Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 10: MERASA HARUS BERHENTI

Sudah dua minggu berlalu, Steffi dan Marvin berpura-pura dekat, bahkan mereka seringkali menunjukan keromantisan khususnya hanya dihadapan Dewa, tapi laki-laki itu betul-betul menunjukan sikap tidak peduli, ia terlihat santai dan biasa saja.

“Stef, gue rasa usaha lo sia-sia deh.” Bisik Susan saat ini, pasalnya bukannya Dewa cemburu dan mulai memperhatikan Steffi, justru ia dan Dewa semakin menjauh, intensitas mereka bertemu di kampus juga jadi sedikit.

“Tunggu 1 minggu lagi.” Jawab Steffi gusar, ia tahu pasalnya sebentar lagi acara perayaan kenaikan jabatan Citra, dan sampai sekarang ia belum bisa membuat Dewa membantunya.

“Princess, daripada lo mikirin Dewa, mending mikirin penelitian lo.” Ucapan itu membuat Steffi menghela nafas panjang dan memijat kepalanya, ia tidak pernah beruntung dalam urusan pendidikan maupun percintaan sepertinya, kemudian Susan hanya bisa menyenggol lengan Lulu agar ia tak berucap hal yang membuat semuanya semakin rumit.

“Kayaknya gue harus bisa tahan malu disaat harga diri gue jatuh nanti.” Begitu lirih Steffi.

“Kalo gak lo bawa si Marvin aja sih Stef.” Saran Susan akhirnya.

“Gak…gak mau! Ogah gue punya cowok kayak dia, setelah pura-pura dekat selama 2 minggu, dia tuh gak bisa gue percaya, apalagi mau jadi cowok pura-pura gue, yang ada Citra sama Nenek gue bisa langsung tahu kalau semua kriteria yang gue sebutin gak ada di dia.” Steffi langsung menggelengkan kepala.

“Terus mau gimana lagi?”

“Ah gue gak tahu…” memikirkan kejadian semalam saja sudah membuat kepalanya berdenyut. Papa dan mamanya melakukan video call, tapi semua perhatian dan pertanyaan hanya tertuju pada Elsa, bahkan ia hanya ditanya apakah sudah masuk kuliah, ia ingat hanya satu pertanyaan untuknya. Sungguh ia sekarang merasa bahwa dia benar-benar bukan anak dari keluarga Harmanto, apa mungkin ia anak tiri?

“Itu bukannya Kak Dewa ya?” tanya Fita yang mampu membuat Steffi langsung menegakkan kepalanya.

“Tapi kok sama cewek lain? Emang pernah liat dia pergi sama cewek ya?” tanya Fita lagi. Mata Steffi menjadi lebih tajam melihat Dewa dan Aurel kini duduk di kantin dan saling berhadapan, katanya Dewa tidak dekat dengan perempuan manapun, bukti yang ada di depan matanya kini mematahkan segalanya. “Sama cewek lain aja bisa baik, cuman sama gue doang kayaknya dia alergi ya.” Steffi memukul meja dengan telapak tangannya. Lulu dan Fita terlonjak kaget sementara Susan sudah mengelus lengan Steffi.

Marvin yang baru saja tiba di kantin langsung menjadi sasaran empuk bagi Steffi untuk kembali mencoba membakar api cemburu bagi Dewa. “Marvin!” seru Steffi sambil melangkah ke arah laki-laki itu, Susan sepertinya sudah tahu niat Steffi.

“Hai Stef.” Sapa Marvin kemudian merangkul Steffi, kembali gadis itu harus menahan rasa risih.

“Hai, kamu mau makan ya? Kita makan bareng aja yuk, kamu pasti laper ya abis kelas.” Steffi bergelayut manja di dada Marvin, kali ini mereka begitu dekat dengan jarak Dewa dan Aurel, dan Steffi sengaja meninggikan volume suaranya.

“Boleh, yauda kita pesen yuk.”

“Kamu tunggu disitu aja, biar aku yang pesenin, kamu pasti menghargai makanan yang aku pesenin kan ya? Kamu akan makan kalo aku yang kasih kan?”

“Pasti dong,”

“Nah itu baru cowok yang baik, kamu tunggu disana ya, jangan lirik-lirik cewek lain.” Sinis Steffi, gadis itu sudah tidak peduli dengan tatapan orang-orang, bahkan Aurel pun kini menatapnya tidak suka.

Dengan gaya sombong, Steffi memesan dua ayam goreng dengan nasi, ternyata kantin memang cukup ramai hari itu. Sehingga Steffi sangat kesulitan membawa keduanya, ada gerombolan laki-laki yang menyenggolnya dan berakibat Steffi tidak seimbang, dan justru menyenggol gelas yang ada di dekat Dewa, gelas itu jatuh, beruntungnya Steffi bisa menyelamatkan dua piring ayam goreng itu. Steffi segera menaruh dua piring ayam goreng itu dan menatap Dewa, laki-laki itu bersikap acuh bahkan tidak melihat ke arahnya.

“Sorry, gue gak sengaja.” Ucap Steffi.

“Lo sih banyak tingkah.” Balas Aurel.

Tangan Steffi terulur membersihkan pecahan beling dari gelas tersebut. “Aw…” tangannya terluka, ia sekali lagi menatap Dewa, namun laki-laki itu justru bersiap berdiri. “Rapatnya di tempat lain aja.” Ucap Dewa, Aurel menatapnya dengan sangat tajam dan tidak suka.

“Stef?” Marvin mendekat.

“Princess!” seru Fita dan Lulu bersamaan.

“Gue gapapa,” lirih Steffi, ternyata ini adalah akhirnya, ini adalah kesimpulan perjuangan Steffi, dimana betul bahwa walaupun ia menjauhi Dewa dan bersikap dingin pada laki-laki itu, dan ia mencoba mendekati Marvin untuk membuat Dewa cemburu, nyatanya ia tetap gagal mengambil hati Dewa, bahkan di detik ia terluka dan Dewa mengabaikannya, ia sadar kalau ia seharusnya memang menyerah sejak awal, ia tidak perlu melangkah sejauh ini.

“Lo ke unit kesehatan aja, gue anterin.” Marvin menawarkan bantuan.

“Gak usah, gue sendiri aja.”

“Lo temenin Steffi, biar ini gue yang urus.” Ucap Susan, yang langsung disetujui oleh Fita dan Lulu

“Gue ke tempat beli es tehnya dulu ya, mau ganti gelasnya.” Steffi segera melangkah dengan ibu jari yang mengeluarkan darah.

Dengan tangan kirinya, Steffi mengeluarkan uang untuk mengganti gelas yang pecah dan menjelaskan kejadian tadi serta meminta maaf pada penjual namun uangnya ditolak. “Maaf kak, tadi udah dibayar sama mas yang pakai baju hijau itu, baru aja.” Steffi tersenyum, padahal itu kesalahannya, tapi Dewa masih berbaik hati untuk bertanggung jawab, apakah Steffi harus menyerah sekarang? Di saat ia mulai merasakan perasaan yang berbeda dari sekedar obsesi pada laki-laki yang kini hanya terlihat punggung tegapnya saja dari belakang.

*******

Sedari tadi Dewa mencoba fokus pada soal yang terpampang di depan laptopnya, namun pikirannya justru memutar kejadian tadi, dimana ia kembali menahan diri untuk tidak memberikan bantuan pada Steffi. Bukannya, ia tidak mau, ia hanya tidak ingin dirinya kembali diusik oleh gadis itu, sudah beruntung selama 2 minggu ini gadis itu tidak melakukan tindakan aneh-aneh yang mengganggu ketentraman dirinya, namun selama 2 minggu itu juga, Dewa merasakan ada yang berbeda dengan hari-harinya.

“Masih mikirin kejadian di kantin?” tanya Angga saat duduk di sampingnya.

“Enggak.”

“Emang beneran Steffi pacaran sama Marvin? Gawat nih.” Radit yang ikut duduk di samping Dewa, laki-laki itu masih terdiam sambil mencoba fokus membaca soal tanpa menghiraukan kedua sahabatnya.

“Gawat gimana?” tanya Angga.

“Lo tahu sendiri Marvin itu siapa kan, udah mesum, terus pakai narkoba, tukang palakin orang, kasihan banget kalo ada yang mau.” Radit sedikit merendahkan volume suaranya.

“Iya juga sih, tapi yang gue bingung kok Steffi bisa berubah dalam semalam sih, tiba-tiba dari ngejar-ngejar Dewa, jadi deket sama Marvin, aneh gak?” tanya Angga.

“Ya gak aneh sih menurut gue, orang Dewa-nya aja kan udah nolak, mungkin dia capek.” Jawab Radit.

“Lo berdua kalau masih ngomongin mereka, gue mending ke perpustakaan deh.”

“Eh… baper banget lo kayak cewek lagi haid.” Kekeh Radit menahan Dewa.

“Wa, ini pertanyaan terakhir deh tentang Steffi, lo beneran gak ada rasa gimana gitu ke dia? Apalagi sekarang dia sama Marvin?” tanya Radit, sejujurnya ia memang penasaran.

“Gak.”

“Yakin?”

“Gue gak percaya cinta, apalagi cintanya sama cewek itu.” Jawab Dewa, kemudian Radit dan Angga hanya mengangguk.

“Eh udah bahas Steffi-nya, nih gue punya kabar gembira. Inget Arnold kan? Anggota geng kita dulu yang punya klub malam, dia undang kita ke birthday party di klub dia, lo pada ikut gak?”

“Gak, kan kita udah janji gak bakal ke tempat kayak gitu.” Ucap Dewa.

“Gak harus minum Wa, cuman dateng aja, lagian kan dia juga deket sama kita dulu, menghargai undangan dia aja, dia berharap banget mantan ketua gengnya ini dateng.” Senggol Angga.

“Iya Wa, lagian gue juga kangen ketemu temen-temen SMA kita, pasti pada dateng.” Ucap Radit.

Terlihat berpikir sejenak kemudian Dewa menyetujuinya dengan mengangguk. “Kapan?” tanya Dewa.

“Sabtu ini, kita langsung ketemuan disana ya.” Ucap Angga.

“Oke.” Balas Dewa.

“Yauda gue mau ke ruang musik bentar, kemarin keyboard takut belum di balikin anak-anak.” Angga pamit kepada kedua sahabatnya, kemudian ia melangkah keluar kelas.

*******

Steffi dan Susan baru saja akan menuju ke ruang penyimpanan peralatan seluruh UKM, namun Marvin menahan langkah mereka. “Stef, tangan lo udah sembuh.”

“Idih jadi sok perhatian, udah kayak cowok gue beneran.” Sinis Steffi, selanjutnya Marvin terkekeh, ia justru semakin tertantang dengan kesombongan Steffi.

“Ya kan gue khawatir, oh iya ada yang mau gue omongin, berdua.” Ia melirik ke arah Susan.

“Penting gak? Kalo gak nanti aja.” Steffi sebetulnya sudah malas meladeni laki-laki ini, terlebih Steffi sudah memutuskan untuk menyerah mendapatkan Dewa.

“Justru penting banget.” Jawab Marvin, Steffi melirik laki-laki itu dengan tatapan sinis.

“San, lo duluan ya, nanti gue nyusul.”

“Gak juga gapapa, tangan lo masih sakit, nanti lo langsung balik ke ruang latihan aja.”

“Nanti gue nyusulin lo, tungguin ya.”

“Oke gue duluan.” Susan sama sekali tidak respect pada Marvin, ia sudah curiga dari tatapan laki-laki itu pada sahabatnya.

Setelah Susan pergi, Marvin mendekat. “Lo gak lupa kan sama perjanjian kita, sekarang gue mau minta imbalan nya.”

“Mau berapa?” tanya Steffi membuat Marvin terkekeh.

“Gue gak perlu uang lo, cukup temenin gue ke ulang tahun temen SMA gue aja, lo bilang aja jadi gebetan gue.”

“Gak mau, emang gue gak tahu lingkungan lo.” Steffi sudah hafal modus seperti ini.

“Percaya deh sama gue, lo bakal aman, lagipula banyak ceweknya kok, dan gue gak bisa macam-macam kan kalau rame.” Ucap Marvin berusaha meyakinkan Steffi, gadis itu terlihat menimbang.

“Dimana? Kalau jauh gue gak bisa, bukan anak malem.” Ucap Steffi, kembali membuat Marvin tertawa.

“Di klub yang waktu itu, kita kan sempet pandang-pandangan, kalo gak salah itu sih jam 11 malam ya.” Marvin menepis telak pernyataan Steffi tadi, gadis itu jadi malu.

“Yauda…yauda…”

“Gue jemput ya, dandan yang cantik, sayang…” Marvin baru saja menyentuh pipi Steffi yang langsung ditepis gadis itu dengan kasar kemudian pergi.

*******

Susah payah Susan meyakinkan satpam yang ada di meja penjaga untuk barang-barang UKM, ia memang belum punya kartu akses pengambilan barang, namun ia sudah menunjukan bukti bahwa ketua UKM Dance sudah meminta bantuannya, karena seluruh pengurus masih dalam rapat rutin bersama pembina, sehingga para junior diminta mempersiapkan ruang latihan, Susan dan Steffi diminta untuk mengambil speaker.

“Pak, saya tuh gak bohong, memang saya belum dapat kartu akses karena masih anggota baru, tapi saya bukan mau mencuri atau menyalahgunakan barang-barang di dalam kok.”

“Maaf, saya tetap tidak bisa memberikan izin, karena ini diperiksa dengan menggunakan sistem, jadi tidak bisa kalau tanpa kartu akses, saya sekali lagi minta maaf, lebih baik mba minta kartu aksesnya terlebih dahulu, baru kembali lagi.”

“Pak, kalau bisa juga saya dari tadi udah kasih kartu aksesnya, masalahnya pengurus masih rapat, tadi kan bapak liat sendiri chat nya.” Susan sudah jengkel, beradu argumen selama 10 menit tanpa hasil.

“Permisi pak, dia pakai kartu akses saya aja, saya kenal kok, memang dia anak UKM Dance.” Suara bariton seseorang memecah perdebatan tersebut.

“Mas Angga? Jadi benar mba ini dari UKM Dance?”

“Udah dibilangin dari tadi juga.” Susan tampak menggerutu.

“Iya pak, sekalian sama saya aja nanti masuknya, saya mau ngecek keyboard udah balik atau belum.”

“Ya sudah kalau begitu, nanti diisi daftar peminjamannya di dalam menggunakan akses kartu ya,” ucap Pak Satpam pada Susan, walau sebetulnya Susan tidak mengerti tapi ia mengangguk saja.

Setelah Angga meletakkan kartu aksesnya di mesin yang disediakan, pintu terbuka, ia dan Susan masuk bersamaan.

“Makasih ya.” Ucap Susan.

“Sama-sama, lain kali jangan banyak berdebat sama Pak Satpam ini, dia taat peraturan banget.” Angga kemudian terkekeh, untuk pertama kalinya Susan merasakan jantungnya kembali berdebar, sudah lama sekali semenjak mantan pacarnya yang melakukan pengkhianatan itu dan Susan tidak merasakan berdebar dengan lawan jenis lagi, terlebih selama ini ia homeschooling.

“Iya gak akan lagi kalau gak terpaksa.” Ucap Susan, kemudian Angga mengangguk.

“Lo mau ambil apa?”

“Speaker.” Jawab Susan masuk ke ruang penyimpanan milik UKM Dance, menguncir rambutnya kemudian berusaha mengangkat speaker tersebut, setelahnya ia keluar, beruntunglah ukuran speaker-ya tidak terlalu besar.

“Butuh bantuan?” tanya Angga.

“Gak usah kak, makasih ya sekali lagi. Oh iya itu cara pengisian peminjamannya gimana?”

“Disini, lo tinggal isi aja formulir yang tersedia di tablet ini, tapi harus pake akses kartu, sementara pake punya gue dulu aja ya, nanti balikinnya bisa pake akses kartu pengurus UKM Dance.”

“Oh gitu, gue harus makasih lagi nih.” Susan terkekeh, Angga ikut tersenyum.

“Gue ajarin supaya besok-besok kalo lo punya kartu akses, udah bisa isinya.” Angga mulai menekan huruf-huruf pada tablet itu, Susan memperhatikannya dengan seksama.

“Nah udah deh, yauda yuk keluar. Tapi, lo beneran gak butuh bantuan?” tanya Angga yang melihat speaker itu cukup berat.

“Gak usah kak, makasih, masih bisa kok, ini enteng.”

“Saking entengnya sampe keringetan gitu ya?” wajah Susan memerah dengan pertanyaan seperti itu. Sambil mereka berjalan keluar, muncullah Steffi, Fita, dan Lulu. “San sorry, nih baru dapet kartunya, eh tapi lo kok bisa masuk?” tanya Steffi, kemudian ketiga sahabatnya itu melirik ke arah laki-laki di samping Susan.

“Oh ada bala bantuan.” Goda Steffi, membuat Fita dan Lulu juga terkekeh.

“Berisik lo, buruan nih bantuin bawa, berat tahu, tangan gue udah mau copot.” Ketus Susan, seketika membuat Angga tertawa, baru saja gadis itu bilang bahwa speaker-nya tidak berat.

Susan yang sepertinya sadar dengan ucapannya langsung saja menjadi salah tingkah. “Makasih kak sekali lagi, duluan.”

“Makasih pak.” Ucap Susan kepada Pak Satpam tersebut, lalu setelahnya mereka berempat membawa speaker itu bersama.

Angga menatap kepergian gadis itu, entah mengapa ia merasa senang ketika membantu Susan, perasaan ini sudah lama tidak ia rasakan semenjak kepergian kekasihnya dulu secara tiba-tiba, yang membuatnya trauma dalam percintaan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel