BAB 3: SEANDAINYA BISA DEKAT
PMB hari kedua merupakan pengenalan mengenai ketiga jurusan yang ada di Global University. Tak perlu waktu yang lama bagi Steffi untuk mengantuk, ia sudah bosan di hari kedua ini, terlebih suasana hatinya sedang tidak baik. “Stef lo kenapa sih? Manyun terus?” Steffi hanya bisa menggeleng. Susan hanya menatap sahabatnya itu kebingungan, kemudian ia melihat sesuatu yang dapat membuat Steffi tersenyum. “Lo masih manyun kalo liat yang kayak gitu?” Susan segera memegang kedua pipi Steffi dan mengarahkan pandangannya kepada laki-laki disudut ruangan yang sedang duduk dan menulis. “Gebetan…” lirih Steffi kemudian bertingkah seperti seorang yang sedang jatuh cinta.
“Gue kira lo cuman bercanda, lo beneran suka?”
“Sejak kapan gue bercanda soal cowok yang gue mau? Gue janji ke kalian bakal dapet nomornya hari ini, gue udah follow instagramnya kemarin.” Bisik Steffi, ia tidak mau dihukum lagi.
“Terus di follback?” tanya Fita.
“Ya belum sih,”
“Lagian gak ada yang follback orang langsung tanpa dia kenal kan?” Steffi terkekeh,
“Bisa kalau dia tertarik.” Jawab Susan
“Berarti dia bukan cowok yang mandang fisik.” Sahut Steffi lagi.
“Kalian berempat.” Suara seseorang dari arah belakang membuat empat sekawan ini langsung diam tak berkutik.
“Dihukum lagi?” tanya Steffi menepuk jidat.
Setelah mereka berempat keluar, mereka bertemu dengan seorang senior sepertinya dia memiliki jabatan penting. “Menurut sertifikat yang kalian lampirkan saat mendaftar, kalian berempat juara tari modern tingkat nasional?” tanya perempuan dengan dengan almamater abu-abu dan sebuah dokumen di tangannya.
“Iya.” Jawab Steffi.
“Kalau begitu, kalian diminta bantuannya untuk melengkapi tim tari modern untuk flashmob nanti saat siang nanti, kalian akan diarahkan selama kurang lebih setengah hari ini. untuk materi dan hasil rekaman tentang seminar hari ini akan dikirimkan ke kalian, jadi kalian tidak perlu takut akan ketinggalan.” Ucapan itu membuat Steffi langsung tersenyum senang, sepertinya reaksi yang sama ditunjukan oleh Susan, Lulu, dan Fita.
“Oke kak.”
“Baik nanti ikuti rekan saya ya. Kalian juga akan mendapatkan makan siang sebagai partisipan.” Keempat sahabat itu melakukan high five.
*******
“Kita bisa.” Steffi mengulang kalimat itu untuk menyemangati dirinya dan ketiga sahabatnya, sudah lama mereka tidak melakukan dance bersama, terakhir saat SMA tingkat 2. “Kita pasti bisa.” Balas Susan.
“Ayo kalian.” Ucap salah seorang senior memberikan kode.
Mereka berempat segera mengikuti langkah senior-senior mereka yang telah menuju ke lapangan lebih dulu, ada beberapa kamera dan lampu untuk membantu pencahayaan. Ada juga beberapa properti dan tanaman.
Flashmob pun dimulai, semua calon mahasiswa mengikutinya dengan baik, keseruan ini selalu dinantikan setiap tahun ajaran baru. Semua larut dalam euforia hari ini, karena nanti malam dan besok mereka akan resmi menjadi mahasiswa Global University. Steffi melepas kerinduannya dalam setiap gerakan tari yang ia lakukan, tangan, kaki, dan tubuhnya bergerak sempurna sesuai irama dan koreografi yang telah diajarkan tadi, sampai tiba-tiba tubuhnya ditarik paksa seseorang.
‘PRANG!’
Suara lampu pecah terjatuh, hampir saja mengenai Steffi jika tidak ada yang menarik tubuhnya. Steffi menutup mata, setelahnya perlahan membukanya, ia merasa masih dipeluk oleh seseorang. Kemudian ia memberanikan diri untuk melihat siapa yang telah menolongnya. Matanya mengerjap berulang kali, memastikan penglihatan betul. ‘Dewa Merapi’
Semua mata tertuju pada mereka, sampai akhirnya musik mulai dikecilkan, dan suara bisik-bisik terdengar membuat laki-laki itu menjatuhkan Steffi dengan perlahan, kemudian pergi ke menjauh. Steffi tersenyum, ia tak menyangka kejadian ini mempertemukannya langsung dengan cowok yang selama ini menjadi incarannya.
“Stef, lo gapapa?”
“Gapapa, hati gue yang kenapa-kenapa.” Kekeh Steffi pada Susan.
“Ada princess yang bertemu prince chariming-nya?” Susan meninggalkan Steffi yang masih terpaku di tempatnya.
*******
“Steffi, maaf atas kejadian tadi ya, ternyata dari tim panitia kurang kuat mengikat lampu sorotnya. Sehingga jatuh.” Miss Nami selaku Koordinator acara mengucapkan maaf atas kesalahan teknis yang hampir saja membahayakan nyawa Steffi.
“Iya gapapa miss, untungnya saya masih hidup.” Miss Nami hanya bisa tersenyum. “Baiklah kalau begitu, kalian sudah melakukan yang terbaik hari ini, bahkan menyelesaikan flashmob dengan senior-senior kalian, ambillah makan siang kalian sebelum pulang ya.”
“Baik miss, terimakasih banyak.” Balas Steffi. Baru saja akan menuju ke ruang makan, Steffi melihat Dewa sedang berjalan menuju arah yang berlawanan.
“Kalian duluan.” Steffi segera berlari.
“Lo mau kemana?”
“Dapetin nomor telepon gebetan.” Balas Steffi, Susan hanya bisa menghela nafas disusul Lulu dan Fita yang menggeleng bingung.
Langkah kaki Steffi terhenti saat melihat Dewa akan bersiap menaiki motornya. “Kak Dewa!” panggil Steffi, laki-laki itu terdiam kemudian memutar tubuhnya sehingga menghadap Steffi. “Siapa ya?”
“Yang kakak tolongin tadi.”
“Terus?”
“Mau bilang makasih.” Ucap Steffi, Dewa mengangguk, kemudian Steffi kembali menghalangi jalan Dewa. “Kalau mau minta follback boleh?” tanya Steffi langsung pada intinya.
“Gak punya instagram.”
“Masih aktif 2 hari yang lalu, masih posting cover lagu.”
“Lo siapa sih?”
“Steffi Seadari, Ilmu Komunikasi, resmi jadi mahasiswi disini tapi besok.”
“Terus? Gue gak kenal sama lo.”
“Makanya kenalan.”
“Gue gak mau!” Dewa segera berjalan kembali, dan Steffi tidak semudah itu untuk menyerah. “Kalo HP punya?” tanya Steffi.
“Ha?” tanya Dewa menunjukan ekspresi bingung. “Bagi nomor HP nya boleh?” Dewa sudah frustasi dengan gadis yang tiba-tiba datang dan menganggunya, sungguh ia menyesal menyelamatkan gadis itu tadi.
“Gak punya HP.”
“Kalo telepon rumah?”
“Gak punya rumah.” Jawab Dewa ketus.
“Kalau gitu pulang bareng aja, biar gue tahu lo tinggal dimana.” Lanjut Steffi, bahkan ia melupakan jika Dewa adalah kakak tingkatnya.
“Lo ini sebenarnya siapa sih kok nanya-nanya nomor telepon? Dan lo kenapa?”
“Calon pacar?” Dewa terlonjak kaget. Mereka tidak menyadari jika Angga dan Radit mendengar semuanya, mereka hanya bisa kebingungan.
“Terlalu percaya diri.”
“Gue gak akan biarin lo pulang sebelum lo kasih nomor lo.” Dewa menatap sinis gadis yang sekarang merentangkan tangannya ini.
“Kalau gue kasih, lo janji gak ganggu gue?” tanya Dewa.
“Ya.” Jawab Steffi, tentu ia berbohong, susah payah mendapatkan nomor Dewa, ia pasti akan menghubunginya dan berusaha mendekat.
“Oke, mana HP lo?”
“Asik.” Steffi tertawa senang dan memberikan ponselnya. Dewa segera memasukan nomor telepon dan memberikannya kembali.
“Makasih calon pacar.” Ucapan itu membuat Dewa menatap bingung kemudian, melangkah pergi. “Gak waras!” Ucap Dewa.
“Gue masih bisa denger loh.” Steffi terkekeh.
*******
“Lo beneran dapet nomornya?”
“Tentu aja, Princess Steffi gitu loh, jangan diragukan kalo urusan cowok.”
“Emang ketua kebanggaan kita.” Ucap Fita.
Disusul Lulu. “Princess Steffi is the best!”
“Terus sekarang gimana?”
“Gue mau hubungi dia sekarang, pasti udah selesai makan malam.” Steffi segera menelpon nomor yang disimpan oleh Dewa tadi. “Gue loudspeaker biar lo semua denger.”
‘Halo.’
‘Halo Dewa, ini gue Steffi. Gue cuman mau ngucapin selamat malam dan makasih ya buat pertolongan lo, gue gatau kalau misalkan gak ada lo tadi gue udah tinggal nama doang kayaknya.’ Steffi ingin membuat pembicaraannya santai saja, Dewa pasti akan suka pada dirinya.
‘Gue juga mau minta maaf kalau tadi terlalu agresif sampai bilang lo calon pacar gue.’ Pernyataan ini membuat Susan, Fita, dan Lulu kaget.
‘Neng maaf, ini neng mau beli soto tangkar, soto ayam, apa soto campur ya?’
‘Beli soto? Ini bukan nomornya Dewa?’ Susan dan Fita sudah tertawa kecil.
‘Bukan neng, lagipula nama bapak itu Manto, bukan Dewa. Jadi neng mau pesen soto apa?’
‘Oh maaf pak, salah sambung saya, kirain teman saya, makasih pak.’ Steffi langsung saja mematikan sambungan teleponnya.
“Gue udah bilang kan, modelan kayak gitu mah gak bisa segampang itu lo dapetin Stef, bukan kayak cowok-cowok lain yang ada di kampus tadi. Yang ngeliat lo udah kayak mau nerkam.” Steffi seolah bingung.
“Pakaian lo terlalu mini.”
“Masih sesuai standar kok.”
“Standard lo sendiri.”
“Udah ah, gue lagi kesel nih San, gimana bisa gue minta nomor dia, tapi dia kasih nomor penjual soto?” Ketiga sahabatnya kembali tertawa.
“Udah lah cari cowok lain aja, jangan cowok baik kayak gitu, mana mau dia sama bad girl.” Susan memang punya mulut yang tajam.
“Udah pensiun jadi bad girl gue, mau jadi good girl aja.”
“Yakin? Yang kempesin ban mobil senior-senior yang menghukum lo? Yang bully anak-anak cewek yang ngomongin lo sama Dewa pas diacara tadi? Yang ngancem cowok-cowok pas ngegoda kita tadi sampe itu cowok lari dan lupa kalau dia bawa motor?” Susan menjelaskan itu semua, membuat Steffi hanya bisa terkekeh, itu memang dirinya, ia masih belum bisa berubah.
“Hebat Kak Steffi.” Elsa datang membawa cemilan dan minuman.
“Kok lo yang bawa? Bibi kemana?”
“Udah pulang, anaknya sakit, besok datang lagi pagi.”
“Oh, makasih.”
“Kalau Elsa pengen seberani Kak Steffi.”
“Jangan, sesat kakak lo.” Balas Susan. Semua tertawa, Steffi hanya bisa tersenyum, Elsa tidak boleh menjadi seperti dirinya, ia sudah gagal dalam banyak hal, sudah menyia-nyiakan hidupnya.
“Apalagi soal percintaan ya?” tanya Lulu tiba-tiba.
“Lulu…!” tatapan Steffi membuat Lulu ciut.
