BAB 12: MERASA INGIN TETAP TINGGAL
Mobil sedan abu-abu itu berhenti di sebuah rumah di komplek perumahan elite, dengan segera Dewa memijat bel yang ada di dekat gerbang. Tak lama pintu terbuka dan seorang pembantu rumah tangga muncul. “Maaf cari siapa ya?”
“Saya temannya Steffi, saya izin ingin membawanya masuk, karena ia dalam keadaan tidak sadarkan diri.” Ucap Dewa, Bi Asmi langsung terkejut dan melihat ke arah mobil, ia mengangguk dan membukakan gerbang. Dewa kembali masuk ke mobil, dan memarkirkan mobil di halaman rumah Steffi.
“Non Steffi kenapa mas?”
“Nanti saya ceritakan ya bi, tapi saya mau bawa dia masuk dulu, apa boleh saya bertemu kedua orang tuanya? Atau keluarga lain?”
“Langsung bawa masuk ke kamar non aja mas,” Bi Asmi mengarahkan pada kamar yang berada di lantai 2 rumah ini.
“Kedua orang tua non lagi di luar negeri, ada adiknya saja non Elsa,”
“Bi… Kak Steffi ya?” tanya Elsa keluar dari kamarnya, langsung terkejut melihat Steffi dalam gendongan Dewa tak sadarkan diri, kemudian ia segera membantu membukakan pintu kamar Steffi, dan Dewa meletakan dengan hati-hati tubuh Steffi.
“Sepertinya Steffi dalam pengaruh obat tidur atau alkohol, badannya agak demam sedikit, dan ada beberapa luka lecet di kakinya karena heels yang dikenakan. Jika dia bangun, tolong langsung diberikan makanan yang hangat dan mudah dicerna ya.” Bibi dan Elsa mengangguk, senakal-nakalnya Steffi, ia tidak pernah pulang dalam keadaan yang mengkhawatirkan seperti sekarang ini.
“Kamu adiknya Steffi ya?” Tanya Dewa.
“Iya, kakak siapa?”
“Saya teman satu kampusnya. Boleh kita bicara sebentar?” tanya Dewa kini menyelimuti tubuh Steffi.
“Boleh kak, bi tolong rawat Kak Steffi dulu ya.”
“Baik non,”
Baru selangkah saja Dewa berjalan, tangannya ditahan oleh Steffi, mata gadis itu perlahan terbuka, kemudian pegangannya semakin erat. “Wa…” lirih Steffi.
“Apa yang sakit Stef?” tanya Dewa.
“Jangan pergi…” lirih Steffi lagi. “Gue takut sendirian…”
Kedua ucapan itu membuat Dewa terdiam, ia merasakan ketakutan besar pada diri Steffi dibalik sikap angkuh dan beraninya.
“Gue gak kemana-mana, nanti balik lagi, lo istirahat ya.” Ucapan Dewa membuat Steffi perlahan melepaskan cekalannya, dan kembali menutup mata.
Dewa dan Elsa kini berjalan menuju ruang tamu. “Jadi kakak pacarnya Kak Steffi ya?” tanya Elsa langsung, karena Steffi pernah bilang kalau nama pacarnya Dewa.
“Oh bukan, saya hanya seniornya di kampus aja. Elsa, kakak kamu habis melalui satu hal yang buruk, ia hampir saja diperkosa oleh salah satu teman kampus kami, jadi saya mohon untuk tidak menanyakan banyak hal ketika nanti sadar sepenuhnya.” Ucapan Dewa itu bagai bom bagi Elsa, wajahnya terkejut, bibirnya kelu tak mampu berkata apapun.
“Mungkin dia akan teringat kejadian buruk itu, walau dibawah pengaruh obat tidur, jadi tolong dampingi dia terus, harusnya besok pagi ia sudah sadar. Mungkin itu dulu yang bisa saya sampaikan, ini nomor saya, karena dirumah ini tidak ada laki-laki, kalau ada sesuatu yang tidak beres, kamu bisa menghubungi saya.” Dewa memberikan nomornya, yang langsung diketik ulang oleh Elsa pada ponselnya.
“Saya pamit pergi dulu.” Ucap Dewa.
“Kakak gak mau lihat Kak Steffi lagi sebelum pulang?” tanya Elsa, yang dibalas gelengan oleh Dewa, akan semakin sulit meninggalkan gadis itu jika Dewa harus melihat wajahnya lagi.
“Hati-hati ya kak.” Elsa mengantar Dewa sampai ke gerbang.
“Kasihan Kak Steffi…” lirih Elsa saat kembali masuk ke rumah.
*******
Club masih dipenuhi beberapa orang, khususnya anak buah Arnold yang berjaga, disana juga masih ada Angga dan Radit. “Gue susulin Dewa dulu ya, dompet sama kunci motornya masih di gue. Lo tunggu disini ya,” ucap Angga, melihat Radit sepertinya masih belum sadar karena efek wine yang diminum oleh sahabatnya itu.
“Gue ikut dong…” ucap Radit.
“Gak, lo masih mabok gitu, udah lo jagain, kalau-kalau Dewa ke sini dan butuh bantuan, sekalian gue juga mau nyelidikin tentang Marvin sama gengnya.”
“Ah jahat lo!”
“Nold, gue titip Radit ya, gue mau susul Dewa dulu.”
“Oh iya-iya, gue yakin Dewa gak akan tinggal diem sih, lagipula itu ceweknya Dewa ya?” Angga juga bertanya-tanya, mengapa Dewa sebegitu marahnya, tapi tidak mau memperpanjang urusan, ia pikir Dewa melakukan itu atas nama kebaikan, ia pun akan melakukan hal yang sama jika ada kejahatan di sekitarnya, terlebih jika ia mengenal korban.
“Gue duluan ya, kalo Dewa ke sini, tolong kabarin gue.”
Angga menuju ke motor Dewa, ia jadi penasaran kemana kaburnya Marvin, apa mungkin markas mereka masih sama seperti dulu saat SMA.
“Harusnya dia anter Steffi pulang ke rumahnya, berarti akan lewat jalan ini.” Gumam Angga saat di perjalanan.
Samar-sama Angga melihat ada sesuatu yang menghalanginya di jalan, rupanya itu beberapa orang, apa mungkin itu preman? Kenapa jalanan ini begitu sepi? Tidak biasanya.
“Turun lo!” teriak seseorang saat Angga menghentikan motor Dewa, dengan hati-hati, ia mencoba mencari celah agar bisa kabur, badannya cukup lelah sehabis bertarung dengan teman-teman Marvin, masalah apalagi ini.
“Siapa lo semua?!”
“Lo udah ikutan cari masalah sama bos gue!” teriak orang-orang itu. Angga tersenyum, ternyata ini adalah anak buah Marvin.
“Bilang sama bos lo, jangan bejat!” balas Angga segera turun dari motor. Kemudian ia langsung diserang dari berbagai arah.
Saat ini mereka menggunakan beberapa balok kayu untuk menyerang Angga. Awalnya Angga bisa melawan tapi lama kelamaan tenaganya habis, dan ia sudah tidak berdaya lagi, kepalanya pusing, dan perlahan ia merasakan sakit luar biasa di sekujur tubuhnya, hanya suara sirine yang ia dengar sebelum akhirnya kesadarannya hilang seluruhnya.
*******
Susan sedang membuat kerajinan tangan dari tanah liat, ia menggunakan paviliun mini di samping rumahnya sebagai tempat ia melepas penat, hobinya ini menurun dari papanya yang sangat suka membuat kerajinan dari tanah liat, sayang karena pekerjaan papanya sekarang yang menjadi seorang pejabat negara membuat ia tak punya waktu banyak untuk memiliki waktu sendiri. Biasanya mamanya juga akan menemaninya membuat berbagai macam kerajinan, dan kembali di sayangkan, mamanya yang membuka toko kue online jadi semakin sibuk. Jadi disinilah Susan sendirian.
“Kak Radit kemana sih? Katanya mau pulang lebih cepat buat beliin cat. Tuh sepupu satu-satunya emang tukang bohong.” Susan kesal karena Radit selalu ingkar janji padanya, ia berjanji akan mengadukan sepupunya itu pada om dan tantenya, ketika mereka kembali dari luar negeri.
“Oh atau dia lupa ya? Coba deh gue telepon.” Susan bermonolog untuk berpikiran positif kali ini.
Pada dering yang ketiga ada suara perempuan masuk di indera pendengarannya.
‘Halo, apa benar ini dengan Susan, keluarga dari saudara Radit?’
‘Betul, ini siapa ya? Kak Radit nya mana?’
‘Saya suster dari Rumah Sakit Medika, saudara Radit baru saja masuk ke ruang perawatan karena mengalami penganiayaan oleh sekelompok orang, mohon ibu bisa segera datang untuk melihat dan menyelesaikan biaya administrasinya.’
Susan menutup mulutnya tak percaya. ‘Baik sus, saya akan segera ke sana, tolong pasien ditangani lebih dulu.’
‘Baik bu.’
Susan segera berlari menuju rumahnya, ia tidak bisa membayangkan apa yang terjadi pada sepupunya itu, dengan cepat ia mengambil tas dan kunci mobilnya. Ia berharap Radit dalam keadaan yang tidak buruk, semoga sepupunya itu baik-baik saja.
********
Tiba di rumah sakit, Susan langsung mencari ruang perawatan Radit, setelah masuk ia terkejut, bukan Radit yang terbaring di sana namun Angga, sahabat Radit, orang yang menolong Susan waktu itu, bagaimana mungkin.
“Dengan keluarga korban?” tanya Dokter.
“Dok, ini sepertinya salah paham, dia bukan Radit, dia itu Angga sahabat Radit.”
“Oh apa mungkin ponsel mereka tertukar, karena kami hanya menemukan ponsel dan motor korban di tempat kejadian, ini ponselnya.” Susan menerima ponsel itu, sepertinya benar ponsel Radit dan Angga tertukar.
“Iya dok sepertinya ponsel mereka tertukar.” Susan terkejut ketika melihat keadaan Angga dari dekat, wajahnya penuh luka.
“Apakah Anda mengenal korban?”
“Kenal dok, tapi saya bukan keluarganya,” ucap Susan.
“Kalau begitu kami belum bisa menanganinya, karena butuh pembayaran dimuka.”
“Saya yang akan bayar dok, tolong segera ditangani ya.” Setelah ucapan Susan, dokter mengangguk paham.
“Sebenarnya dia kenapa?” tanya Susan lebih kepada dirinya sendiri, lalu ia memilih pergi meninggalkan Angga yang terbaring.
Selesai melakukan pembayaran, Susan kembali melangkahkan kaki menuju kamar perawatan Angga. Sebetulnya ia bisa saja meninggalkan Angga sendirian dan menelepon Radit untuk segera datang, namun hati kecilnya memintanya untuk tinggal dan menemani Angga, entah karena gadis itu ingin membalas bantuan Angga waktu itu atau laki-laki ini berhasil menarik perhatiannya.
Dilihat dari dekat wajah Angga cukup tampan dan itu membuat jantung Susan sedikit berdebar, ia memutuskan untuk memalingkan wajahnya, kemudian mengambil ponsel Radit dan mencari kontak Angga. Beberapa kali mencoba menghubungi tapi tidak diangkat, sekarang Susan jadi khawatir, apa mungkin ada sesuatu yang buruk, yang juga terjadi pada sepupunya itu?
