Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 9: SEANDAINYA BISA BERNYANYI LAGI

Suara musik di klub malam yang kencang membuat semua pengunjung terhanyut di dalamnya. “Lo masih mau berjuang dapetin Dewa?” tanya Susan pada Steffi, ia hanya menemani Steffi yang sedang minum beberapa gelas alkohol.

“Masih, ya ada progress lah sedikit, kayak yang gue ceritain tadi ke lo pada.” Steffi menceritakan kejadian tadi siang pada teman-temannya.

“Hmmm… jangan-jangan bener kalo dia gengsi princess, dia tuh mungkin sebenarnya suka sama lo.” Ucap Fita.

“Cara cari tahunya gimana sih?” tanya Steffi kesal sambil meminum segelas bir lagi.

“Buat dia cemburu?” tanya Susan mulai berpendapat.

“Hmmm… menarik saran lo, kok gue suka ya, tapi emang bisa?”

“Gak ada yang tahu kalau belum dicoba.” Lanjut Susan.

“Cowok kayak gimana yang bisa buat Dewa cemburu?” tanya Steffi mengetukkan jarinya ke meja sambil berpikir kira-kira siapa cowok yang mampu membuat seorang Dewa terusik, dan bisa membuka hati untuk Steffi.

“Yang pasti harus selevel sama Dewa gak sih? Sebanding gitu?” tanya Fita, diskusi ketiga sahabat ini sungguh serius.

“Bener, siapa cowok yang sebanding sama Dewa?” tanya Susan mulai memikirkan wajah dan karakter cowok-cowok yang ada di kampus.

“Bentar deh San, waktu itu lo bilang Dewa punya pengalaman buruk kan sama cowok yang sempet godain gue itu, siapa namanya?”

“Marvin?” tanya Fita,

“Nah, lo emang informan sejati ya…” kekeh Steffi.

“Jangan sama dia deh princess, setau gue dia bad boy.” Ucap Fita.

“Apa aja yang lo tahu tentang dia?” tanya Steffi mengabaikan saran Fita.

“Gue cuman tahu dia Ketua UKM Basket doang.” Jawab Fita.

“Oh ternyata dia lumayan berpengaruh ya di kampus, oke kalo gitu, kita bisa gunain itu untuk buat Dewa cemburu.”

“Maksud lo, Marvin yang ada di sebrang sana?” tanya Susan sambil mengarahkan pandangannya ke gerombolan laki-laki yang baru datang.

“Kok kita gak pernah lihat dia ya?” tanya Fita. Steffi melihat perilaku Marvin yang sedang meminum segelas wine di tangannya sambil menari dengan beberapa wanita, sebetulnya Steffi sudah sering bertemu cowok seperti itu, tentu dia akan tahu bagaimana cara menghadapinya.

“Kita ke sini bukan buat merhatiin orang Fita…” ucap Susan membuat Fita mengangguk seperti baru sadar.

Tatapan Steffi tak lepas dari Marvin, ia mencoba meyakinkan diri, apa mungkin caranya sudah tepat, dengan menarik perhatian Dewa melalui Marvin, atau dia justru telah memilih keputusan yang salah. “Lo beneran mau deketin dia?”

“Gak deketin beneran, cuman buat Dewa nyadar keberadaan gue.”

“Gak ada cowok lain?” tanya Susan, ia memang yang paling dekat dengan Steffi, karena mereka teman masa kecil, walau seringkali terpisah karena Susan harus berpindah-pindah tempat tinggal, mengikuti pekerjaan orang tuanya.

“Gak ada.” Jawaban Steffi malam itu diperkuat ketika matanya bertemu dengan Marvin, segera ia menghindari tatapan nakal laki-laki itu. Ia berharap keputusannya tidak menjerumuskan dirinya kepada sesuatu yang lebih buruk lagi.

*******

Ruang UKM musik sore ini dipenuhi oleh suara-suara merdu dan alunan musik dari berbagai alat musik. Pertemuan pertama setelah pendaftaran anggota, jadwal hari ini adalah tes bakat untuk seluruh anggota baru agar bisa dibagi menjadi tim vokal atau tim musik berdasarkan talenta yang dimiliki. Steffi sekarang ada diambang kebingungan, pasalnya ia jadi setengah hati mengikuti UKM ini, ia tidak bisa bernyanyi lagi, dan ia belum bisa memainkan satupun alat musik. Satu-satunya alasan mengapa ia duduk di dalam ruangan ini adalah Dewa Merapi yang sekarang sedang sibuk melakukan set up pada alat musik. “Kalau kali ini dia sama sekali gak melirik gue, yauda gue gak akan pakai plan B.” Steffi sedang bermonolog, sekarang ia mencoba mencari teman yang ia kenal, nyatanya ia cukup menyesal karena tak ada satupun yang ia kenal, bahkan ia sedang duduk sendirian, tapi itu tak mengurangi rasa percaya dirinya, ia harus tampil mempesona di hadapan Dewa nanti, jadi ia segera mengeluarkan lip cream dari tasnya kemudian memoleskannya dibibir.

“Fans berat lo ternyata dateng juga…” ejek Angga.

“Semua yang punya bakat boleh dateng.”

“Akan ada adegan drama korea apa lagi yang gue akan lihat?” tanya Radit menggoda.

Pembukaan pertemuan pertama tentunya dipimpin oleh Dewa, ia mengucapkan salam kemudian memperkenalkan diri serta seluruh pengurus yang ada, membahas sedikit tentang sejarah UKM musik, bagaimana program-program dan kegiatan yang ada, serta diakhiri dengan sesi tanya jawab. Steffi begitu memperhatikan Dewa, baginya saat ini Dewa seribu kali lebih tampan dan berwibawa, ternyata ia tak begitu menyesali hadir sore ini disini.

“Acara selanjutnya adalah tes bakat, kalian akan dipanggil satu-persatu ke ruangan yang ada disebelah, jika kalian sudah selesai menampilkan bakat, kalian bisa tetap berada di ruangan ya. Untuk urutannya nanti akan dipanggil oleh Aurel selaku wakil, sambil menunggu kalian bisa saling mengakrabkan diri.”

Saat pandangan Dewa tak sengaja bertemu dengan Steffi, gadis itu memberikan kedipan, membuat Dewa menatapnya dingin, dari tadi memang Dewa tak ingin melihat gadis itu, pasalnya ia tak ingin berinteraksi banyak, ia bersyukur sudah beberapa hari ini Steffi tidak mengganggunya, mungkin gadis itu sudah bertobat pikirnya.

Steffi menunggu giliran namanya dipanggil, saat di ruangan, beberapa mata tertuju padanya, banyak yang membicarakan dirinya dengan gaya pakaiannya, riasan wajahnya, atau bahkan rumor tentang dirinya, hal itu sudah biasa bagi Steffi, tak perlu mengklarifikasi apapun, terserah mereka berbuat apa selama masih didalam batas.

“Steffi Seadari.” Ucap Aurel memanggil nama Steffi, jantung gadis itu berdetak sangat kencang, namun wajahnya berusaha tak menunjukan ekspresi yang membuat dirinya akan semakin buruk lagi jika orang-orang menyadarinya.

Langkah ragu-ragu Steffi masuk ke ruangan yang hanya berisikan pengurus dari UKM musik itu membuat Dewa yang tadinya mencatat sesuatu langsung menatap gadis itu, untuk pertama kalinya Dewa melihat Steffi ketakutan ada di mata gadis itu, ia selama ini cukup kagum karena mata Steffi selalu menunjukkan keberanian terutama ketika ingin mendapatkan apa yang dia mau.

“Oke, silakan memperkenalkan diri kamu, kemudian kamu akan memilih bernyanyi atau memainkan musik.” Ucap Aurel kemudian duduk disamping Dewa.

“Nama saya Steffi Seadari dari jurusan Ilmu Komunikasi semester 1. Saya akan memilih main alat musik gitar.” Steffi berharap ada keajaiban dalam ingatannya, ia dulu pernah belajar bermain gitar bersama Kevin dan Aldo, walau tidak terlalu lancar.

Tangan Steffi terulur mengambil gitar kemudian memetik senarnya, baru di awal, tampaknya beberapa pengurus sudah menutup telinga. “Lo beneran bisa main gitar apa gara-gara tegang sih?” tanya Aurel tidak suka.

“Bisa, cuman…”

“Mau coba sekali lagi?” tawar Radit, beruntunglah suasana bisa kembali membaik, tangan Steffi bergetar dan berkeringat, lalu ia mengangguk, dan ketika ia mencoba lagi nyatanya lebih buruk dari sebelumnya.

“Stop…stop…!” seru Aurel.

“Ini unjuk bakat bukan main-main, senior luangin waktu bukan untuk seperti ini… yang lain gimana?” tanya Aurel terlihat tidak senang, terutama saat menyadari Dewa sepertinya acuh tak acuh.

“Wa?” tanya Aurel setelah yang lain sudah setuju dengan keputusannya.

“Bisa nyanyi?” tanya Dewa kepada Steffi yang hanya bisa menatap kosong.

“Gak terlalu bisa.” Jawaban macam apa yang Steffi ucapkan barusan, ia harusnya bilang tidak bisa kemudian mengundurkan diri tapi kenapa ia justru menjawab tidak terlalu bisa?

“Coba nyanyi beberapa bait lagu.” Pinta Dewa, lama terdiam, Steffi menimbang banyak hal, terutama tentang traumanya.

“Pendengaran lo gak bermasalah kan?” tanya Aurel, kemudian Steffi menghela nafas kemudian menutup matanya, ia berharap kejadian buruk yang ada di masa lalu itu bisa tiba-tiba menghilang selamanya dari hidupnya.

‘Don't wanna feel another touch

Don't wanna start another fire

Don't wanna know another kiss

No other name fallin' off my lips

Don't wanna give my heart away

To another stranger’

Baru sampai situ Steffi bernyanyi tiba-tiba suaranya tercekat, kemudian ia terdiam, bayangan buruk itu kembali datang, ia kemudian membuka matanya, seluruh pengurus yang ada di ruangan itu menatapnya bingung.

“Maaf saya tidak bisa melanjutkannya.” Ucap Steffi kemudian bersiap berdiri.

“Kenapa?” tanya Aurel.

“Ini permasalahan pribadi.” Di detik itu juga Dewa menatap gadis itu,

“Kamu yakin dengan sikap seperti ini bisa diterima di UKM musik ini?” tanya Aurel, Steffi terdiam, pandangannya justru menuju ke Dewa yang sepertinya tidak peduli.

“Yang berikutnya aja.” Ucap Dewa memecah keheningan.

“Terimakasih, saya permisi.” Steffi segera keluar dari ruangan itu, rasanya begitu pengap ada di dalam sana.

Setelah keluar dari ruangan tersebut, ia yakin bahwa tidak bisa mendekati Dewa dengan masuk ke UKM musik, artinya ia harus menjalankan rencana cadangannya. Bayangan buruk itu selalu menghantuinya, ia benci harus diperhadapkan seperti tadi, dan ia tidak berdaya.

*******

“Marvin…” panggil Steffi kepada Marvin yang sedang berjalan di koridor sembari memegang bola basket di tangannya.

“Elo manggil gue?”

“Nama Marvin sih emang pasaran ya, tapi satu-satunya orang yang ada di dekat sini sih lo ya.” Ucap Steffi jengkel.

“Wah…wah ada apa nih yang selama ini nolak gue, tiba-tiba datengin gue gini.”

“Tawaran nganterin gue pulang waktu itu masih berlaku kan?” tanya Steffi, membuat Marvin menautkan kedua alisnya dengan wajah bingung.

“Lo berubah pikiran?”

“Lo mau apa enggak? Kalo engga yauda gue pergi.” Steffi baru saja akan melangkah pergi, ia tahu pasti Marvin akan menahannya, dan betul saja, tangannya kini dicekal.

“Mau dong, yauda yuk langsung aja ke mobil.” Marvin langsung saja meraih tangan Steffi, namun ditepis oleh gadis itu.

“Jangan pegang-pegang.” Steffi memberikan ultimatumnya, kemudian ia berjalan lebih dulu. Marvin yang mengekorinya terkekeh sambil memandangi tubuh Steffi dari belakang.

Mobil Marvin ternyata terparkir tak begitu jauh dari motor Dewa. “Marvin mobil lo yang mana?” Steffi menaikan volume suaranya, ia sengaja agar Dewa bisa mendengarnya.

“Yang hitam itu…” Marvin kemudian merangkul Steffi, mata Dewa kini tertuju pada mereka.

Sebetulnya Steffi risih dan jengkel, tapi demi memuluskan rencananya, ia akan bertahan, kini ia melepaskan rangkulan Marvin, beralih pada tangannya yang kini bergandengan dengan laki-laki itu.

“Lo jadi kan nganterin gue pulang? Lo gak mungkin tega kan lihat cewek cantik dan baik hati pulang sendirian?”

“Iya dong pasti, yuk.” Marvin langsung melangkahkan kaki menuju mobilnya, kemudian Steffi memperhatikan Dewa, ternyata laki-laki itu betul-betul acuh pada dirinya, justru ia sudah bersiap meninggalkan lapangan.

Dengan suasana hati kesal, Steffi masuk ke mobil Marvin, dan mobil itu segera melaju. “Gue mau bernegosiasi sama lo.”

“Negosiasi? Untuk apa? Bikin Dewa cemburu?” tanya Marvin.

“Heh kok lo tahu?”

“Kebaca dari tingkah lo tadi.”

“Oke kalo lo udah tahu, jadi lebih mudah. Nah gue mau kita pura-pura deket buat Dewa cemburu.”

“Lo suka sama dia?”

“Iya.”

“Dewa…Dewa… Selalu aja jadi pujaan para wanita.” Marvin terkekeh.

“Lo mau gak?” Steffi malas berbicara terlalu panjang.

“Lo gak akan bisa dapetin Dewa, dia itu gak suka cewek.”

“Sembarangan mulut lo.” Balas Steffi.

“Gue sama dia itu satu sekolah pas SMA, gak pernah sekalipun gue lihat dia punya pacar.”

“Kalo gitu gue akan jadi pacar pertamanya.” Marvin tertawa mendengar Steffi yang sangat percaya diri.

“Oke…oke tadi lo sebut kita sedang negosiasi, namanya negosiasi berarti ada dua pihak dong yang diuntungkan dong, kalau lo diuntungkan karena bisa buat Dewa cemburu, keuntungan buat gue apa?”

“Ya lo bisa deket sama gue? Bukannya itu yang lo mau?” tanya Steffi, Marvin semakin dibuat tergelak dengan gadis ini, sikapnya yang sombong dan angkuh membuat Marvin ingin menaklukannya.

“Oke, kalo gitu, gue berarti kita bisa jalan bareng?” Tanya Marvin membuat Steffi berpikir.

“Kita akan saling bantu kan?” tanya Marvin lagi.

“Oke.” Jawab Steffi singkat, jika bukan karena ingin membuat Dewa cemburu, ia tidak akan mau mendekati cowok dengan tatapan aneh di sampingnya kini.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel