BAB 7: SEANDAINYA TIDAK BERBOHONG
Sepanjang jalan mata Dewa hanya tertuju pada apa yang ada dihadapannya, saat ini pikirannya cukup kalut, mulai dari memikirkan ucapan papanya kemarin yang berulang kali memintanya untuk kembali ke rumah karena papanya sedang sakit, dan tentu saja itu tidak akan pernah dilakukan oleh Dewa. Kemudian ia memikirkan tentang program kerja UKM musiknya yang tentu saja bukan hanya rencana tapi dia harus melaksanakannya. Dan terakhir wajah Steffi yang sangat kacau saat di toilet membuat dirinya tak tenang, mengapa harus gadis itu yang menolongnya, ia paling tidak suka bila harus hutang budi. Apa sebaiknya ia menawarkan bantuan untuk membantu penelitian Steffi?
Langkah kaki Dewa terhenti ketika melihat seorang nenek yang akan menyebrang, sepertinya nenek itu tunanetra, pasalnya ia tidak sadar ketika dompetnya akan diambil oleh seseorang. Dewa segera mendekat, dan menepis tangan pencuri itu. “Kembaliin.” Ucapnya, reflek pencuri itu tidak jadi mengambil dompet nenek yang sudah menyeberang itu.
“Anak kemarin sore, mau sok jadi pahlawan?” tanya pencuri itu.
“Lebih baik jadi pahlawan daripada jadi penjahat.”
“Bajingan!” pencuri itu meninju tepat di wajah Dewa, satu pukulan berhasil ditangkis, dan terjadilah perkelahian.
Tidak hanya sampai disitu, tak disangka, dibalik pencuri itu ada banyak teman-temannya, semuanya mengeluarkan senjata tajam dan menatap Dewa dengan lapar, jika di kehidupan Dewa yang dulu, sungguh ia tidak takut mati, ia akan menghadapi semuanya, tapi ia sudah berjanji pada dirinya sendiri agar tidak lagi terjerumus pada masa lalunya yang kelam. Dewa berlari sambil sesekali mengusap pelipisnya yang berdarah, ia tidak mungkin mampu menghadapi mereka semua sendirian.
Tin…Tin…
Suara klakson mobil sangat kencang, membuat Dewa tersentak, ia hampir saja jatuh. “Cepet masuk!” seru seseorang dibalik kemudi. Awalnya Dewa ragu, ia tidak mungkin menumpuk lebih banyak lagi hutang budi. “Lo mau mati apa? Cepetan!” teriak perempuan itu lagi. Dewa segera masuk ke dalam mobil, dan mobil itu melaju kencang meninggalkan kerumunan laki-laki dengan tatapan bengis.
“Makasih.” Hanya satu kata itu yang diucapkan oleh Dewa.
“Sama-sama, kita mampir ke minimarket ya, wajah lo…” ucapan Steffi mengantung, ia melihat wajah Dewa yang lebam dan pelipisnya berdarah.
“Gue langsung balik aja, berhentiin gue disitu aja, gue naik bus.”
“Nanti luka lo infeksi.”
“Nanti gue bisa obatin.” Tapi Steffi tidak mengikuti ucapan Dewa, ia tetap saja melajukan mobilnya.
“Lo kenapa sih? Dibilang turunin gue!” Dewa menatap Steffi kesal.
“Bisa gak sekali aja lo jangan nolak gue, ini juga buat diri lo sendiri.” Dewa tertegun, Steffi bahkan tak mau memandang wajahnya, keduanya diam.
Mobil Steffi telah terparkir dengan sempurna, dengan segera Steffi hendak turun. “Gue aja.” Tangan Dewa mencekalnya.
“Horor kalo lo yang masuk, entar dikira abis rampok bank.” Steffi segera turun dan masuk ke minimarket.
Dengan langkah cepat Steffi menyusuri setiap rak. “Mba? Ini tinggal plaster yang Frozen aja?” tanya Steffi.
“Iya mba kebetulan lagi pada kosong, di minimarket lain juga begitu.” Jawab kasir itu. Steffi yakin Dewa akan marah jika ia membelikan ini, tapi lebih baik dibanding luka Dewa yang terus mengeluarkan darah. Segera ia mengambil plaster, kapas, dan larutan antiseptik, lalu membayarnya di kasir.
Dewa menatap Steffi dari luar, satu sudut bibirnya terangkat, gadis itu memang sulit ditebak. Tapi, satu hal yang Dewa tahu, gadis itu tidak mudah menyerah, dan entah kenapa Dewa merasa senang dengan sikap Steffi yang satu itu.
“Mau diobatin di dalam mobil atau disitu?” tanya Steffi menunjuk kursi yang ada di depan minimarket.
“Disitu aja.” Jawab Dewa, ia pun keluar dari mobil dan duduk berhadapan dengan Steffi.
Dengan telaten Steffi mengobati luka Dewa, mengingat dulu ia selalu mengobati luka Aldo dan Kevin sehabis mereka bertengkar, masa-masa itu adalah hal terindah bagi Steffi, dimana ia punya dua orang pelindung yang akan terus menjaganya dari hal-hal buruk, ia akan selalu percaya dengan mereka, dan Steffi tidak perlu merasa takut, cemas, ataupun sedih, hanya ada bahagia, dan itu semua sudah tinggal dalam kenangan, Steffi tidak akan lagi memiliki keduanya.
“Aw!” teriak Dewa saat Steffi menekan lukanya.
“Eh…sorry…”
“Lo tuh niat gak sih tolongin gue? Apa mau buat luka gue makin parah?” tanya Dewa dengan nada ketus.
“Iya gak sengaja juga.” Kemudian Steffi segera menempelkan plester di luka Dewa, beruntunglah Dewa sedang tidak melihat. Dengan segera Steffi membuang bungkusan plaster tersebut dengan wajah bahagia karena Dewa tidak akan melihatnya, kemungkinan saat ia sampai dirumah dan mungkin Dewa melihat ke cermin baru laki-laki itu akan sadar.
“Kok macho gitu plasternya Frozen ya?” tanya seorang cewek yang baru saja akan masuk ke minimarket. Steffi yang mendengar hal itu langsung memutar tubuhnya dan melihat Dewa kebingungan, segera Dewa mengambil ponselnya dan melihat plaster lukanya.
“Kenapa lo beli yang Frozen sih?!” sentak Dewa.
“Udah gak ada lagi yang lain, lagi pada kosong, lagian bagus kok, lucu.” Puji Steffi tersenyum, sedangkan Dewa sudah geram dengan gadis itu, sekarang ia segera menuju mobil Steffi untuk mengambil tasnya.
“Eh mau kemana? Tunggu dong.”
“Gue pulang sendiri, jangan muncul dihadapan gue lagi!”
“Masa gara-gara plaster Frozen doang marah sih?” tanya Steffi, ia mencoba tersenyum agar Dewa tidak marah lagi padanya, kata Kevin kalau Steffi tersenyum manis, laki-laki akan luluh dan tidak jadi marah padanya, dan itu selalu berhasil.
“Lo itu gila ya? Senyum-senyum sendiri.” Steffi bingung, hanya untuk Dewa hal itu tidak berlaku.
“Tunggu disini.” Steffi segera berjalan saat melihat dua orang perempuan yang tadi membicarakan plaster Dewa.
“Mba, ngapain ngomongin plaster calon pacar saya?! Ha?! Mau dia pakai Barbie kek, Cinderella kek, gak mengurangi kemachoan dia, inget ya! Punya mulut tuh buat ngomong hal baik bukannya ngomongin orang, entar mulutnya disuruh balikin ke Tuhan lagi baru tahu rasa.” Steffi puas mengungkapkan amarahnya, kedua perempuan itu bingung.
“Baru calon pacar aja heboh.” Setelah itu mereka segera berjalan cepat.
“Yeh bener-bener.” Steffi baru saja akan melempar sepatu hak tingginya.
“Stop!” tahan Dewa menggenggam tangan Steffi,
“Barusan ngapain ngaku-ngaku?”
“Kan bener calon pacar.”
“Ini udah kesekian kalinya ya gue bilang sama lo dan akan jadi yang terakhir, gue bukan calon pacar lo, gak akan pernah mau jadi calon pacar lo. Gue gak punya calon pacar yang gak bisa kontrol emosinya sendiri.” Dewa segera melangkahkan kaki menjauh dari Steffi.
Lengkap sudah hari Steffi hari ini, dihukum untuk membuat penelitian atau dirinya terancam tidak lulus satu mata kuliah, Dewa marah dengannya, dan apalagi? Kejutan buruk apalagi yang akan dia terima?
*******
Halaman rumah Steffi dipenuhi oleh mobil-mobil mewah, ia sudah tahu itu siapa, pasti ada neneknya.
“Kesialan apalagi ini?” tanya Steffi menghela nafas dan langsung saja masuk.
“Kak Stef! Ini ada Nenek sama Kak Citra.” Steffi mengernyit, untuk apa dua orang yang paling Steffi hindari selama ini datang, terlebih belum lama neneknya sudah datang.
“Tidak sopan memang, sebelum masuk itu ketuk pintu.” Ketus Rahma sang nenek, Steffi langsung melangkah masuk.
“Steffi duduk! Nenek dan Citra mau bicara.”
“Steffi capek baru pulang kuliah.”
“Kalau begitu berhenti kuliah saja, kuliah dengan tidak sama saja.” Ketus Neneknya.
“Nek…jangan seperti itu sama Steffi, dia tetap bagian dari keluarga.” Steffi menatap wajah Citra dengan tajam, ia tahu Citra adalah wanita paling munafik yang pernah ia temui, berlagak baik didepan tapi menusuk dari belakang.
“Ada apa?” tanya Steffi setelah duduk.
“Jadi gini Stef, bulan September nanti aku akan adakan pesta kenaikan jabatan, datanglah bersama Elsa, dan kalian boleh mengajak siapapun.” Ucap Citra.
“Siapapun? Pacar?” tanya Elsa, kemudian Steffi menatap adiknya dengan tatapan menyelidik.
“Lo udah punya pacar?” tanya Steffi.
“Belum, kakak udah?” tanya Elsa kembali, Steffi berjanji akan menghancurkan semua poster-poster boyband korea di kamar Elsa setelah ini.
“Steffi pasti sudah punya, lihatlah dia malu-malu begitu, ajak dia ya, Stef.” Ucap Citra.
“Siapa yang ingin memiliki pacar sepertinya? Nenek yakin tidak ada laki-laki waras yang mau. Tunggu dia bisa memperbaiki sikapnya dan hidupnya baru ada yang kasihan dan mau dengannya.” Ucapan neneknya itu sungguh menggoreskan luka yang bahkan belum sembuh di hati Steffi.
“Steffi punya pacar kok, dia tampan, pintar, bahkan ketua organisasi kampus, dan pastinya dia seorang asisten dosen.” Ucap Steffi bangga namun ia kemudian sadar akan kebodohannya itu, saat neneknya memancing amarahnya hanya ada satu laki-laki yang terlintas dibenak Steffi, dan itu Dewa Merapi.
“Kak Stef emang paling keren, itu sih definisi pacar idaman. Kok di SMA Bima Garuda gak ada yang kayak gitu ya kak? Apa Elsa belum ketemu?”
“Anak kecil belum boleh pacaran.” Steffi dengan segera merangkul Elsa ke dalam pelukannya, ia sangat menyayangi adik semata wayangnya itu, walau terkadang ada banyak perasaan sakit juga yang selalu menghantuinya, setiap pengorbanan yang Steffi lakukan sedari mereka kecil adalah hal yang begitu membekas baik bagi dirinya sendiri maupun Elsa, namun bagi Elsa mungkin itu kenangan bahagia tapi sepertinya tidak bagi Steffi.
“Menarik sekali, baru masuk kuliah, kamu sudah memiliki pacar yang sepertinya menjadi idola semua kaum hawa? Baik, ajaklah dia, biar kami juga bisa mengenalnya.”
“Dia pemalu.” Balas Steffi, tidak mungkin seorang Dewa akan menuruti permintaan tidak masuk akalnya bukan?
“Dia pemalu atau dia tidak nyata? Kalau dia nyata siapa namanya?'' Tanya Rahma, wanita berumur itu menatap sinis ke arah Steffi.
“Steffi akan membujuknya, beritahu alamat dan waktu acaranya, Steffi akan datang ke sana bersama Elsa dan pacar Steffi pastinya.” Sekali lagi Steffi menyesal mulutnya terlalu cepat berbicara dibanding otaknya yang harusnya berpikir lebih dulu.
“Kamu belum menjawab pertanyaan Nenek, siapa nama laki-laki itu? Pasti dia punya nama kan?” tanya Citra penasaran.
“Dewa Merapi.” Seketika Steffi ingin menepuk bibirnya yang terlalu cepat berbicara.
“Nah itu lebih baik Stef, jadi kami sangat percaya kalau kamu punya pacar, sampai bertemu dengan Dewa ya di pestaku, nanti akan aku kirimkan, senang melihat kamu dan Elsa baik-baik saja. Kalau begitu kami pamit, masih ada meeting yang harus aku pimpin.” Citra memang sosok wanita idaman, dengan wajah yang cantik, tubuh yang proposional, dan kepintaran yang membuat semua orang berdecak kagum.
“Nenek jadi penasaran, ya mari kita lihat di acara nanti.” Lagi-lagi Rahma menatap Steffi seakan merendahkannya. Steffi tidak akan pernah lupa setiap ucapan menyakitkan yang sedari dulu ia terima.
Namun yang sekarang lebih mengganggu pikirannya adalah bagaimana caranya agar ia bisa membawa seorang Dewa Merapi untuk menjadi kekasih pura-puranya ke acara Citra? Pastilah Steffi sedang bermimpi saat mengucapkan itu semua tadi dan sekarang dia harus menerima akibat dari kebohongannya, hidupnya akan semakin sial dan tersiksa lagi.
