BAB 14: MERASA DIA BEGITU JAUH
Markas Marvin sepertinya masih sama, Dewa melihat ada mobil Marvin terparkir disana, tempat ini adalah rumah mewah dengan berbagai fasilitas. Tak ada ketakutan sedikit pun dari wajah Dewa, beruntungnya tidak ada penjagaan disini, Dewa masuk dengan mudahnya. “Marvin!” seru Dewa ketika melihat laki-laki itu sedang tertidur, masih mengenakan setelan kemarin saat Dewa menghajarnya, bahkan di tangan Marvin masih ada botol wine. Beberapa kali mengerjapkan matanya, dan karena wajah Dewa begitu silau akibat bias cahaya matahari, Marvin pun tersadar sepenuhnya.
“Dewa!” Marvin langsung terkejut, bahkan hampir memecahkan botol wine di tangannya.
“E…elo mau ngapain ke sini?”
“Bajingan! Lo masih tanya ngapain gue ke sini?!”
“Gue minta maaf, gue pikir lo gak akan peduli sama Steffi.”
“Gue gak peduli alasan lo, sekarang kasih ke gue memori video yang udah temen-temen lo rekam kemarin.” Dewa memajukan posisi tubuhnya, mencengkram kerah kemeja Marvin.
“Ta…tapi…” Pukulan Dewa mendarat satu kali.
“Lo masih gak mau?! Gue bisa buat lo dikeluarkan dari kampus dan sangat bisa buat lo masuk penjara karena tindakan lo kemarin ke Steffi.” Teriak Dewa didepan wajah Marvin, beberapa teman Marvin pun mulai terbangun karena suara Dewa.
“Oke…oke… gue akan serahin, meskipun gue pengen banget simpen, kalau-kalau gue kangen sama Steffi!” Ucap Marvin sambil memperagakan tangannya membentuk lekuk tubuh wanita, sepertinya Marvin tidak ada takutnya sama sekali, Dewa langsung menghempaskannya ke lantai.
“Wil, tolong ambilin memori kamera yang lo rekam kemarin, terus kasih ke Dewa.”
“Tapi bos, bukannya lo suruh kita semua jaga ini baik-baik.”
“Sssttt… udah ikutin aja kemauan musuh lama kita, gue gak mau mati muda.”
“Gue mau tahu pasti itu benar-benar memori berisi videonya atau bukan.” Dewa tentu saja sangat mengenal Marvin yang licik, musuhnya itu tidak mungkin mudah menyerah.
“Kasih liat, mungkin aja Dewa juga pengen buat dibayangin nanti atau memori ini bakal lo simpen Wa? Buat lo nikmatin sendiri? Gue belum selesai sih kemarin jadi videonya pasti gantung.” Dewa sudah tidak tahan Marvin begitu merendahkan Steffi, dengan cepat Dewa memberikan dua pukulan di wajah Marvin, teman-teman Marvin tidak mampu berkutik, mereka ragu ingin maju.
Darah keluar dari sudut bibir Marvin. “Cepat kasih ke dia.” Perintah dari Marvin langsung dilaksanakan, setelah diputar ternyata itu benar video berisi Steffi dan Marvin, Dewa sebetulnya ingin melaporkan Marvin ke polisi, namun ia harus membicarakan ini pada Steffi karena gadis itulah korbannya.
“Videonya cuman ada disini kan?! Lo gak nipu gue kan? Atau jangan-jangan lo udah gandain?!” tanya Dewa lagi-lagi menarik kerah di leher Marvin.
“Engga…mana sempat, habis dihajar sama lo kemarin, energi gue habis.” Ketus Marvin.
“Sampai lo semua bohong, abis sama gue!”
“Vin, lo kasih apa ke Steffi? Kenapa dia sadarnya lama?!”
“Cuman obat tidur biasa, lo kayaknya takut banget kalau gue suntikin narkoba ke Steffi, gue gak senekat itu kok, kalau dia gak berontak.” ucap Dewa kemudian melepaskan cengkramannya pada Marvin.
“Ini peringatan gue untuk pertama dan terakhir kalinya, jangan pernah ngelakuin kejahatan yang bisa merusak masa depan perempuan seperti apa yang lo akan lakuin ke Steffi kemarin, dan sekali lagi lo deketin Steffi, gue gak akan segan-segan buat lo membusuk di penjara atau bahkan dikucilin sama keluarga lo karena harus menanggung malu akibat semua perbuatan busuk lo.” Ancam Dewa.
“Satu lagi, lo harus minta maaf secara langsung sama Steffi.” Dewa menatap tajam wajah Marvin, kemudian segera pergi dari tempat yang tak pernah ingin Dewa datangi.
Setelah kepergian Dewa, hanya tawa Marvin yang terdengar. “Gue gak akan pernah mau mempermalukan diri gue sendiri, tunggu pembalasan gue musuh lama.” Setelahnya Marvin menatap tajam Dewa yang sudah meninggalkan halaman rumahnya.
*******
Motor Dewa sudah terparkir di depan gerbang rumah Steffi, ia melihat ponselnya dan ternyata ada beberapa panggilan tidak terjawab dari nomor yang tidak dikenal, ada chat yang masuk dari instagram dan whatsapp. Sungguh Dewa hanya bisa tertawa membacanya.
‘Kak Dewa, makasih ya udah nolongin gue.’
‘Dewa…’
‘Wa…’
‘DEWA MERAPI’
‘DEWA SI GUNUNG MERAPI YANG SOMBONG.’
‘DEWA BALES DONG!’
‘Dewa lo gak khawatir sama gue?’
‘Kalau gue gak bangun dari tidur gimana?’
‘Wa… follback dong.’
‘Wa, gue mau denger cerita semalam lengkapnya dari lo.’
‘Wa, Marvin brengsek ya! Tapi, gara-gara dia, lo jadi peduli sama gue.’
‘Wa, tuxedo lo wangi parfum yang gue suka, parfum apa sih yang lo pakai?’
‘DEWA MERAPI NYEBELIN!’
Mengapa gadis itu justru bereaksi seperti ini, bahkan setelah kejadian kemarin, dimana Steffi harusnya sedang hancur atau terpuruk. Dewa akhirnya memutuskan untuk memijat bel, kemudian gerbang dibukakan oleh Bi Asmi. “Eh Mas Dewa, masuk mas.”
“Makasih bi, Steffi nya ada?”
“Ada mas, dari tadi udah kayak orang gelisah, kadang marah, nangis, ketawa, bibi sama Non Elsa jadi takut, apa karena kejadian kemarin?” Pertanyaan Bi Asmi serta informasi itu membuat Dewa juga ikut cemas.
“Coba nanti saya bicara dulu ya bi dengan Steffi.”
“Baik mas, sebentar saya…” baru saja Bi Asmi ingin izin pamit dan memanggil Steffi yang ada di kamarnya namun Steffi sudah turun dengan semangat dari tangga.
“Kayaknya gak perlu bibi panggil, Non Steffi udah telepati, sampai tahu Mas Dewa udah datang, bibi permisi ya.” Setelah Bi Asmi pergi, Steffi langsung tersenyum, tapi ada air mata menggenang, gadis itu juga tidak tahu mengapa dia jadi selemah ini, apa karena selama ini yang melindungi Steffi hanyalah dirinya sendiri, mengetahui fakta itu, membuatnya sakit, namun ketika Dewa datang ke kehidupannya, ia tahu kalau hatinya mulai terpaut pada laki-laki itu.
“Apa masih ada yang sakit?” Tanya Dewa, Steffi menggeleng.
“Kaki lo udah sembuh?” tanya Dewa lagi melihat masih ada bekas luka pada kaki Steffi, namun gadis itu juga menggeleng, tapi yang membuat Dewa terkejut adalah saat Steffi maju dan memeluknya, sangat erat.
Dewa tidak membalas pelukan Steffi, ia hanya kaget, untuk pertama kalinya, ada perempuan lain yang memeluk dirinya selain mamanya, dan itu Steffi. Baru saja Dewa ingin melepaskan pelukan Steffi. “Boleh gak di posisi ini dulu, sebentar aja, gue cuman mau merasa aman.” Bisik Steffi disertai isakan, gadis itu menangis.
Tak lama setelah ucapan itu, tubuh Steffi sepertinya lemas, Dewa yang menyadari itu, segera merengkuh tubuh Steffi. “Ke taman aja ya. Gue gak mau ke kamar.” Steffi seperti sedang berbisik, Dewa terpaksa menurutinya.
Dalam gendongan Dewa, Steffi merasa sangat nyaman, ia memeluk Dewa, sedangkan Dewa jadi mengingat kejadian semalam. “Disini terlalu dingin, lo ke kamar aja ya.” Ucap Dewa khawatir, kemudian Steffi kembali menggeleng.
“Keras kepala!” ketus Dewa, kemudian Steffi tersenyum, ia sudah biasa mendengar ucapan Dewa yang ketus. Tapi, yang Steffi tak sangka, Dewa memberikan jaketnya pada Steffi kemudian duduk disampingnya.
“Wa…” panggil Steffi setelah diantara mereka hanya ada keheningan.
“Hmmm…”
“Semalam yang gue inget cuman sampai keluar dari toilet terus gue pingsan karena ada yang suntikin gue sesuatu, yang terakhir muncul wajah Marvin. Terus samar-samar gue inget lo gendong gue, dan terakhir gue inget ada wajah lo sebelum gue tidur.” Penjelasan Steffi membuat Dewa kesal jika teringat kejadian kemarin, jika saja ia bisa lebih cepat pasti langkah Marvin tidak akan sejauh itu.
“Pakaian gue yang bagian atas banyak sobekan, apa Marvin…?” Ucapan Steffi menggantung tepat saat Dewa menatap wajah gadis itu.
“Gak sampai ke situ,” Ucapan Dewa membuat Steffi lega, ia menghela nafas.
“Lain kali, jangan pernah deket-deket sama Marvin cuman buat bikin gue cemburu dan jangan bawa Marvin ke pesta sepupu lo.”
“Kok lo…”
“Gak perlu tanya gue tahu dari mana. Yang penting jangan, gue udah peringatin, mungkin berikutnya gue gak akan bisa bantu lo.”
“Iya gue tahu, gue bodoh kemarin, maaf udah bikin lo susah.”
“Tuh tahu.” Steffi jadi cemberut, ternyata Dewa tidak berubah, ia tak jadi lebih hangat, bahkan sepertinya lebih dingin.
“Gue belum sempat balikin ini.” Dewa menyerahkan kalung berbentuk ombak milik Steffi.
“Ah, gue sampai lupa, gak sadar kalau ini gak ada di leher gue, makasih ya, ini berharga banget buat gue.”
“Dari pacar?” tanya Dewa tiba-tiba penasaran.
“Dari orang tua gue, kenapa? Cemburu ya?”
“Gak!” ketus Dewa, Steffi langsung memasang wajah kesal.
“Yauda lo pulang aja sana, yang ada lo bikin mood gue hancur, bikin gue tambah sakit.” Dewa menatap Steffi aneh, kenapa gadis itu jadi berubah marah padanya.
“Gue juga mau kasih ini, kemarin apa yang Marvin lakuin ke lo, dia videoin, semalam gue gak sempat ambil karena dia kabur.” Steffi menerima memori kamera itu kemudian bingung.
“Kalau lo mau, kita bisa bawa ini ke kantor polisi, itu akan jadi bukti.”
“Dia bakal dipenjara?” tanya Steffi lalu Dewa mengangguk.
“Gue bersyukur karena Tuhan masih selamatin gue, lewat lo. Gue cuman gak pengen kejadian yang terjadi sama gue akan keulang sama perempuan diluar sana. Apa penjara adalah pelajaran terbaik?” tanya Steffi.
“Gue juga gak tahu, karena gak semudah itu seseorang berubah, harus ada alasan yang kuat untuk seseorang bisa merubah apa yang menjadi kebiasaan dan kesukaannya.” Ucapan Dewa membuat Steffi hanya menatap wajah laki-laki itu, tapi kenapa begitu mudah bagi Steffi untuk jatuh hati pada laki-laki dihadapannya ini?
“Kalau gitu gue mau video ini hilang dan gue pengen ketemu sama Marvin, gue harap ancaman gue nanti bisa buat dia seenggaknya bisa berpikir lebih jernih dan gak mengulangi hal ini.” Dewa mengangguk mendengar keinginan Steffi, dugaannya benar, Steffi sepertinya tidak tega memasukan Marvin ke dalam penjara apalagi jika melalui jalur hukum pasti dirinya sebagai korban akan ikut terseret bahkan nama kampus juga bisa buruk.
“Lo bisa patahin itu.” Ucap Dewa, Steffi segera mematahkannya, kemudian membuangnya ke tempat sampah.
“Wa… lo kemarin kok bisa ada disana?”
“Itu acara ulang tahun teman SMA gue juga, gue sama Marvin kan satu sekolah dulu pas SMA.”
“Oh, kok lo tahu gue ada di kamar itu?”
“Lama-lama lo kayak detektif, nanya terus. Gue balik ya, tadi kan lo ngusir.” Dewa beranjak dari tempat duduknya kemudian mengambil jaketnya.
“Baperan banget jadi cowok, yauda sana.” Steffi pun terlihat tidak peduli, ia justru menghentakan kakinya ke arah lantai kemudian mengerucutkan bibirnya.
“Wa… gendong masuk…dingin…” Steffi pikir Dewa akan berbalik setelah melihatnya kesal, atau ketika mendengarnya kedinginan tapi laki-laki itu tetap saja berjalan.
“Dewa…mau tolongin gue sekali lagi gak?” tanya Steffi menghadang jalan Dewa.
“Tolongin apa?” tanya Dewa.
“Ini.” Steffi menunjukkan undangan pesta kenaikan jabatan Citra, kemudian Dewa menghela nafas kemudian menepis dengan lembut ponsel yang ada digenggaman Steffi dan mengambil jaketnya, ternyata benar dugaan Steffi, Dewa masih tetap tidak peduli dengannya, tidak ingin dekat dengannya, apalagi punya perasaan kepadanya.
Perlahan punggung tegap Dewa menghilang, seiring dengan deru mesin motornya yang meninggalkan halaman rumah Steffi. “Gagal lagi…” lirih gadis itu kemudian memeluk tubuhnya sendiri dan masuk ke dalam rumah.
