Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 6: MERASA BERSALAH

Mata kuliah Pengantar Ilmu Komunikasi, sedang dibawakan oleh Pak Bambang dengan sangat baik dan menyenangkan, namun tidak bagi Steffi, dia sudah mengantuk sekarang. “Lo nih mau lulus kuliah gak sih? Bukannya catet malah senyum-senyum terus.”

“Gue dianter pulang sama Dewa.”

“What?! Kok bisa? Yang kemarin gue kira lo bohong.” Tanya Susan, beruntunglah ia pandai mengatur volume suaranya.

“Udah gue bilang dia suka gue.”

“Ternyata gak sesusah tebakan gue ya.”

“Jangan panggil gue Steffi kalau modelan kayak gitu gak bisa gue dapetin.”

“Ngobrol apa aja?” tanya Susan penasaran.

“Ya diem aja sih, gue nanya cuman dijawab seadanya, tapi itu aja gue udah seneng.”

“Ya baguslah setidaknya dia peduli sama lo.”

“Peduli meningkat jadi tertarik, kemudian suka, kemudian cinta.” Ucap Steffi santai.

“Nona Steffi, saya lihat kamu seru sekali berdiskusi, apakah kamu mendiskusikan tentang sejarah mengenai ilmu komunikasi dan perkembangan terkini dari ilmu komunikasi?” tanya Pak Bambang.

Tentu saja pertanyaan itu membuat Steffi mati kutu. “I…iya pak…”

“Kalau begitu bisa saya tahu hasil diskusinya? Atau apa yang kamu catat?” Pak Bambang mulai menghampiri tempat duduk Steffi, dalam hati Steffi hanya bisa merapalkan doa, baru saja hari kedua masa ia sudah mendapat masalah.

“Kosong? Sepertinya kamu butuh udara segar ya? Silakan berjalan-jalan diluar kelas selama jam mata kuliah saya berlangsung.” Pak Bambang kembali melangkahkan kakinya ke meja yang ada di depan kelas.

“Boleh sambil bawa makanan gak pak?” tanya Steffi kemudian yang membuat seluruh mahasiswa di kelas saat itu menatapnya heran.

“Silakan saja.” Jawab Pak Bambang menggeleng, Steffi dengan cepat membawa bekalnya keluar, sebelumnya mengedipkan mata pada Susan, membuat sahabatnya itu terkekeh.

Saat diluar kelas hanya satu tujuan Steffi, bertemu dengan Dewa. Segera ia melangkahkan kaki ke ruang kelas Dewa, kalau Kak Radit berkata jujur maka saat ini Dewa sedang ada didalam ruang 701 dan mengikuti mata kuliah Merger dan Akuisisi dengan dosen Miss Anara, saatnya pertunjukan dimulai.

Tiga kali ketukan pintu kemudian Steffi membuka pintu dan matanya dengan segera menelusuri ruangan, tak sulit ternyata menemukannya, Dewa duduk di baris kedua di depan papan tulis. “Permisi, siang Miss,” sapa Steffi sopan.

“Oh iya siang, ada apa ya?”

“Maaf miss sebelumnya mengganggu, saya ingin menyampaikan titipan makan siang untuk Kak Dewa Merapi,”

“Makan siang?”

“Iya miss, apakah boleh?”

“Tentu, silakan.” Steffi mengangguk, kemudian semua mata tertuju padanya, termasuk mata Dewa yang menyiratkan kebingungan. Belum sempat bertanya, Steffi sudah meletakkan kotak bekal di atas meja Dewa. “Selamat makan siang.” Bisik Steffi, tak ada balasan dari Dewa.

“Sama-sama.” Ucap Steffi, setelahnya melangkahkan kaki menuju meja dosen.

“Terimakasih banyak miss, saya permisi.”

“Sama-sama…” Miss Anara tersenyum ramah.

Ketika Steffi hampir menutup pintu dengan sempurna terdengar suara Miss Anara. “Pacar kamu ya Wa?” kemudian kelas menjadi heboh dan tertawa, Steffi good job! Dalam hati Steffi bersorak.

*******

“Wah gila sih ini, Steffi nekat banget Wa!” seru Radit tak percaya.

“Nekat yang gak semestinya.” Jawab Dewa singkat, ia kembali menyesal telah mengantar pulang Steffi kemarin.

“Wa, ini udah bener banget, dia suka sama lo.” Ucap Radit.

“Dan dia akan berakhir seperti cewek lainnya.” Jawab Angga, kemudian Dewa mengangguk.

“Sejauh apa sih dia bisa bertahan? Gue penasaran.” Tanya Radit.

“Modelan bad girl gitu kayaknya gak lama, lagian di kampus ini kan banyak cowok.” Jawab Angga, Dewa kembali mengangguk.

“Sepertinya tidak kawan.” Radit melihat seseorang datang, kemudian Dewa dan Angga mengikuti arah pandangan Radit.

“Siang semua, siang calon pacar. Kok makanannya belum dimakan? Gue udah capek-capek buat sendiri loh.” Steffi segera duduk disamping Dewa, membuat cowok itu kesal.

“Kayaknya lo mesti lebih rapi sih, nama restorannya lupa lo coret di bagian samping.” Tatapan Dewa membuat Steffi ciut, ia langsung salah tingkah.

“Besok-besok gue masakin deh, tadi buru-buru.” Ucap Steffi.

“Gak perlu, nih lo bawa lagi aja karena gue udah makan.”

“Ih kok gitu? Kemarin aja pas nganterin pulang baik banget, gak kayak gini?” tanay Steffi menunjukan wajah sedih sementara Angga dan Radit menatap curiga.

“Lo bawa ini pergi sebelum gue berbuat hal yang pastinya lo gak mau lihat.”

“Emang apa?” tanya Steffi menantang, kemudian Dewa bangkit berdiri dan menggebrak meja.

“Yang pertama, gue bantuin lo kemarin karena kasihan, akal lo terlalu pendek sampai gak bisa mikir hal yang baik. Yang kedua, gue gak mau makan ini.” Dewa menepis makanan itu sehingga hampir tumpah seluruh isinya.

“Dan yang terakhir, jangan pernah panggil gue calon pacar lo! Pergi!” teriak Dewa menggemparkan kantin. Hal itu tentu saja membuat Steffi bergetar, ia bahkan mengepalkan tangannya kuat-kuat, terakhir kali ia diperlakukan seperti ini oleh Aldo, dan itu sudah lama sekali.

“Pergi sekarang juga…!” teriak Dewa lagi, membuat Steffi tersadar, ia tidak boleh menangis, tidak boleh terlihat lemah dihadapan semua orang atau dia akan di kasihani. Dengan cepat Steffi berlari, ia akan pergi kemanapun, dimana orang tidak bisa melihat bahwa saat ini Steffi sedang tidak dalam keadaan yang baik-baik saja.

“Wa…” Ucap Angga, setelah Dewa kembali duduk, kemudian ia segera melangkahkan kaki pergi menuju ke arah yang berlawanan dengan Steffi.

*******

Kenapa semua cowok kalau lagi marah jadi kasar? Pertanyaan itu selalu membuat Steffi menyayangkan sikap itu, dan yang Steffi bingung kenapa cowok yang terlihat baik seperti Dewa bisa berbuat hal yang begitu menyakitkan, anehnya Steffi merasa tidak bisa melawan, ia terlalu kaget dan takut tadi. Apa benar Dewa tidak menyukainya? Tapi kenapa sampai seperti itu? Apakah Steffi terlalu buruk untuk menjadi pendamping Dewa? Toh Dewa dulunya adalah bad boy?

“Princess, lo gapapa? Lo lama banget didalam?” tanya Lulu mengetuk pintu kamar mandi.

“Stef, jangan bunuh diri, masih banyak cowok pinter, entar gue cariin.” Susan berulang kali mencoba melucu.

“Iya Princess Stef, lo kenapa sih? Kak Dewa ya?” Steffi segera menghapus air matanya, kemudian memakai lip cream dan bedaknya lagi, merapikan tatanan rambutnya, ia harus tetap terlihat baik-baik saja didepan siapapun, tak ada yang boleh tahu dia sedang terluka.

“Berisik lo pada, gue tuh lagi buang air besar.”

“Astaga, gue kira lo berbuat hal gila lainnya.”

“Emang ada apa sih?” tanya Steffi merapikan bajunya.

“Kak Radit udah cerita semuanya ke kita. Si Dewa tuh sebenernya kalau gak mau ya tinggal nolak aja sih, susah banget, bukan permaluin lo didepan umum.” Susan sangat kesal ketika mendengar cerita dari Radit tadi.

“Bentar deh Susan, bukannya Kak Dewa udah nolak ya? Tapi kan Princess Steffi yang ngejar terus?” tanya Lulu membuat lengannya mendapat pukulan dari Fita.

“Dan karena perbuatan dia tadi membuat gue semakin penasaran, kenapa sih dia? Kenapa sesulit itu buat deket sama dia doang?”

“Stef?!” seru Susan.

“Gue gak akan nyerah, gak ada nyerah dalam kamus gue.”

“Lo gak inget Aldo?” Susan akhirnya harus mengingatkan Steffi dengan cara ini.

“Dan gue gak mau kalah untuk yang kedua kalinya.” Steffi kemudian keluar dari toilet, membuat Susan sudah tidak bisa mencegah sahabatnya itu, sepertinya Steffi betul-betul serius ingin mendapatkan Dewa, maka tidak ada yang bisa menghentikannya

*******

Booth pendaftaran telah dibuka sejak pagi, seluruh organisasi mahasiswa telah menghias boothnya sebaik mungkin, termasuk booth UKM musik dengan berbagai performance yang sudah dijadwalkan, dengan berbagai pilihan lagu yang sedang tren dan tentu saja sudah banyak yang mengantri untuk mendaftar, hampir seluruh pendaftar adalah perempuan. “Ini kayaknya pada daftar karena tahu lo ketuanya deh.” Bisik Radit.

“Jangan pernah menjadikan seseorang menjadi alasan untuk mengambil keputusan.” Bisik Dewa.

“Lo lama-lama mending jadi penulis kalo gak motivator aja deh, kerjaan lo kasih kata-kata bijak mulu.” Balas Radit yang mendapat senyuman dari Dewa.

“Udah ya gue mau ke kelas dulu,” Dewa segera mengambil tasnya,

“Kok Kak Dewa nya pergi?” tanya banyak perempuan-perempuan itu.

“Iya, Kak Dewa mau kemana?”

“Dedek-dedek gemes, Kak Dewa nya ada kelas, jadi daftarnya sama Kak Radit aja ya.” Ucap Radit.

“Gak mau ah, orang mau daftar karena ada Kak Dewa.” Perlahan banyak calon pendaftar meninggalkan booth tersebut.

Dewa yang melihat hal itu tidak peduli, jika niat awal masuk ke organisasi saja sudah salah, bagaimana nanti bisa bertahan dan berkontribusi di dalamnya, dengan langkah cepat ia segera menuju ke ruang dosen, hari ini ada jadwalnya mengajar, semoga lift masih cukup untuk menampung dirinya.

“Tunggu…” Pinta Dewa, kemudian pintu lift terbuka, ternyata sudah penuh, tapi bukan itu yang membuat Dewa terdiam, tapi karena Steffi yang menahan pintu lift.

“Mau masuk?” tanya Steffi, kemudian Dewa mengangguk.

Tak disangka Steffi keluar dari lift dan berjalan menuju tangga, tangan Dewa terulur menahan pergelangan tangannya. “Gak perlu, gue naik tangga aja, lo balik lagi aja.”

“Kayaknya kakak lebih membutuhkannya.” Steffi segera melepas cekalan tangan Dewa dan berlari melalui tangga. Sedangkan Dewa justru terpaku melihat tingkah Steffi, bagaimana mungkin gadis itu masih tetap baik disaat dia telah mempermalukannya kemarin.

*******

“Bego…bego…bego Steffi, kenapa lo bisa lupa sih kalau tadi pagi ada kuis. Kan pelajaran Miss Anna gak boleh ada yang telat sedetikpun, bodoh…bodoh…” Steffi saat ini sedang membenturkan kepalanya ke tembok yang ada toilet, hanya disini ia dapat bersembunyi dari tatapan kasihan teman-temannya.

“Lo tuh emang gak bisa ngalahin Citra…udah terima aja… emang dasarnya lo bego!” Steffi kini memukul kepalanya lagi.

“Gimana caranya gue lulus presentasi tentang penelitian sebelum UTS? Baru masuk kuliah, baru 3 hari, catatan kosong. Gue menyesali kalau ucapan nenek bener, gue emang benalu, emang bego nih otak!” Steffi lagi-lagi membenturkan kepalanya ke tembok.

Steffi tidak tahu jika seseorang memperhatikannya, seseorang mendengar keluh kesahnya, dan timbul sebuah rasa yang tak biasa, ia tidak ingin gadis itu terus menyakiti dirinya sendiri. Namun, apa yang bisa ia lakukan? Tidak ada.

“Stef…” teriak seseorang, membuat laki-laki itu segera bersembunyi, kembali masuk ke toilet pria.

“Yaaa…” sahut Steffi.

“Lo ngapain sih? Jadi penunggu WC?”

“Kebelet pipis.” Steffi menghapus air matanya.

“Miss Anna seriusan suruh lo bikin penelitian?” Steffi mengangguk, wajahnya sudah sangat frustasi.

“Ancamannya sih gak main-main princess, lo bakal gak lulus di mata kuliah dia?” tanya Fita, Steffi kembali mengangguk.

“Gini…gini… senior disini, siapa yang kita kenal? Semua berpikir.” Perintah Susan.

“Kak Radit.” Jawab Lulu.

“Nah…”

“Kak Dewa?”

“BIG NO!” Jawab Steffi,

“Kenapa?” tanya Susan. “Bukannya lo suka modus ke dia, lagipula dia kan asdos, penelitian mah gampang kali.” Lanjut Susan.

“Gue… gak mau keliatan bego di depan dia… pasti dia suka cewek pinter.”

“Dan lo kan nggak.” Lanjut Lulu, membuat Steffi menatapnya tajam.

“Ups…maaf Princess.”

“Oke jangan Dewa, yauda Kak Radit aja gimana?”

“Lo yakin dia bisa bantuin gue?” tanya Steffi kemudian mendapat gelengan pelan dari Susan.

“Ya daripada gak ada sama sekali, kan mereka bertiga sahabat siapa tahu aja kepintaran Dewa nular dikit ke Radit.” Jawab Susan.

“Yaudah deh, yang penting gue gak boleh ngulang, gue akan buktiin otak gue masih ada walau gak banyak.” Steffi terkekeh, membuat suasana keempat sahabat itu kembali menghangat.

“Kita akan selalu ada buat lo, Princess Steffi.”

Laki-laki itu hanya bisa terkekeh mendengar pembicaraan keempat perempuan itu, ada sedikit rasa bersalah, karena Steffi telat akibat memberikannya kesempatan untuk naik lift lebih dulu. Bahkan setelah melangkah menjauh dari toilet, rasa bersalah Dewa tak kunjung hilang, ia mulai memikirkan Steffi.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel