut nyawa sepertimu!" Tatapan penuh kebencian itu, seketika membuat tubuhku melemas. "Kamu, Shaka Malik, Seorang pembunuh," lanjut perempuan itu sambil mengacungkan jarinya tepat di depan wajahku.

"Terserah, intinya kita harus pulang." Kuangkat tubuh mungil itu kedalam dekapanku.

"Lepas, iblis! Jangan sentuh aku," ujar Radza merontai.

"Bisa kamu diam?" Kududukan Radza dikursi depan lalu dengan cepat kupasang seltbeat.

"Kenapa kamu membunuhnya, Shaka?" tangisnya pecah, kupandang perempuan yang telah menemaniku selama tujuh tahun itu dengan perasaan iba." Lalu apa arti pengorbanan ku selama berbulan-bulan kalau pada akhirnya dia juga mati?"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel