BAB 5: SEANDAINYA DIA BISA LEBIH RAMAH
Dress berwarna merah muda membuat tubuh Steffi terlihat bak seorang model, ramping dan proporsional. Tas berwarna pink juga setia menggantung di pundaknya. Di tangannya sudah ada sebuah sandwich dan air mineral, pastinya ini untuk sarapan, tapi bukan untuk dirinya. “Stef, lo gak salah pakai baju ini ke kampus? Kita tuh mau kuliah bukan mau ke pesta.” Tegur Susan.
“Susan, kan sesuai janji kita, Princess Steffi bener kok pakai warna pink, tapi emang kita mau ke pesta beneran ya?”
“Lu!” seru Susan dan Fita bersamaan.
“Gue udah bosen pakai baju wajib selama PMB kemarin, ya boleh lah sesekali kita menunjukan pesona.” Steffi mengerling nakal, sementara Susan sudah menyerah, kenapa dia mau bersahabat dengan Steffi, perempuan yang selalu saja berbeda pendapat dengannya.
“Eh Kak Dewa, Kak Radit.” Teriak Steffi memanggil Dewa dan Radit yang baru saja datang.
“Emang kebetulan apa jodoh ya, bisa dateng barengan gini?” tanya Steffi malu-malu.
“Jodoh sama Radit?” tanya Dewa.
“Hmmm…kayaknya sama Kak Dewa sih. Oh iya ini, gue bawain sarapan buat lo.” Seketika ketiga sahabat Steffi hanya terdiam membeku, tidak pernah ada dalam sejarah seorang Steffi mengejar laki-laki sampai sebegitunya, ketika sama Aldo pun dengan cepat cinta Steffi berbalas.
“Gue udah sarapan, Radit kayaknya belum.” Dewa segera berjalan menjauh. Bukan Steffi namanya kalau ia menyerah begitu saja.
“Tapi kan gue udah bawain buat lo, gak baik menolak pemberian orang.”
“Gak baik maksa keinginan lo ke orang lain.” Steffi sudah tidak peduli walaupun ia sudah ditolak berulang kali, ia tidak akan menyerah.
“Please.” Pinta Steffi.
“Gak!” Ketus Dewa, kemudian Steffi mulai kesal, ketika Dewa melangkah pergi, ia segera membuka tas Dewa dengan niat untuk memasukan makanan dan minumannya, tapi sayang ternyata banyak lembaran kertas yang jatuh. Steffi panik, begitupun dengan Dewa, dengan segera berusaha mengambil kertas-kertas itu.
“Elo! Ngapain sih?!”
“Mau taro ini ke tas lo.”
“Kan gue bilang, gue gak mau, lihat nih berkas-berkasnya jadi berantakan. Udah ya lo jangan pernah muncul di hadapan gue lagi.” Dengan suara lantang dan mata tajam dan rahang mengeras. Tatapan kemarahan itu membuat Steffi sedikit menciut, ketiga sahabatnya berusaha untuk mendekat.
“Kalau gue gak mau?”
“Gue jadi makin yakin, lo punya gangguan kejiwaan.” Setelah berkata seperti itu, Dewa berjalan menjauh.
Radit dan ketiga sahabat Steffi langsung saja menghampirinya. “Kita ke kantin aja yuk,” ajak Radit memberikan kode pada Susan.
*******
Tak ada satupun yang berbicara, Steffi pun masih kesal dengan perkataan pedas Dewa. “Stef, maafin Dewa ya, dia mungkin lagi stress.”
“Gapapa kak, salah gue juga. Boleh gak gue minta tolong?” tanya Steffi, segera mendapatkan anggukan dari Radit. “Tolong kasih ini ya.” Steffi memberikan sandwich dan air mineral yang tadi.
“Gue gak pernah ngerti jalan pikiran lo, masa lo mau ngemis cintanya Dewa?” Susan berucap seperti itu karena ia tidak pernah melihat Steffi ditolak cintanya, gadis cantik itu tidak pernah mendapatkan perlakuan seperti itu.
“Ehem…” Radit berdeham.
“Lo emang beneran suka sama Dewa?” tanya Radit, kemudian Steffi mengangguk.
“Oke tapi gue mendingan ngomong pahitnya dari awal ya, Dewa itu gak mau pacaran dan kayaknya dia bakal milih lajang seumur hidup. Jadi mendingan lo cari cowok yang mau aja sama lo, contohnya ya cowok ganteng dihadapan lo sekarang.” Radit menggoda, sementara Susan sudah menatapnya jengkel, Steffi hanya tertawa.
“Maksudnya kakak tuh nembak Steffi ya?” tanya Lulu,
“Ya jangan dipertegas juga sih.” Jawab Radit.
“Emangnya kenapa dia mau lajang seumur hidup? Dia homo?” tanya Steffi penasaran.
“Eits...nah itu gue gak tahu sih.”
“Pasti ada yang terjadi di masa lalunya, jadi dia takut sama masa sekarang dan masa depan.” Jawab Susan sambil meminum jus jeruk di tangannya.
“Emang adek sepupu gue ini pinternya nurunin gue.” Semuanya langsung menatap tidak setuju dengan perkataan Radit.
“Intinya gue gak bisa cerita banyak karena yang lebih berhak kan Dewa ya, tapi udah banyak kok korban cewek yang sakit hati ditolak cintanya, bukan cuman lo doang.”
“Cewek-cewek itu gampang menyerah berarti.” Jawab Steffi tersenyum.
“Kalo omongan lo kayak gini, gue juga jadi ikutan yakin kalo lo sakit jiwa.” Ketus Susan.
“Kak, lo ada kelas?”
“Gak sih, masih nanti.”
“Ceritain tentang Dewa dong, gak perlu rahasia yang dia gak pengen orang tau, cukup yang umum-umum aja.” Ucap Steffi. Susan, Lulu dan Fita justru menatap Steffi tak percaya, sejak kapan Steffi jadi begitu bersemangat dan serius untuk mendapatkan cowok.
“Dewa, gue kenal dia dari SMA, dulunya kita bertiga anak geng motor, nakal, sampai gue gak tau gimana tiba-tiba si Dewa ngajakin tobat, berubah 180 derajat, ya gue dan Angga mau gak mau jadi ikutan tobat. Dewa emang dasarnya pinter sih, pas pembagian otak kayaknya ngantri paling pertama jadi dapet lebih, jadi ya dia sekarang asisten dosen.” Steffi mendengarkannya dengan seksama setiap ucapan Radit.
“Oke jadi dia anak emasnya Manajemen ya, menarik, tipe pacar yang ideal.” Ucap Steffi.
“Kalo gue cewek, gue juga mau, tapi masalahnya dia kan udah nolak semua cewek yang pernah mau sama dia.”
“Kalau gitu gak akan masuk ke daftar cewek yang ditolak, gue akan buat sejarah baru.”
“Wih Princess Steffi keren,” ucap Lulu.
“Makin gila kalau gue kelamaan disini.” Susan segera melangkahkan kaki pergi.
*******
“Nih Wa, Steffi titip ini ke gue.” Ucap Radit.
“Steffi siapa?” tanya Dewa.
“Yang ngejar-ngejar lo terus.”
“Cewek pink itu? Buat lo aja,” ucap Dewa, Radit langsung kegirangan berhubung ia sudah sangat lapar.
“Perasaan emang mereka berempat pake baju pink semua deh.” Jawab Angga sambil memainkan ponselnya. Sedangkan Dewa terlihat tidak peduli, ia justru fokus membaca materi.
“Ya karena nama geng mereka kan The Pinkers.” Jawab Radit.
“Lo kok bisa tahu.”
“Susan kan adik sepupu gue.”
“Susan siapa lagi?” tanya Angga.
“Itu yang pakaiannya paling normal lah buat ke kampus.” Hal itu membuat Angga tertawa.
“Wa, lo beneran gak homo kan?”
“Sialan lo!” ketus Dewa.
“Masa yang modelan Steffi lo tolak? Kalo dia mau sama gue, udah gue embat tuh, sayangnya dia mau nya sama lo.” Ucap Radit
“Lo tenang aja, gue gak mau sama dia. Silakan ambil.”
“Gak mau tapi nyuruh kita jemput dia kemarin.” Ucap Radit menggoda.
“Itu karena bahaya kalau dia pulangnya bareng Marvin.”
“Artinya lo balik lagi ke sekolah buat mastiin dia udah pulang dong?” tanya Angga.
“Dia pakai baju kurang bahan, ya lo tahu sendiri kan lagi marak kejadian-kejadian berbahaya zaman sekarang.” Jawab Dewa
“Gue makin gak paham nih, intinya lo suka gak sama Steffi?” tanya Angga.
“Gak.” Jawab Dewa jelas.
“Ngga, gue makin takut sahabat kita beneran homo,”
“Sssttt… kedengeran bego.” Setelahnya Angga dan Radit mendapat tatapan tajam dari Dewa.
*******
Hal yang paling Steffi benci dari mobil mewahnya ini adalah harus sering dicek secara berkala, dan yang paling Steffi benci lagi adalah ia lupa untuk membuat jadwal cek rutin dan sekarang ia harus menerima jika mobilnya mogok. “Shit! Kenapa harus sekarang sih?!” ketus Steffi mengumpat, ia segera turun dari mobilnya dan membuka kap serta mengeceknya.
“Gunanya apa ya? Kan gue juga gak ngerti.” Steffi menepuk dahinya, dan segera menghubungi bengkel mobil, namun ia diminta menunggu selama kurang lebih 1-2 jam untuk sampai ke tempat mobilnya mogok. Ia jadi bingung apa yang harus dilakukannya, jadi ia hanya berdiri di depan mobilnya saja. Sesekali Steffi melihat ke jalan raya, berharap ada orang baik yang merupakan montir, sehingga mobilnya bisa lebih cepat untuk berjalan kembali. Sampai akhirnya mata Steffi berbinar, ia menemukan yang ia cari.
“Kak Dewa!” teriak Steffi melambai-lambaikan tangan. Dewa yang melihat justru melajukan motornya dengan cepat.
“Kak Dewa…!” Steffi berusaha mengejarnya, bahkan hampir terjatuh. Ia berharap ini seperti di film-film, dimana Dewa akan berbalik karena kasihan dengan dirinya, tapi aktor di film itu bukan Dewa, aktor-aktor itu baik hati, sedangkan Dewa adalah manusia paling jahat menurut Steffi, ucapannya pedas dan menusuk.
“Udah namanya aneh Dewa Merapi… emang dia dewa gunung? Ya kalo sikapnya sih emang bikin orang kayak gunung Merapi yang mau meletus, bawaannya bikin emosi aja.” Steffi justru menendang ban mobilnya dan berakhir dengan nyeri pada kakinya.
“Steffi bego! Ngapain sih?” tanyanya pada diri sendiri.
*******
Dewa sangat menyesal karena harus kembali ke kampus, ia harus mengambil materi mengajarnya besok, dan materi itu tertinggal. Dewa berharap Steffi sudah pergi dari jalan itu, sehingga ia bisa lewat dengan tenang, mengapa juga hanya ada satu jalur untuk pergi dan pulang ke Dormitory Global University.
Tak disangka, Steffi masih ada disitu, masih ditempat yang sama, dan ia sudah melihat banyak mata pengendara tertuju pada pakaian Steffi, gadis itu bodoh atau memang sengaja, tak habis pikir Dewa dengan kelakuannya, gadis itu berada dipinggir jalan yang ramai dengan mobil sport berwarna pink terang dan baju minim berwarna pink juga. Steffi kini sedang bermain ponsel, Dewa bingung apa gadis itu tidak takut di jambret?
Sejujurnya Dewa ingin bersikap tidak peduli dan membiarkan Steffi dengan tingkah seenaknya itu, tapi ia tidak tega, walaupun ia memang sangat ingin untuk tega. Dewa berani bertaruh jika Steffi akan memanggilnya lagi. Tentu saja benar.
“Kak Dewa…!” teriak Steffi membuat Dewa menghentikan motornya. Gotcha! Kali ini Steffi tahu Dewa tidak akan tega.
“Kenapa?”
“Mogok.”
“Terus?”
“Anterin pulang ya.”
“Emang gue ojek?”
“Bukan, kan ca…” Ucapan Steffi terpotong ketika Dewa mengangkat tangannya.
“Jangan sebut kata itu lagi atau gue pergi sekarang.”
“Eh iya jangan!”
“Lo udah telepon orang bengkel?”
“Udah, katanya udah mau nyampe.”
“Yauda lo pulang naik taksi aja.”
“Yah masa kakak tega udah mau malem cewek pulang sendirian, gak baik loh cewek pulang sendirian.”
“Lo kan bukan cewek.”
“Terus?”
“Orang gak waras.” Steffi sudah berulang kali menahan agar tidak marah mendengar ucapan ketus Dewa, setelahnya mereka terdiam, Dewa menghela nafas.
“Minta temen-temen lo jemput aja. Gue tungguin sampai mereka datang.”
“Gak bisa.”
“Emang udah coba ditelepon? Coba telepon depan gue.”
“Ih jadi orang gak percayaan banget.” Sinis Steffi, ia segera menekan layar ponselnya.
‘San, lo lagi dimana?’
‘Dirumah, kenapa?’
‘Mobil gue mogok.’
‘Oh, lo mau dijemput?’
‘Mau, tapi katanya lo lagi bantuin nyokap lo bikin kue? Gue gak enak ganggu, sebenernya sih udah ada Kak Dewa.’
‘Kak Dewa?’
‘Iya.’ Steffi berdoa agar Susan mengerti kode yang dia berikan.
‘Oh iya bener juga lo Stef, gue lagi bantuin nyokap, sorry ya, lo bareng Kak Dewa aja, hati-hati kalian.’
‘Bye Susan sahabat gue yang paling gue sayang.’
Dewa menatap curiga ke arah Steffi. “Kenapa? Masih gak percaya?”
“Dua temen lo yang lain?”
“Gak bisa bawa mobil.” Dewa mengusap wajahnya.
“Yaudah lo tunggu di dalam mobil aja, biar gue yang jaga disini.”
“Kenapa gitu?”
“Lo gak lihat tuh baju lo? Kurang bahan? Emang sengaja mancing niat jahat orang ya kayaknya?”
“Ini tuh style tahu! Huh!” Steffi memeletkan lidahnya, dengan langkah cepat, segera memasuki mobil setelah mendapatkan tatapan tajam dari Dewa.
“Tuh orang kayaknya suka makan cabe, mulutnya pedes banget!” ketus Steffi saat ia ada didalam mobil. Seffi melihat Dewa sedang bersandar di mobilnya, laki-laki itu tampan, Steffi sudah berjanji akan mendapatkannya, selain dia bisa memiliki kekasih, Dewa yang pintar itu pasti bisa mengajarkan berbagai mata kuliah, dan pastinya jika mereka bersama, nama Steffi akan populer.
Beberapa menit berlalu, dua orang montir datang dengan mengendarai motor, langsung menghampiri Dewa, kemudian berbincang dan memeriksa mobil tersebut. Steffi juga ikut keluar dari mobil dan menghampiri mereka, mata kedua montir itu langsung saja membulat sempurna melihat Steffi, dan itu membuat Dewa semakin menyadari betapa Steffi tidak peka.
“Yauda mas, berarti mobil saya bisa diantar ke rumah besok ya?”
“Wah kalo itu sih kak kita belum bisa pastikan, mungkin bisa lusa.”
“Oh yaudah gapapa, makasih ya mas.”
“Sama-sama mba,” kedua montir itu terlihat kikuk, pandangan mereka jadi sesekali melihat ke arah tubuh Steffi.
“Stef lo tunggu di motor gue aja, tinggal nyerahin kunci kan?”
“Iya, oke deh.” Balas Steffi.
“Mas ini tanda terimanya, disimpan jangan sampai hilang.”
“Oke makasih mas.” Dewa langsung saja pergi meninggalkan kedua montir itu dan menghampiri Steffi, kemudian Dewa melepas kemeja lengan panjang kotak-kotaknya, masih ada kaos berwarna putih yang tertinggal di dalamnya.
“Mau ngapain?”
“Kalo modelan baju lo gini terus, gue gak yakin lo bakal terus selamat.”
“Emang baju gue kenapa? Berbahaya gitu?”
“Lebih tepatnya mengundang bahaya, otak lo sebenernya ada gak sih? Apa pas pembagian otak lo telat makanya gak dikasih?”
“Iya, lo ambilnya kebanyakan, katanya lo pinter ya? Lo asdos ya?” tanya Steffi justru membahas yang lain.
“Dua montir tadi aja gak kedip liat lo, cewek itu harus bisa jaga harga diri dan kehormatannya dengan baik.” Ketus Dewa memberikan kemejanya.
“Tapi lo enggak, lo ngeliat gue kayak biasa aja, berarti lo bukan cowok ya?”
“Ternyata otak lo beneran gak ada. Cepet naik atau gue tinggal.”
“Gak mungkin lo tega,” Dewa justru menjalankan motornya pelan.
“Eh… iya…iya!” teriak Steffi karena takut ditinggal, ia segera naik dan menutup bagian paha sampai kakinya yang tidak tertutupi menggunakan kemeja pemberian Dewa.
“Jangan peluk-peluk, dan badan lo jangan nempel-nempel.” Ketus Dewa, baru saja Steffi akan memeluknya, menyandarkan kepalanya di punggu Dewa, tapi khayalannya hancur begitu saja ketika Dewa memberikan ultimatum padanya.
