Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 8: MERASA PUTUS ASA

Dengan muka penuh dengan masalah Steffi datang ke kampus, ia bahkan begadang semalaman meratapi semua masalah yang sepertinya tidak pernah bosan mampir ke dalam hidupnya. Sepanjang malam ia membaca-baca tentang penelitian yang harus ia kerjakan, nyatanya nihil, ia tidak mendapatkan apapun, bahkan tidak tahu langkah apa yang mau diambil.

“Stef, lo kenapa? Kayak mayat hidup.” Ucap Susan melihat sahabatnya masuk ke dalam kelas.

“Gue emang mau jadi mayat aja kayaknya, biar gak punya masalah.”

“Gue kayaknya mau pindah jurusan psikologi aja deh.”

“Kenapa?” tanya Steffi bingung saat dia sudah duduk di kursinya.

“Biar bisa ngobatin lo, kan lo sakit.”

“Sakit jiwa?” tanya Steffi terkekeh,

“Iya.” Jawab Susan ikut tertawa kecil. Sepertinya memang Steffi akan segera mendapat diagnosa jika jiwanya sakit, ia merasa bahkan sudah sakit jiwa sejak masih kecil. Masa kecilnya tak pernah baik, semuanya dilewati dengan susah payah oleh dirinya sendiri.

“Eh si Lulu sama Fita mana?” tanya Steffi

“Belum dateng katanya sih bentar lagi nyampe kelas.” Steffi mengangguk mendengar ucapan Susan.

“San, bangunin gue kalau dosennya udah masuk ya.”

“Katanya hari ini akan ada dosen pengganti sih. Kan Miss Maya ada dinas keluar kampus.”

“Oh syukurlah, semoga dosen pengganti itu telat, amin…amin paling serius. Gue ngantuk, belum tidur semalaman.”

“Pantes muka lo kusut, yauda tidur sana.” Mendengar ucapan Susan membuat Steffi tenang, perlahan matanya terpejam, dan siap memasuki alam mimpi yang mungkin lebih indah.

‘Steffi, kamu ini sudah berulang kali diperingatkan, jangan ajak adik kamu lari-larian. Nanti kalau dia sakit bagaimana?’ Steffi hanya bisa menangis dan berulang kali berbicara dia kesakitan akibat dipukul.

‘Pa, bukan salah Kak Steffi, tadi Elsa kok yang duluan iseng. Makanya jadi main kejar-kejaran.’

‘Udah Elsa masuk ya, mandi abis itu kita makan sup ayam gimana?’ tanya mama.

‘Enggak! Elsa mau disini nemenin Kak Steffi, pasti Papa mau pukul Kak Stef lagi.’

‘Elsa masuk ya, istirahat.’ Dengan paksaan mama, Elsa pun masuk.

‘Kamu, Papa hukum bersihkan halaman, sebelum selesai, tidak boleh masuk ke rumah!’

Itu adalah salah satu kejadian yang paling membekas dihati Steffi, bagaimana Elsa selalu menjadi yang spesial di mata papa dan mamanya. Banyak lagi kejadian yang memilukan hatinya, dan membuat dirinya trauma jika dia harus mengalah lagi dan lagi.

‘Kenapa Elsa bisa sampai sesak dan pingsan di sekolah? Kamu tidak bisa menjaga adikmu dengan baik? Tidak bisa jadi kakak yang baik?’

‘Bukan Pa, tadi Elsa memang di ganggu sama anak-anak di sekolah, setelah Steffi tahu, langsung Steffi lawan.’

‘Makanya kamu berbeda dengan Elsa, untuk apa melawan? Jadi masalahnya panjang, kamu sebaiknya lapor guru, lihat Elsa jadi sesak gara-gara mencari bantuan untuk kamu! Jadilah pintar bukan perempuan yang suka membangkang dan bertengkar, memalukan!

Bagi Steffi melawan adalah cara tercepat untuk melindungi adiknya, dan mengapa semua orang tidak pernah memikirkannya, hanya ada Elsa dan Elsa di keluarga ini, sampai Steffi pernah berpikir ia bukanlah anak kandung kedua orang tuanya.

‘Kak, Elsa mau yang itu.’

‘Gak boleh, itu kan punya kakak, tuh kamu udah punya.’

‘Ih gak mau, bagi!’ Elsa merebut mainan milik Steffi.

‘Elsa! Punya kakak!’ terjadi pertengkaran diantara keduanya.

‘Steffi!’ mamanya segera datang dan merebut mainan itu. “Ini sekarang punya Elsa ya, kamu boleh main di ruang tamu.’ Setelah Elsa pergi sambil menghapus air matanya, mamanya menatap Steffi tajam.

‘Apa susahnya kamu ngalah sebagai kakak? Kamu tahu kan adikmu asma, dia gak boleh capek, gak boleh sering menangis sampai sesak, kamu tahu kan?’ Steffi hanya bisa menangis mendengar penuturan itu, ia tahu kalau adiknya sakit, ia juga tahu kalau ia harus mengalah, tapi apakah ia tidak boleh sedikit saja merasakan kasih sayang kedua orang tuanya, sedikit saja merasa bahagia untuk sesaat.

Sekarang Steffi hanya bisa memeluk dirinya sendiri, dan akan terus begitu, ia tidak punya siapa-siapa selain dirinya sendiri.

Susan bingung melihat Steffi yang terus terisak, apakah mungkin sahabatnya bermimpi buruk? Ia mencoba membangunkannya tapi Steffi sepertinya masih enggan. Mata Susan terbelalak saat melihat siapa dosen pengganti yang ada di hadapannya sekarang.

“Selamat siang semuanya, saya Dewa Merapi, asisten dosen yang akan menggantikan Miss Maya sampai beliau kembali dari tugas dinas mengajar. Saya harap kerja samanya dengan baik, kita mulai dari materi ke – 2 Pengantar Manajemen.” Mata Dewa memperhatikan setiap mahasiswa di kelasnya, dan matanya tertuju pada seseorang yang sedang tertidur diatas meja.

“Stef! Gawat! Lo mesti bangun sekarang.” bisik Susan mengguncangkan bahu Steffi.

“San? Gimana princess udah bangun?” tanya Fita, Susan menggeleng pasrah sementara langkah kaki Dewa semakin mendekat.

“Saya paling tidak suka jika di kelas saya ada mahasiswa yang tidur, apalagi ini masih pagi sekali.” Ucap Dewa, namun Dewa mendengar bahwa ada isakan dari gadis yang sedang tertidur itu, perlahan ia menyentuh Pundak Steffi.

“Silakan kamu keluar kalau ingin tidur.” Ucap Dewa, Steffi masih terisak.

“Siapa nama dia?” tanya Dewa pada Susan.

“Steffi.” Jawab Susan melihat wajah Dewa dengan rahang tegas.

“Steffi!” Dewa memukul meja dengan telapak tangannya, kemudian di detik berikutnya Steffi terbangun dan matanya memerah, wajahnya tak karuan, dan ada banyak bekas air mata, ia menatap Dewa kemudian beralih ke seluruh kelas yang sedang menatapnya.

“Maaf, permisi, saya izin ke toilet.” Ucap Steffi gugup kemudian melangkahkan kaki.

“Sekaligus kamu tidak perlu kembali lagi, setelah selesai saya mengajar baru kamu bisa masuk.” Ucap Dewa ketus, Steffi tak peduli, ia segera berlari.

*******

Bunyi pena yang dimainkan dengan jari memenuhi ruangan Dewa saat ini, pikirannya dipenuhi dengan kejadian tadi pagi. Lagi-lagi Steffi, gadis itu selalu saja mengganggu kehidupannya dengan semua kebetulan yang terjadi, sekarang Steffi berhasil membuat Dewa tidak tenang karena menyesali perbuatannya yang pasti tidak mengenakan bagi Steffi. “Tapi kan dia tidur di kelas? Harusnya emang dikasih hukuman.” Dewa bertanya lebih kepada dirinya sendiri.

“Gue harus pastiin keadaannya.” Dewa segera melangkahkan kaki, walau pikirannya campur aduk karena memikirkan apakah tindakannya sekarang benar.

Mata Dewa tertuju pada Steffi dan gengnya yang sedang berdiri di booth musik, ia melihat dengan jelas Steffi sedang mendaftarkan dirinya. Dewa berjalan ke arah booth itu dan melihat ternyata Steffi masih ragu, tangannya masih memegang pena namun belum menuliskan namanya. “Mau daftar di UKM musik?” tanya Dewa yang membuat Steffi terkejut sehingga menjatuhkan penanya.

“Kayak setan aja ngagetin.” Sinis Steffi, membuat Dewa menatapnya dingin.

“Emang kalau gue mau daftar kenapa? Gak boleh?” tanya Steffi menatap Dewa tajam.

“Kalo punya bakat boleh aja asal gak nyusahin.”

“Mulut lo abis makan cabe rawit berapa kilo? Pedes banget tuh mulut!” ketus Steffi, Angga dan Radit hanya bisa menggelengkan kepala.

“Booth musiknya udah tutup, kalau lo mau daftar buruan, atau gak silakan ikut di tahun depan.” Dewa mengambil kertas pendaftaran dan bergegas melangkah pergi.

“Apaan sih, gue mau daftar, sini!” Steffi segera mengambil kertas itu dan segera menuliskan data dirinya.

“Stef, lo serius mau nyanyi lagi?” tanya Susan.

“Gue kan udah bilang, bisa belajar alat musik.” Bisik Steffi.

“Oke selamat bergabung di UKM musik kalau begitu.” Dewa menjulurkan tangannya kemudian disambut dengan Steffi.

“Kalau gitu anggotanya boleh ngobrol sama ketuanya kan? Untuk menyampaikan aspirasi.” Steffi segera menarik tangan Dewa menjauh dari teman-temannya.

“Lo kan belum resmi? Masih ada MaKrab (Malam Keakraban)!” ucap Radit mengingatkan.

“Geng, lo semua duluan aja ke kelas! Gue ada urusan negara.” Teriak Steffi karena ia dan Dewa sudah melangkah cukup jauh.

Setelah mereka sudah ada di tempat yang cukup sepi barulah Steffi melepaskan genggaman tangannya.

“Berat juga ya nyeret lo!” ucap Steffi membuat Dewa sudah menatapnya dengan tatapan ingin menerkam.

“Kalau alasan lo gak begitu penting untuk nyeret gue ke sini, gue akan pastikan lo menyesal.”

“Ih takut ih…” Steffi berpura-pura takut mendengar ucapan Dewa, sedangkan laki-laki dihadapannya sudah mengeraskan rahang.

“Jadi gue mau bernegosiasi nih.” Ucap Steffi membuat Dewa mengerutkan dahi.

“Gue mau minta bantuan sama lo.” Dewa masih mempersilakan Steffi untuk berbicara.

“Bulan depan sepupu gue ngadain pesta kenaikan jabatan dia, terus dia undang gue…”

“Terus gue harus bantu jadi EO (Event Organizer)?” tanya Dewa.

“Bukan…bukan…” Steffi terlihat menimbang, apakah tepat jika memohon bantuan Dewa, meskipun sepertinya Steffi tahu jawaban Dewa.

“Terus apa? Gue gak punya waktu banyak nih, mesti ngajar.”

“Lo pura-pura jadi pacar gue di pesta itu.”

“Gak mau.” Jawab Dewa langsung di detik berikutnya, bahkan laki-laki itu tidak terlihat berpikir.

“Ya kok lo langsung nolak sih, mikir dulu atau pertimbangin dulu, supaya gue kesannya gak kecewa banget.”

“Udah gue mau cabut.”

“Bantuin gue kali ini dong, gue udah terlanjur bilang pacar gue itu semua kualifikasinya ada di lo.”

“Ya kenapa lo ngomong gitu? Lo bayar aja cowok lain untuk jadi pacar bohongan lo.”

“Gak bisa.”

“Kenapa?”

“Gue udah bilang kalau pacar gue itu tampan, pintar, bahkan ketua organisasi kampus, dan pastinya dia seorang asisten dosen. Pastinya itu lo.” Jawab Steffi sambil mengerlingkan mata.

“Kenapa lo sebutin ciri-ciri gue?”

“Karena yang ada dipikiran gue waktu itu yang cuman lo.”

“Kenapa lo mikirin gue?”

“Udah ah kenapa jadi tanya jawab gini sih kayak kuis, intinya lo mau atau enggak?”

“Enggak!”

“Yakin?” Steffi kemudian menggenggam lengan Dewa sambil tersenyum manis ke arah laki-laki itu tapi Dewa justru melepaskan tangan Steffi dan melangkah pergi.

“Dewa Merapi, tolong bantuin gue!” seru Steffi tapi tak membuat Dewa menghentikan langkahnya, ia justru semakin cepat.

“Namanya sih Dewa Merapi, tapi lebih cocok Dewa Kematian!” teriak Steffi setelah itu kemudian dia menumpahkan kekesalan dengan memukul-mukul tembok dan menendangnya, saat ia melihat ponselnya, ia terkejut ada pesan dari Susan.

‘Cepet ke kelas, ada KUIS.’

“Shit!” umpat Steffi.

*******

Semua orang menatap Steffi bingung, pasalnya gadis itu sedang berada di dalam mobil sambil membenturkan kepalanya ke setir mobil dan beberapa kali ke jendela, rambutnya berantakan dan wajahnya sangat lesu. “Gimana caranya gue bisa bawa Dewa ke pesta Citra?” tanya Steffi sambil mengacak rambutnya.

“Kenapa harus ciri-ciri Dewa sih yang gue sebutin?! Steffi lo tuh emang bego kayaknya!”

“Bego…bego…” Steffi memukul kepalanya sendiri. Kemudian kaca jendela mobilnya diketuk berkali-kali. Kemudian dengan malas Steffi menatap siapa yang melakukan hal itu, ternyata Susan, Lulu, dan Fita ada disana.

“Lo pada ngapain?” Steffi segera menurunkan kaca disampingnya.

“Lo udah gila ya? Cepet keluar dan cerita.”

“Lo pada yang masuk aja ke dalem.” Steffi segera memberi kode agar ketiga sahabatnya masuk ke dalam mobilnya dan kemudian mereka melakukan permintaan Steffi.

“Lo kenapa?”

“Gue udah ngelakuin hal bodoh seumur hidup gue.” Steffi memanyunkan bibirnya dan mulai meneteskan air mata karena kesal dan tak tahu harus berbuat apa.

“Lo hamil?” tanya Susan langsung membuat ketiga perempuan di dalam mobil itu menatap Susan kaget.

“Gue gak sebodoh itu sih…” lirih Steffi, Lulu dan Fita langsung menghela nafas.

“Terus apa?”

“Lo pada tahu Citra kan? Sepupu gue satu-satunya yang paling cantik, pintar, berkharisma, kaya, dan sekaligus yang paling gue gak suka. Dia akan adain pesta kenaikan jabatan bulan depan.”

“Nah bagus dong, dia semakin berjaya.” Ucap Lulu.

“Lulu?!” sinis Steffi.

“Masalahnya apa?” tanya Susan.

“Gue udah terlanjur janji bawa pacar ke pesta itu, gue gak mau dia remehin gue, setidaknya dalam hal percintaan dia kalah telak.”

“Yauda lo terima aja salah satu cowok yang ngejar-ngejar lo.” Saran Susan

“Nah iya bener princess, pasti mereka mau.” Ucap Fita

“Atau lo sewa orang aja buat jadi pacar bohongan.” Dilanjutkan oleh Lulu.

“Gak bisa, gue udah terlanjur ngomong ciri-cirinya itu kayak Dewa ke Citra, Nenek, dan Elsa.” Ucap Steffi membanting punggungnya ke kursi kemudinya.

“Dewa?! Kenapa dia?”

“Ya gimana gue cuman kepikiran dia doang saat itu.”

“Lo beneran suka ya?” Steffi hanya bisa mengangkat kedua bahunya. Kini giliran Susan yang menghela nafas.

“Mungkin keluarga lo akan lupa sama ciri-cirinya, lagipula menurut gue mereka gak akan sedetail itu.” Ucap Fita terlihat berpikir keras.

“Gak mungkin, Citra itu licik, dia pasti tahu kalau gue bohong, gue gak bawa Dewa yang asli, gue juga udah terlanjur sebutin namanya.”

“Lo cari cowok yang ciri-cirinya sama kayak dia, terus lo bayar, nah lo atur deh skenarionya, nama dia lo buat palsu dan lain sebagainya, nanti kita bantuin.” Ucap Susan

“Emang ada cowok yang mau kayak gitu?”

“Ya gak tau sih, coba aja lo cari di list cowok-cowok yang ngejar lo.” Jawab Susan membuat Steffi berpikir sejenak kemudian mengangguk.

“Semuanya gak ada yang pas.” Ucap Steffi saat mereka bersama mencari lewat media sosial.

“Kan lo masih punya waktu 1 bulan buat bujuk Dewa, coba aja siapa tahu pikirannya berubah.” Ucapan Fita membuat Steffi menatap sahabatnya itu.

“Bener juga, gue yakin dia cuman jual mahal tadi.”

“Kok gue gak yakin ya si Dewa bisa berubah keputusan dalam waktu sebulan.”

“Gak ada cowok yang pernah nolak Princess Steffi kan?” tanya Fita, Steffi mulai tersenyum bangga.

“Aldo dan Kevin sekalipun, pernah suka Princess Steffi.” Lanjut Lulu membuat Steffi kembali merasa diatas angin.

“Oke, coba lo bujuk dia dalam waktu 1 bulan, semoga dia mau bantuin lo kali ini.”

“Mulai besok gue akan bersikap lebih baik ke dia.”

“Kebaikan lo udah over ke dia.” Sinis Susan membuat ketiga sahabatnya tertawa.

*******

Beberapa cemilan dan satu botol susu sudah ditangan Steffi, rencananya ini semua akan ia berikan pada Dewa, ia akan mulai menjalankan misinya untuk membujuk Dewa agar mau menemaninya ke pesta Citra.

“Pagi Sir Dewa…” Sapa Steffi yang langsung menghampiri Dewa yang ada di parkiran, laki-laki itu baru saja tiba.

“Lo?! Ngapain?”

“Mau kasih ini.”

“Lo mau nyogok gue? Supaya mau ikutin permintaan lo?”

“Enggak kok! Gue tulus.”

“Oke gue terima.” Ucap Dewa santai mengambil pemberian Steffi kemudian berjalan.

“Sok jual mahal akhirnya mau juga.” Bisik Steffi lebih kepada dirinya sendiri. Dewa berjalan menuju gerbang, terlihat disana ada dua orang anak yang sedang memulung sampah, Dewa memberikan itu kepada mereka kemudian tersenyum ketika kedua anak itu mengucapkan terima kasih.

Baru saja Steffi mau protes tapi tangan Dewa sudah berada di depan wajahnya, mengisyaratkan agar Steffi diam. “Sedikit kebaikan lo akan sangat berarti buat mereka.” Setelah mengucapkan itu Dewa pergi berlalu.

“Dewa Merapi!” seru Steffi membuat langkah Dewa terhenti.

“Lo mau bantuin gue kan?” tanya Steffi tersenyum manis, bahkan tangannya sudah menggandeng lengan Dewa, segera laki-laki itu melepaskannya dengan kasar.

“Gak!”

“Kenapa?”

“Bukan kewajiban gue nolongin lo.”

“Kan sebagai manusia kita itu harus saling tolong menolong.”

“Lo kan bukan manusia.”

“Malaikat atau bidadari ya gue?” tanya Steffi masih berusaha untuk merayu Dewa. “Setan?” setelah itu Dewa meninggalkan Steffi lagi. “Enak aja lo! Elo tuh Dewa Kematian!” teriak Steffi yang kali ini tak bisa menghentikan langkah Dewa.

*******

Gelas keempat berisi es teh manis ini berhasil Steffi habiskan sendirian, di saat dirinya stress, asupan manis akan membantunya lebih tenang walaupun semua orang menatapnya dengan perasaan bingung, kasihan, sekaligus ngeri. Steffi suka sekali membenturkan kepalanya atau menjambak rambutnya sendiri ketika dalam situasi yang sulit dihadapi, harusnya tidak begitu rumit jika Steffi tidak sombong dengan mengatakan bahwa ia memiliki pacar. “Sekarang gue harus gimana?” tanya Steffi membenturkan kepalanya lagi ke tembok disampingnya, harusnya tidak banyak yang melihatnya seperti ini, karena sudut kantin ini tidak banyak dilalui.

“Kalo Nenek dan Citra tahu gue bohong, tamat riwayat dan harga diri gue, gimana gue mau menang dari Citra.” Sekarang Steffi membenturkan kepalanya ke tembok dan menjambak rambutnya lagi.

Tiba-tiba Steffi merasa kepalanya tidak lagi terbentur pada tembok yang keras namun ada sesuatu yang menghalanginya, bantalan empuk yang membuat Steffi terdiam. “Cewek gila, lo mau kepala lo pecah?” tanya laki-laki yang kini duduk dihadapan Steffi, mata gadis itu langsung berbinar seketika. “Lo ke sini? Berubah pikiran ya?” tanya Steffi.

“Gak, gue cuman takut aja nama kampus tercoreng karena ada siswa bunuh diri dengan cara bodoh kayak tadi.” Dewa berucap santai sembari menatap rambut Steffi yang tak beraturan, dorongan kuat dalam dirinya yang ingin membetulkan helaian rambut itu dengan susah payah ia tahan, ia tidak boleh jatuh cinta dengan gadis manapun.

“Yaudah lo boleh pergi kalo gitu, gue gak mau bunuh diri kok, masih mau hidup.” Ucap Steffi selanjutnya mengambil es teh manis dihadapannya.

“Udah mau kelas gue, lo sebaiknya ke kelas juga sekarang, gue mau adain kuis dadakan.”

“Gak usah sok baik, lagian kuis dadakan kok di kasih tahu ke gue, percuma mau dadakan atau engga tetap gue gak bisa.”

“Gampang menyerah.”

“Yang penting lulus.” Ucap Steffi santai kemudian ia mulai menyadari Dewa tidak seketus seperti biasanya, justru cowok itu masih berada di hadapannya sekarang, ini moment yang sangat langka, sebaiknya ia gunakan untuk kembali merayu Dewa agar mau membantunya.

“Wa…” panggil Steffi.

“Hmm…”

“Bantuin gue ya, kali ini aja, please…”

“Kebohongan ditutupi dengan kebohongan lain, nantinya bakal terbongkar juga, yang ada kena karma.”

“Yauda kita buat jadi kenyataan aja, gimana?” ucapan Steffi benar-benar seperti sambaran petir bagi Dewa, dia jadi terdiam.

“Gue rasa lo udah bukan gila, tapi akal sehat lu udah mati.” Dewa meninggalkan Steffi yang kali ini langsung menutup wajahnya dan menghela nafas panjang. “Gagal lagi…” lirih Steffi yang didengar oleh Dewa, nyatanya laki-laki itu justru menggeleng dan tersenyum, sudah banyak perempuan sejenis yang mendekati dirinya, nyatanya ia tak pernah gagal untuk menolak mereka dan membuat mereka berhenti mengejar Dewa.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel