BAB 13: SEANDAINYA DIA ADA
Harum aroma masakan soto daging memasuki indera penciuman Steffi, ia mulai membuka matanya perlahan, perutnya sudah keroncongan. Walau kepalanya masih pening, namun semuanya sudah lebih baik dibanding kemarin, ah jika mengingat kemarin semuanya sangat kacau, ingatan Steffi hanya berhenti sampai wajah Marvin, bergantian dengan wajah Dewa, pasti dia sudah gila sekarang. Tapi Steffi berusaha untuk ingat apa yang terjadi kemarin, saat ia melihat bajunya, ia langsung terkejut, bajunya sudah diganti dengan baju tidur, apa mungkin?
“Aaaaa…!” teriak Steffi, membuat Elsa dan Bi Asmi masuk dengan terburu-buru.
“Kakak kenapa?”
“Semalam siapa yang anter pulang gue?” tanya Steffi.
“Kak Dewa.”
“Ha?! Aa……!” teriak Steffi setelah keterkejutannya, ia merengek, mana mungkin ia dalam keadaan yang mungkin saja mabuk atau sangat buruk itu, Dewa bisa mengantarnya pulang.
“Ih kakak udah inget semuanya?”
“Inget apa?!” selidik Steffi pada adiknya itu.
“Gak boleh kasih tahu dulu kata Kak Dewa?”
“Kalian ngobrol? Ngobrolin apa? Aduh…” Steffi sangat panik, mengapa Dewa mengantarnya pulang? Apa yang sebenarnya terjadi semalam.
“Cepet kasih tahu.”
“Abis kakak makan ya, dari semalam kakak belum makan. Aku suapin.” Elsa mengambil piring berisi nasi dan menuangkan beberapa sendok kuah soto beserta dagingnya.
“Non, bibi siapkan air panas dulu ya.”
“Iya bi, yang banyak ya bi, saya mau berendam” jawab Steffi.
“Baik non.”
Setelah kepergian bibi, dengan mata menyelidik Steffi menatap Elsa. “Gue kenapa semalam? Gue sekacau itu kah?” Tanya Steffi membuat Elsa menghela nafas, ia tahu akan menyerah dengan Steffi, kakaknya itu harus mendapatkan apa yang dia mau termasuk informasi, kecuali jika bersama Elsa mungkin ia akan mengalah, tapi berhubung ini adalah hal penting yang harus Steffi ketahui, Elsa merasa harus memberitahunya.
“Kata Kak Dewa, kakak hampir diperkosa.”
“Ha?!” teriak Steffi membuat piring yang di tangan Elsa hampir saja pecah.
“Sialan emang si Marvin! Bajingan! Brengsek!” berbagai umpatan itu membuat Elsa hanya bisa memandangi kakak perempuan satu-satunya itu.
“Gue akan bikin perhitungan sama dia, gue akan buat dia menyesal karena macam-macam sama gue…”
“Sial! Gue pikir cuman mimpi tahu gak Dewa dateng ke sini, ternyata bener.”
Setelah marah dan berteriak mengumpat Marvin akhirnya Steffi bisa tenang. “Kak Dewa itu yang pacar kakak kan?”
“Belum, baru calon.”
“Oh… pantes dia juga bilang bukan semalem.” Ucapan Elsa membuat Steffi menghela nafas.
“Gue ngelakuin hal bodoh apa gak?”
“Hmm… ngelarang Kak Dewa pulang. Bilang kalo kakak gak mau dia pergi dan kakak bilang kalau kakak gak mau sendirian.”
“Mati gue, mati!” Lagi-lagi Steffi gusar, bahkan saat ini ia sudah mengacak-ngacak tempat tidurnya, namun matanya tertuju pada tuxedo hitam yang ada di tepi tempat tidurnya.
“Ini punya siapa?”
“Kak Dewa sih harusnya, pakaian atas kakak semalam sobek-sobek.”
“Shit! Perfect banget image gue hancur depan dia. Udah fix dia gak akan pernah mau sama cewek kayak gue!” Steffi mengambil bantal dan membenamkannya di wajahnya.
“Tapi dia perhatian banget kok.” Lanjut Elsa, Steffi langsung mengangkat kepalanya. “Ya dia kasih nomornya, gara-gara gak ada laki-laki di rumah ini, katanya kalau ada yang gak beres, Elsa bisa hubungi dia.”
“Dia kasih nomor teleponnya?”
“Iya.”
“Ke lo?”
“Iya.”
“Astaga setengah mampus gue minta tuh nomor, giliran kondisi gini aja baru dikasih.” Cibir Steffi.
“Dia juga bilang tolong berikan makanan yang hangat pas kakak bangun dan terus temenin kakak, baik banget ya Kak Dewa.” Ucap Elsa membuat Steffi merasakan pipinya menghangat.
“Kak makan sotonya dulu yuk, Elsa pegel.” Ucap Elsa manja.
“Iya sini adek kesayangan kakak, sayang…sayang… yang paling baik hati.” Tiba-tiba suasana hati Steffi jadi berubah, ia akan segera bertanya bagaimana kronologisnya pada Dewa dan saat ke kampus besok, ia akan datang untuk menghajar Marvin, ia berjanji akan mematahkan hidung laki-laki bejat itu.
********
Hangat terasa di seluruh tubuh Susan, seperti ada selimut di atas tubuhnya yang baru saja diletakan, tapi ia teringat bahwa ia terakhir tertidur di sofa. Perlahan matanya mengerjap, silau cahaya matahari dari jendela sedikit mengganggu pemandangannya, namun ia segera sadar, siapa yang sekarang sedang meregangkan tubuh di dekat jendela itu.
Susan beranjak bangun dan duduk, Angga menyadari adanya pergerakan itu. “Sorry buat lo kebangun.”
“Lo udah sadar? Gimana keadaan lo?”
“Udah bisa ngehajar balik orang-orang yang ngehajar gue semalem sih.” Kekeh Angga.
“Jangan!” sentak Susan membuat Angga kaget.
“Lo bisa meninggal tahu gak?!” ketus Susan lagi, ia jadi salah tingkah sekarang.
“Makasih ya udah mau ke sini dan nunggu sampai ketiduran.”
“Gara-gara HP lo ketuker sama Kak Radit, gue pikir dia yang kenapa-kenapa.” Ucap Susan.
“Radit aman, gue udah telepon dia tadi pagi, katanya bakal nyusul kesini bareng Dewa. Lo bisa pulang kalau lo mau.” Ucap Angga.
“Gue tunggu mereka dateng aja.” Ucap Susan, kemudian Angga mengangguk. “Oh iya biaya perawatan gue disini berapa? Biar gue ganti.”
“Jangan pikirin itu dulu, lagian lo kenapa sih baru aja sembuh udah gerakin badan kayak tadi?”
“Gue gapapa lagi, cuman terkejut aja kemarin, lagian mereka curang, gue sendiri dan habis minum wine, eh mereka rame-rame, bawa kayu segala lagi, ya gue kalah.” Ucap Angga santai, sementara Susan meringis takut dan menutup kedua matanya dan bahkan ia juga segera menutup kedua telinganya, ia tidak bisa membayangkan kejadian itu.
Angga mendekat dan meletakan kedua tangannya di atas tangan Susan yang sedang menutup telinga. Hal itu membuat Susan terdiam, aliran hangat dari tangan Angga membuatnya tidak berkutik.
“Kirimin nomor rekening lo ya, gue mau bayar hutang.” Bisik Angga membuat Susan langsung terkejut dan hampir saja terjatuh karena ia mundur dengan tidak seimbang, tangan Angga langsung mendekap pinggul gadis itu, berakhir dengan tubuh Susan dalam rengkuhan Angga.
Pintu ruang perawatan terbuka, nampaklah Radit dan Dewa datang bersamaan, Susan dan Angga yang terkejut segera menjauhkan diri, terlihat sangat canggung. “Astaga Susan dan Angga, kalian pagi-pagi sudah berbuat seperti itu? Sungguh kalian terlalu.” Ucap Radit membuat Susan segera mencubit sepupunya itu.
“Ini semua gara-gara lo!” ketus Susan lalu melipat kedua tangannya didepan dada.
“Ya maaf, namanya semalem gue mabok. Lo semaleman disini?” tanya Radit, pertanyaan tak terduga ini membuat Susan kikuk.
“Iya, soalnya kalau gak ada keluarga yang bayar administrasi, gue gak akan ditangani.” Jawab Angga, ia tahu Susan akan sulit menjawabnya.
“Oh gitu, emang ya sepupu gue paling cantik dan baik hati.” Radit segera merangkul Susan dan langsung saja dihindari oleh gadis itu.
“Makasih ya San.” Ucap Dewa, kemudian Susan mengangguk.
“Ngga, makasih banyak ya, gara-gara gue malah lo yang kena sasaran. Ini kunci mobil lo.” Dewa memeluk Angga dan memberikan kunci mobilnya.
“Santai bro, Steffi gimana? Aman?” tanya Angga.
“Steffi? Steffi kenapa?” Tanya Susan.
Dewa langsung memijat kepalanya, bagaimana menjelaskan ini pada Susan. “Steffi hampir diperkosa Marvin.” Ucap Dewa.
“Ha?!” teriak Susan memekakan telinga ketiga laki-laki dihadapannya, Radit segera menutup mulut Susan dengan telapak tangannya.
“Kok bisa? Udah gue duga tau gak sih tuh cowok bajingan! Steffi juga sih keras kepala, gara-gara frustasi.” Ucap Susan menghela nafas sambil duduk.
“Frustasi?” tanya Angga.
“Dia tuh udah terlanjur bilang kalau minggu depan di acara kenaikan jabatan sepupunya, dia bakal dateng sama pacarnya, nah nama dan ciri-ciri Kak Dewa yang disebutin, mau gak mau dia harus berusaha supaya gak malu, atau dia akan semakin dianggap remeh sama keluarganya, ya tapi udah semua cara dicoba tetap gagal. Sampai dia kepikiran mungkin Marvin bisa bantu dia…” kata-kata Susan menggantung.
“Bantu apa? Jadi pacarnya? Pura-pura ke pesta itu jadi Dewa?”
“Kemungkinan terburuk ya dia minta Marvin untuk pura-pura jadi Kak Dewa, tapi kalau selama ini dia cuman minta Marvin untuk pura-pura deket, supaya Kak Dewa cemburu, mungkin kakak juga sadar akan hal itu.” Ucap Susan, ia tidak mau membongkar semuanya, tapi ia sudah sangat kesal, Steffi sahabatnya yang sangat keras kepala itu akhirnya harus memiliki pengalaman buruk dengan laki-laki mesum seperti Marvin.
Dewa hanya diam mendengarkan itu semua, ia mencerna setiap ucapan Susan. “Maaf jadi ngomong ini semua ke kalian terutama Kak Dewa. Kalau gitu gue pamit mau ke rumah Steffi, dia baik-baik aja kan?”
“Harusnya aman, Dewa dan kita berdua nolongin dia kemarin.” Ucap Radit, Dewa masih tak bergeming, ia hanya bingung, sebenarnya kenapa Steffi sampai berbuat sejauh ini, dan kenapa perempuan itu melibatkan Dewa dalam dalam urusan dengan sepupunya itu?
“Makasih ya.” Ucap Susan kepada ketiga laki-laki itu.
“Bareng aja San, gue juga mau ke rumah Steffi nih, mau balikin tas sama sepatunya, kemarin ketinggalan.” Ajak Radit, Susan mengangguk sebagai jawaban.
“Gue ikut, tapi lo yang nyetir ya.” Ucap Angga memberikan kunci mobilnya pada Radit.
“Lo kan masih sakit, gue sama Kak Radit anter lo balik aja, abis itu baru ke rumah Steffi.”
“Ehem… perhatian banget…ehem….sepupu sendiri aja suka diabaikan.” Sindir Radit.
“Gue gapapa lagi, cuman luka begini.”
“Belagu banget, semalem aja pingsan.” Ketus Susan kemudian meninggalkan ruangan, disusul tawa Radit.
“Gue gak ikut, ada yang harus gue urus.” Ucap Dewa segera merapatkan jaketnya
“Yauda Wa lo hati-hati.” Ucap Radit
“Kabarin gue soal kondisi Steffi.” Ucap Dewa menatap kedua sahabatnya, dan dibalas dengan anggukan.
*******
Bunyi bel di pintu gerbang membuat lamunan Steffi terganggu, ia yang dari tadi mencoba menelepon Dewa namun tak diangkat jadi penasaran, siapa yang bertamu siang ini. Steffi melihat dari jendela, rupanya itu Susan, Angga, dan Radit, namun tak tampak ada Dewa.
Dengan segera Steffi menuruni tangga menuju pintu utama rumahnya. “Bi tolong bukain ya, itu temen-temen saya, oh iya bi sama nanti tolong siapkan makanan ya, saya mau ajak mereka makan bersama.”
“Baik non.” Bibi segera membukakan pintu gerbang dan mempersilakan ketiga tamu Steffi untuk masuk ke dalam rumah.
“Stef!” teriak Susan langsung memeluk sahabatnya itu.
“Idih jadi mellow lo!”
“Lo udah gila ya! Gue tuh khawatir tahu gak?!” ketus Susan.
“Iya…iya gue minta maaf sampe buat lo sedih gini.” Susan segera menghapus air matanya, ia betul-betul tidak bisa membayangkan sahabat kecilnya ini akan dijahati oleh pria macam Marvin.
“Stef, gimana kabar lo?” tanya Radit.
“Baik kak,” Steffi tersenyum.
“Oh iya ini tas sama sepatu lo.” Ucap Radit.
“Makasih banyak kak, maaf jadi ngerepotin.” Mata Steffi seperti mencari, ada yang mengganjal, kurangnya kehadiran seseorang yang dipikirkannya sedari tadi pagi.
“Nyariin Dewa ya?” tanya Angga, seketika Steffi terdiam.
“Dia ada urusan, jadi gak bisa datang. Tapi, gue yakin dia juga ikutan senang kalau lo dalam kondisi baik.” Ucap Angga.
“Sibuk banget ya? Sampai gue telpon juga gak diangkat.” Ucapan itu tak bisa dibantah oleh Angga maupun Radit.
“Udah lo jangan mikir macam-macam, sekarang kita pikirin siasat buat kasih pelajaran ke cowok brengsek gak tahu diri itu.” Ketus Susan, membuat Angga dan Radit mengerutkan dahi.
“Lo berdua mau ngapain?”
“Buat mukanya babak belur, tendang kemaluannya, ngehajar dia sampai dia memohon, sekaligus kasih dia pelajaran untuk gak mengulangi hal bejat kayak semalem.” Ucap Steffi.
“Wah gila sadis banget kalian.” Ucap Radit.
“Biar Dewa yang bantu selesaiin ya.” Ucap Angga.
“Gak perlu! Gue yang punya masalah sama Marvin dan gue juga yang harus selesaiin ini sendiri tanpa melibatkan dia lagi.” Sinis Steffi, bagaimana ia tidak kesal, setelah menolongnya kemarin Dewa justru menghilang sekarang, dengan alasan ada urusan, memangnya dia tidak ingin tahu keadaan Steffi, setidaknya ia harus menjawab panggilan Steffi, tapi ini tidak sama sekali.
“Non, makanannya sudah siap.” Ucap Bi Asmi.
“Kita makan dulu yuk, udah disediain sama bibi.”
“Aduh pas banget sama jam makan siang ya. Makasih Stef.” Radit sangat bersemangat, sementara Susan hanya menepuk dahinya dengan telapak tangan dan Angga hanya menggeleng, sepertinya mereka sudah tahu kebiasaan Radit.
Di meja makan, Susan duduk berhadapan dengan Angga sementara Steffi dengan Radit, mereka mulai menikmati soto, empal daging, dan bala-bala. “Stef, San, kalo gue boleh saran, biar Dewa aja lah yang urus, pasti beres.” Ucap Radit.
“Gak!” ketus Steffi.
“Kalau lo pakai cara itu, yang ada lo sama Susan bisa dikeluarin dari kampus.” Ucap Angga.
“Gue gak peduli.” Ucap Steffi.
“Menurut gue itu setimpal sih.” Timpal Susan.
“Maksud gue, kita harus main cantik, nah Dewa paling paham deh tuh.” Ucap Angga.
“Kenapa sih Dewa… Dewa…Dewa terus, dia tuh mana peduli sama gue, kalau dia peduli, dia akan ke sini atau minimal dia akan jawab telepon gue.” Kesal Steffi.
“Oh ada tamu ya Kak Stef? Halo semua.” Sapa Elsa yang baru saja turun dari tangga.
“Waduh adik lo cantik banget Stef,”
“Dia udah punya pacar.” Sahut Steffi, membuat Elsa malu.
“Yah, kakaknya udah punya Dewa, adiknya udah punya pacar, terus gue sama siapa?”
“Satpam cewek di komplek ini sih single kayaknya, apa baru cerai kemarin ya?” tanya Steffi sengaja mengejek Radit.
“Oh iya ngomong-ngomong soal Kak Dewa, tadi dia habis telepon, nanyain kabar kakak. Soalnya aku baru sempat lapor ke dia tentang kakak, katanya kalau kakak marah-marah terus senyum-senyum, mungkin karena efek obat tidur.” Ucapan Elsa polos membuat semua mata tertuju pada Steffi.
“Dia telepon lo? Tapi gak angkat telepon gue?” tanya Steffi kesal, kemudian Angga dan Radit langsung mengecek ponsel mereka, ternyata ada beberapa chat dan panggilan dari Dewa. Sementara Elsa mengangkat kedua bahu kemudian berjalan menuju kamar mandi.
“Males kali ngomong sama lo.” Ucap Susan membuat Steffi semakin kesal.
“Tapi, untuk kali pertama gue lihat Dewa semarah itu dan sekhawatir itu, dan untuk pertama kalinya semenjak dia bertobat, dia mau berurusan sama Marvin.” Ucap Radit menggelengkan kepala tidak percaya. Mendengar hal itu, Steffi seperti berada di atas awan, artinya Dewa memperhatikannya.
“Makanya gue bilang Dewa gak akan tinggal diam, gue yakin 100% Marvin akan sulit setelah ini.” Anehnya senyum Steffi semakin lebar, dan hal itu membuat Susan bingung. “Lo dikasih obat tidur tapi kayaknya pengaruh ke otak lo deh, jadi gila.”
“Emang udah tergila-gila sama Dewa Merapi.” Ucap Steffi kemudian mendapat tatapan bingung dari ketiga orang dimeja makan.
