Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bagian 4 : Masa Lalu Yang Menyakitkan

"Ketika kita saling menaruh hati, tetapi keadaan tidak mendukung. Mengikhlaskan adalah jalan satu-satunya." ~ Shaka

***

Aku menghembuskan nafas kasar, ketika semua perkataanku tidak tergubris seperti biasa. Radzana, memang bukan teman bicara yang baik untuk siapa pun. Apalagi hari ini perempuan itu berubah sedikit aneh, apa dia marah karena terbangun dipelukanku pagi ini?

Memang semalam aku yang membawanya kesini. Entah kenapa melihat dia berpangutan dengan client tuanya, mampu membuat darahku mendidih, padahal biasanya tidak begitu. Mungkin kejadian masa lalu, sedikit menorehkan trauma dalam diriku, bagaimana dengan cerobohnya wanita itu menghadirkan kehidupan di dalam rahimnya.

Jakarta, 2011.

"Huekkk..."

Suara itu semakin terdengar, ketika langkahku mulai memasuki kamar bernuansa kecoklatan milikku dan Radza. "Hey, kamu kenapa?" tanyaku khawatir tetapi tidak ada respon.

Tanpa pikir panjang kuketuk pintu kamar mandi berkali-kali, tetapi hasilnya nihil. Tidak ada jawaban sama sekali. "Radza, buka pintunya, kamu kenapa?!"

"Aku tid... huek..."

"Kamu kenapa, Radza?!" tanyaku tidak sabar. "Jika tidak dibuka, aku dobrak!"

"Iya, sebentar."

Setelah itu, hanya suara air mengalir yang terdengar. "Aku tidak apa." Pintu  putih itu terbuka, menampilkan sosok Radza yang terlihat sangat kacau.

"Berapa gelas wine yang kamu teguk malam ini?" tanyaku to the point.

Radza mendongak menatapku tidak terima. "Tidak ada hubungannya dengan wine!"

"Tidak usah berbohong, Radza. Aku tau kamu gila minum." ejekku.

"Malam ini aku tidak pergi ke club sama sekali, bagaimana mungkin aku bisa minum?"

Aku tertawa sinis, apakah perempuan ini akan membohongi seorang Shaka Malik? Jelas sekali tadi sore dia pergi lebih awal dariku, jika tidak pergi ke club, maka mau kemana lagi perempuan murahan ini?

"Aku mual beberapa hari ini, dan puncaknya tadi sore." Aku mengernyit ketika perempuan itu mulai bercerita. Tumben, ada apa dengan manusia satu ini? Jarang sekali dia mau terbuka denganku . "Aku pergi ke apotik untuk menebus obat, sekalian iseng aku membeli ini."

Disodorkannya benda berbentuk pipih itu ke arahku. Testpack, dua garis merah. "Kamu?!"

Radza mengangguk santai. "Apoteker itu berkata bahwa paling akurat adalah pagi hari, tapi aku terlanjur ingin tau dan mencobanya satu. Hmmm, mungkin besok pagi akan kucoba lagi."

"Bagaimana bisa?! Kenapa kamu ceroboh sekali!" Emosiku meledak, apalagi melihat raut wajah Radza yang terkesan biasa saja.

"Ini sudah malam, ya? Aku mau tidur dulu." Memilih untuk berlalu ke ranjang, dan mengabaikan pertanyaanku, adalah hal yang sangat menyentil egoku. "Radzana!"

Tarikan ditangannya, membuat Radza terhuyung ke arahku. "Kenapa kamu kasar sekali?!"

"Kamu bilang kenapa?! Harusnya aku yang tanya kepadamu, kenapa bisa sampe kebobolan seperti ini?!"

Perempuan itu, berusaha mengatur nafasnya. "Aku tidak tau, Shaka. Jika kamu bertanya padaku, maka aku harus bertanya pada siapa? Dia bahkan tidak tau apapun." Radza mengusap pelan permukaan perutnya yang masih datar.

"Anak siapa ini?!" Kucengkram kuat bahu Radza. "Jawab, bodoh!"

"Aku tidak tau, banyak lelaki yang bersamaku!" Tatapan tajam Radza, persis mengenai manik mataku.

Kuacak rambutku frustasi. "Kenapa tidak bermain aman, Radzana?!"

"Aku selalu bermain aman!" ujarnya tidak terima. "Kamu tau bukan, walau aku wanita murahan, tetapi aku tidak sembarangan dalam bermain, dan kamu juga tau, apa saja persyaratan untuk bisa bermain denganku?!"

Tawa sinisku menderai. "Jika memang apa yang kamu katakan itu benar adanya, kamu tidak akan berada dalam masalah ini!"

"Tanya pada diri kamu sendiri, apa pernah kamu bermain aman denganku?! Jika pernah, berapa kali? Bahkan bisa dihitung dengan jemari." Setelah itu, Radza memilih untuk berbaring terlebih dahulu di ranjang. Meninggalkanku yang diam membeku, guna mencerna semua perkataannya.

"Maksud kamu, itu anak aku?" Ketika otakku sudah selesai menelaah  ucapannya, kuhampiri perempuan itu dengan tergesa. "Aku tidak percaya begitu saja, Radza. Banyak yang melakukannya padamu," elakku.

Radza tersenyum. "Terserah kamu, jika kamu merasa selalu bermain aman denganku, maka tenanglah berarti ini bukan anakmu."

"Aku akan menghubungi temanku, dia pernah menemani pacarnya aborsi. Aku harap dia masih ingat tempatnya."

Radza diam, tidak menanggapi apapun. Tangannya malah aktif mengusap-usap permukaan perutnya yang belum menonjol sama sekali, hal itu malah menumbuhkan rasa khawatir di dalam diriku. "Perutmu sakit?"

Radza membuka matanya lalu menarik sebelah tanganku. "Seperti ini, untuk malam ini saja. Karena mungkin besok dia sudah tidak ada."

Tubuhku meremang, ketika tanganku menyentuh langsung permukaan perut datar Radza, ada rasa aneh yang menyengat jiwaku. "Berbaring Shaka."

Seperti tersihir, aku menuruti perkataannya. "Dia nakal, Selalu membuatku mual, coba marahi dia agar besok pagi tidak berulah lagi."

"Hey, Nak. Jangan nakal ya, agar ibu tidak merasa mual lagi karenamu. Hmm, saya minta maaf, mungkin besok kamu akan tiada, kamu benar-benar datang dikeluarga yang salah."

Perkataan itu meluncur lancar dari mulutku. Bahkan usapan di perutnya tidak kuhentikan, dan tanpa sengaja kulihat senyum Radza yang mengembang. Ada apa dengan perempuan ini?

*

"Pak apa belum selesai mejanya? karena akan dipakai pengunjung lain." Suara itu membuyarkan lamunan ku, kulihat seorang pelayanan sudah berdiri disamping mejaku.

"Oh iya, sudah selesai. Kami akan pindah," ucapku kikuk membuat pelayan itu mengangguk, lalu pamit pergi."Hey, Radza, bangun." Kuusap pelan kepalanya yang berada di atas meja.

"Bangun ya, lanjutkan tidurnya di mobil." Bisikan lembut itu kutujukan untuk istriku. Dengan tergesa perempuan itu langsung membuka kedua bola matanya, dan aku selalu terkekeh setiap kali melihat wajah khas bangun tidur miliknya, begitu menggemaskan. "Kamu pucat sekali, kenapa?"

"Aku cuci muka dulu, kamu tunggu di depan saja." Tanpa menjawab pertanyaanku, perempuan itu bangkit dan berlalu pergi.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel