Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 2: MERASAKAN PENASARAN

Global University merupakan salah satu universitas terbaik di Jakarta, dengan segudang prestasi yang telah ditorehkan. Walau hanya memiliki 3 jurusan, yaitu Ilmu Komunikasi, Manajemen, dan Desain Komunikasi Visual. Universitas ini juga mirip seperti asrama, pasalnya mahasiswa dan mahasiswinya tidak terlalu banyak, namun itu tidak mengurangi kredibilitasnya sebagai kampus unggulan.

Hari ini merupakan salah satu hari yang ditunggu oleh para calon mahasiswa baru, karena hari ini akan diadakan PMB (Penerimaan Mahasiswa Baru). Seluruh calon mahasiswa akan mengikuti PMB selama 3 hari. Salah satu calon mahasiswa tersebut adalah Steffi Seadari, ia sudah sangat siap masuk ke Global University dan melihat tantangan baru apa yang ia bisa jelajahi. Langkah kaki gadis ini begitu percaya diri ketika mahasiswa dan mahasiswi lain menunduk karena menghormati kakak kelas. Lapangan kampus sudah mulai penuh, Steffi sedang mencari gengnya. “Princess Steffi!” teriak seseorang.

“Halo The Pinkers.” Sapa Steffi saat melihat gengnya yang terdiri dari Susan, Lulu, dan Fita. “Selamat datang kembali, kembaran.” Ia merangkul Susan. “Gue udah muak homeschooling selama 3 tahun, dan pisah sama lo semua, pisah sama kembaran setan gue.” Susan membalas rangkulan Steffi.

“Well, kita ketemu lagi disini dan bersatu. Kamu merindukanku?” tanya Steffi sarkas kepada Susan dan hanya dibalas anggukan. “Gue gak lihat dimana dewa penyelamat lo? Aldo? Apa gue ketinggalan kabar?”

“Susan pasti pura-pura lupa, Aldo kan udah pilih Agatha dibanding Steffi.” Ucapan Lulu yang polos membuat Steffi menatap tajam kepada sahabatnya itu.

“Ups gue lupa, kalo udah ada barang yang lebih baru, yang bekas dibuang.”

“Rese lo! Lulu juga! Lihat aja ya, gue akan temuin cowok yang lebih dari Aldo, kurang dari…” Steffi menggantungkan ucapannya saat melihat seseorang memasuki gerbang dengan almamater berwarna abu-abu. Wajahnya bersinar karena bias cahaya matahari, gayanya berjalan membuat Steffi terpanah.

“Satu hari.” Lanjut Steffi setelah laki-laki itu berjalan melewati mereka.

“Ha?!” teriak Susan, Lulu, dan Fita.

“Princess Steffi kesayangan kita semua, lo udah gila ya? Ini kan hari pertama kita, masa iya udah bisa ketemu cowok yang lebih dari Aldo lagi, kalo lebih pinter sih banyak, tapi kalo yang lebih menjaga lo dibanding Aldo, lebih peduli ke lo dibanding Aldo, gue ragu.” Ucap Fita panjang lebar.

“Ssssttt… sejak kapan ya lo bertiga meragukan gue? Kita lihat aja nanti, gue udah ketemu sasaran empuknya.”

“OMG, belum resmi jadi mahasiswa kayaknya hari kita bakal buruk, di kampus gak ada buku pelanggaran kan ya? Yang di SMA aja udah penuh nama kita.” Ucap Fita pasrah.

“Btw, ini emang harus ada atribut pink nya gini ya? Bukannya kita harus sesuai jurusan warna orange?” tanya Lulu.

“Lulu!” teriak Steffi, Susan, dan Fita.

“Kan kita The Pinkers!” Sahut Fita

“Oh gitu ya.” Lulu baru mengerti.

“Terserah.” Steffi, Susan, dan Fita meninggalkan Lulu yang masih saja mencerna semuanya.

*******

Mata Steffi bukannya tertuju pada dosen yang sedang menjelaskan di atas panggung, namun ia justru mencari laki-laki yang ia lihat di lapangan tadi. “Lo nyariin siapa sih?” tanya Susan penasaran. “Cowok.” Jawab Steffi santai.

“Kita tuh lagi PMB bukan disuruh cari jodoh.”

“Sekalian.” Steffi membalasnya dengan senyuman, dengan teliti ia menyipitkan matanya agar lebih tajam lagi ketika melihat. “Ah ketemu!” Suara Steffi yang lumayan besar membuat beberapa orang di dekatnya menoleh ke arahnya, beberapa dosen yang berkeliling untuk mencari mahasiswa yang bermain ponsel atau tidur pun menatap Steffi dengan curiga. “Ah ketemu pensilnya, tadi gue cariin ngilang.” Steffi terkekeh, ia tentu saja harus kreatif untuk mencari alasan.

“Susan… lo liat kan cowok yang kacamata, pakai almamater abu-abu? Tuh yang itu.” Bisik Steffi.

“Itu hampir semua cowok pakai almamater abu-abu pakai kacamata.” Balas Susan jengkel.

“Oh iya juga ya, maksud gue lo liat tuh yang lagi pegang pena, yang lagi senyum.” Steffi mencoba mencari hal yang lebih spesifik lagi.

“Terus lo suka?”

“Iya.” Steffi menjawab dengan cepat sambil mengerlingkan matanya.

“Idih, cepet banget baru liat langsung suka.”

“Mungkin ini yang dinamakan jodoh, langsung klop.” Steffi memandang cowok dengan perawakan tak terlalu tinggi tapi ia yakin lebih tinggi darinya, dengan frame kacamata bulat, sedang memegang pena, dan tersenyum bersama senior-senior lain.

“Yang disebelahnya kakak sepupu gue, namanya Radit, sepupu yang menyebalkan sekaligus paling gue kangenin kalo lagi kumpul keluarga, gak ada dia sepi.” Steffi langsung tersadar, matanya berbinar, ini tanda ia bisa lebih cepat mendekati laki-laki itu.

“OMG, berarti Kak Radit temennya cowok itu dong?” tanya Steffi.

“Mungkin.”

“Yes!” semua mata lagi-lagi tertuju ke arah Steffi.

“Hei kamu! Dari tadi berisik, sekarang ikut keluar aula.” Seorang Dosen berbicara dengan Steffi. “Mati gue.” Ia melirik ke arah Susan, Lulu, dan Fita.

Steffi berjalan santai, dalam hati ia juga takut jika hukuman yang diberikan sulit. “Kamu ini baru menjadi calon mahasiswi saja sudah buat keributan, sekarang kamu ikut dengan senior kamu.” Dosen itu segera memberikan kode kepada seorang senior untuk segera menghukum Steffi.

“Sekarang kamu menyanyikan lagu Indonesia Raya, setelahnya kamu sebutkan butir-butir Pancasila.” Ucap beberapa senior yang ada disitu.

“Saya kak?”

“Iya siapa lagi.”

“Hukumannya gak ada yang lain?”

“Wah bener-bener, masih calon mahasiswi aja udah belagu. Cepat!” Penawaran Steffi dibalas ketus.

“Saya gak bisa nyanyi kak.”

“Gak bisa atau gak hafal lirik.”

“Keduanya sih.”

“Gak pernah ikut upacara lo ya?!”

“Ikut sih kak, tadi pagi, waktu SMA suka bolos, kadang bohong izin ke toilet.” Jawab Steffi jujur. Membuat kelima senior itu hanya menggelengkan kepala.

“Cepetan! Gue gak mau tahu, intinya lo buruan nyanyi.” Steffi yang mendapat perlakuan seperti itu hanya bisa menghela nafas, sambil dalam hati ia akan mengingat muka-muka senior itu dan akan membalasnya.

Dengan tenang, Steffi mulai bernyanyi, seluruh ruangan hening, suara Steffi yang indah mengalun dengan merdu, siapapun akan tahu bahwa suara Steffi sangat menyejukkan. Tanpa mereka sadari seseorang yang baru saja keluar dari toilet, termenung mendengar suara Steffi, warna suara yang belum pernah ia dengar, sekaligus membuatnya penasaran, siapa gadis yang sedang memunggunginya kini, ia pasti akan segera tahu, mahasiswa baru dengan suara merdu sepertinya pasti akan masuk ke Unit Kegiatan Mahasiswa Musik.

“Itu suara lo bagus.”

“Kayaknya kuping kakak salah.”

“Kurang ajar, lo mau bilang kuping kita berlima budek?”

“Mungkin.” Kekeh Steffi.

“Gue catet ini cewek, pasti nyari masalah kedepannya.” Steffi hanya bisa tersenyum.

“Sekarang lo sebutin butir-butir Pancasila, abis itu lo boleh masuk lagi ke aula.”

*******

“Gimana rasanya dihukum pas hari pertama?” tanya Susan ketika mereka keluar dari aula.

“Bosen dan seniornya menyebalkan.” Ejek Steffi, dibalas kekehan dari teman-temannya.

Sekali lagi mata Steffi menangkap seseorang yang membuatnya penasaran. “San, tadi kan lo bilang cowok itu temennya Kak Radit berarti, lo bisa dong combalingin gue sama dia?”

“Enak aja! Usaha sendiri lah. Lagipula kayaknya tuh cowok gak akan suka lo Princess Steffi yang terhormat.”

“Ya kan belum dicoba.”

“Iya tapi kan pasti gagal, jadi ngapain dicoba?”

“Susan kok gitu, masa buat Princess Steffi pesimis, kalo kata nyokap gue, kita gak akan tahu hasilnya kalau kita belum coba.” Lulu berucap seperti itu sementara Steffi sudah memperlihatkan wajah sedihnya sambil mendukung omongan Lulu.

“Oke gue cuman bisa kasih tahu, Kak Radit cuman punya 2 temen deket, yang satu namanya Dewa yang satu lagi namanya Angga, lo cari tahu sendiri, karena gue gak mau berurusan sama mereka.”

“Kok cuman nama? Status sama nomor telepon engga?” tanya Steffi.

“Lo kira gue biro jodoh? Udah ah, ayo balik sebelum hujan.” Susan langsung masuk ke mobil Steffi disertai ketiga sahabatnya.

“Lu, Fit, lo berdua udah catat semua yang penting kan?”

“Udah, nih udah direkam juga.”

“Pinjem ya.”

“Siap Princess.”

*******

“Dewa…Angga…Dewa…Angga? Yang mana sih?” tanya Steffi kesal. Ia baru saja mendapat pencerahan ketika melihat ponselnya diatas meja belajar. Steffi segera membuka aplikasi instagram dan mencari kedua nama yang disebutkan oleh Susan tadi. Tidak perlu waktu lama, ia langsung menemukannya.

“Angga Perwira… Kayaknya bukan yang ini deh, tadi kan dia pakai kacamata.”

“Dewa Merapi?” setelahnya Steffi tertawa. “Kok namanya lucu sih?” tangan Steffi asik menyentuh layar ponselnya, ada beberapa foto dari Dewa, kebanyakan adalah tentang musik dan juga ungkapan-ungkapan mengenai bisnis. “Menarik, dia suka musik dan bisnis, jurusan Manajemen. Ganteng!” Steffi tersenyum, walaupun tidak banyak foto dan video, tapi Steffi rasa ini cukup untuk membuatnya suka terhadap cowok ini.

“Kak…!” teriak seseorang dibalik pintu.

“Iya?” teriak Steffi.

“Ada Nenek, kakak mau ketemu?” Steffi terkejut, setelah sekian lama neneknya tidak datang ke Jakarta, akhirnya ia kembali. Sebetulnya ia malas jika harus bertemu dengan neneknya yang selalu saja merendahkannya, membandingkannya dengan satu-satunya sepupu yang paling ia tidak suka, ia hanya tidak ingin terus menerus direndahkan, seolah dia adalah anak angkat di keluarga besar Harmanto. Tapi, ia juga tidak mau menghindar, makai akan dianggap kalah, atau takut.

“Iya, sebentar kakak susul ke ruang tamu.”

Setelah merapikan rambut dan wajahnya, ia segera melangkahkan kaki turun.

Elsa adik Steffi sedang tertawa dengan neneknya, Steffi mendekat. “Nek…” sapa Steffi mencoba sopan.

“Oh, saya kira kamu sedang kuliah.”

“Baru pulang sehabis penerimaan mahasiswa baru.” Jawab Steffi kemudian duduk disamping Elsa. “Tentu, Danu dan Yunita tidak akan tega kamu tidak berkuliah tapi ingat Steffi, kamu di SMA saja sudah sangat memalukan, jangan gunakan uang orang tua dengan sia-sia, ya jika kamu tahu diri seharusnya kamu bisa mendapatkan beasiswa atau setidaknya bukalah usaha seperti Citra yang sudah sukses sekarang, ia dulu kuliah dengan beasiswa sehingga tidak terus menerus menghabiskan uang keluarga.” Steffi menahan rasa kesalnya, neneknya akan selalu seperti ini padanya, sejak ia kecil, ia selalu diremehkan dan dipandang sebelah mata.

“Kau kesal?” tanya Rahma, nenek yang selama ini membuat Steffi begitu sakit hati.

“Tidak.” Balas Steffi, mencoba meredam segala perih di hatinya.

“Kalau begitu berusahalah lulus, ya walaupun dengan hasil terburuk sekalipun, itu juga yang kau lakukan di SMA, berhentilah ke klub malam, dan belanja berlebihan atau masa depanmu akan hancur sehingga harus mengemis kembali kepada keluarga.”

“Cukup, Nek.” Steffi berucap pelan namun ia menekankan kata tersebut. Rahma tentu tidak terkejut, sedari kecil Steffi memang seorang pembangkang, ia menyesal memiliki cucu seperti Steffi.

“Jangan panggil saya nenek sampai kamu bisa buktikan, kamu lebih sukses dari Citra.”

“Nenek pergi dulu Elsa, jaga dirimu baik-baik, jangan terlalu dekat dengan kakakmu yang membawa pengaruh buruk itu.” Setelahnya suasana menjadi canggung, Rahma segera melangkahkan kakinya menuju mobil sedan mewah yang terparkir di halaman.

“Kak, jangan dengerin ucapan Nenek ya, apapun yang terjadi, kakak tetap jadi kakak Elsa yang paling Elsa sayang.” Elsa segera memeluk Steffi, setidaknya ia tahu masih ada satu orang yang tulus menyayanginya, adik kandungnya.

Mengingat ucapan neneknya tadi, Steffi miris, ia memang selalu kalah dari Citra tapi bukan berarti masa depannya buruk, ia tahu ia memang bukan perempuan baik-baik, tapi setidaknya ia tidak akan mengemis kepada keluarga, ia akan buktikan kalau dia lebih hebat dari Citra, walau ia tahu jalannya tidak akan mudah. Bayangkan saja Citra saat ini adalah manajer pemasaran di perusahaan internasional, ia juga punya usaha dibidang kecantikan, ia pintar dan selalu menjadi juara, berbeda jauh dengan dirinya yang bahkan belajar saja ia jarang, apalagi mau menyaingi Citra, tapi jangan remehkan seseorang dengan tekad dan rasa sakit yang begitu kuat. Steffi tidak akan menyerah, dan ia akan tunjukan pada neneknya itu, bahwa ia juga bisa sukses dengan caranya sendiri.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel