BAB 3 – Sacrifice
"Kamu harus mikirin kakakmu, Mabella! Kamu tahu ‘kan gimana kondisi kakakmu? Coba kamu bayangkan bagaimana perasaannya kalau dia tahu kamu sudah punya pacar, sedangkan dia belum? Sekalinya punya pacar dulu, malah disakiti. Kakakmu pasti akan sedih hatinya."
Lagi dan lagi Tsabitha harus mengalah dengan sang kakak yang bernama Mabella yang usianya juga terpaut delapan tahun dengannya. Sejak kecil gadis itu selalu dibiasakan untuk lebih mengalah sama Mabella yang sering sakit-sakitan, pendiam dan introvert, sehingga tak banyak orang yang dekat dengannya. Berbanding terbalik dengan dirinya yang selalu terbuka, periang dan mempunyai banyak teman.
"Bitha, dengarkan Ibu, Nak. Asal kamu tahu, sebenarnya sejak awal, Bapak dan Ibu ingin menjodohkan kakakmu Mabella sama Moreno. Kamu masih ingat ‘kan kalau kami berdua sering minta Reno untuk mengajak Bella keluar berdua dengannya. Semua itu karena ini, Sayang ...." Perempuan tua itu menghela napas cukup dalam lagi. "Bapak dan Ibu juga sudah ngobrol serius soal perjodohan ini dengan orangtua Reno, bahkan nggak lama lagi mereka akan datang untuk melamar kakakmu."
Lidah gadis itu tersekat, hingga membuatnya susah bernapas. Detak jantungnya bergemuruh sangat kencang, begitu mendengar ucapan Shanti soal perjodohan Moreno dan kakaknya, Mabella. Ingin rasanya dia menangis. Namun, ditahannya sekuat tenaga, dia bukan anak yang cengeng!
"Ibu harap kamu bisa ngerti, Bitha. Kasihan kakakmu, saat ini usianya sudah hampir 28 tahun, tapi nggak ada seorang pun pria yang dekat dengannya. Jangankan ngajak dia nikah, ngajak kakakmu pacaran saja, rasanya sangat jarang, sedangkan kamu ... Ibu yakin kamu bisa dengan mudah mendapatkan pengganti Reno, bahkan mungkin lebih baik dari laki-laki itu."
"Kenapa harus Reno, Bu? Kenapa Ibu nggak njodohin Kak Bella dengan orang lain?" Suara Tsabitha terdengar serak sambil menahan rasa sakit di dada karena menahan tangis.
"Kamu kira apa tujuan Reno datang ke Indonesia? Apa hanya untuk menjalankan bisnisnya bareng Bapakmu?" sahut Shanti sambil menggeleng pelan dan menyeka ujung matanya yang berair.
"Tapi apa Reno tahu tentang hal itu? Aku rasa dia nggak tahu ...."
"Nggak lama lagi dia akan tahu. Suka nggak suka, mau nggak mau, kamu harus bisa menerima semua kenyataan ini, Bitha. Kamu harus bisa melupakan dia, karena dia bukan jodohmu, Sayang. Ibu sangat berharap kamu bisa ngerti, ini semua demi kakakmu, kamu paham ‘kan maksud Ibu?"
Gadis itu tidak bisa lagi menahan tangis di dalam dada, dadanya terasa sakit, tubuhnya pun lemas. Berat rasanya untuk melupakan dan merelakan Moreno begitu saja, karena laki-laki itu adalah cinta pertamanya yang benar-benar serius dan tulus mencintainya. Tsabitha menangis sesenggukkan.
"Bitha, kakakmu butuh seseorang seperti Reno, Sayang. Seseorang yang bisa melindunginya, apalagi jantungnya sangat lemah. Ibu nggak bisa ngebayangin kalau seandainya dia tahu tentang hubunganmu sama Reno, perasaannya pasti sangat terluka dan-- ..."
"Darimana Ibu tahu kalau perasaannya akan terluka?” sela Tsabitha cepat disela tangisnya yang meledak, “Apa Kak Bella juga suka sama Reno?"
"Kakakmu itu nggak hanya menyukainya, Sayang. Tapi dia sangat mengagumi laki-laki itu. Ibu sudah membicarakan soal perjodohan ini dengannya, kakakmu sangat senang sekali waktu mengetahuinya, bahkan kondisinya jadi semakin stabil begitu dia tahu soal ini," jelas Shanti penuh semangat. "Kamu lihat sendiri, ‘kan? Kalau akhir-akhir ini kakakmu jarang sekali sakit-sakitan! Wajahnya pun berseri-seri, nggak pucat dan kusam seperti dulu. Malam ini aja dia masih nglembur kerja di kantor bareng Bapakmu," tegas Shanti senang, hingga seberkas sinar tampak terpancar dari kedua manik mata perempuan tua itu.
Tsabitha bisa merasakan kebahagiaan ibunya, bahkan sang ibu juga penuh semangat saat menceritakan kondisi Mabella yang mulai mengalami banyak perubahan, sejak kenal sama Moreno. Laki-laki itu memang telah memberikan pengaruh positif untuk kakaknya. Mendengar semua yang diceritakan oleh sang ibu, gadis itu kembali merasa dadanya semakin sakit dan sesak. Direbahkan tubuhnya di sofa besar sambil berusaha mengontrol napasnya satu per satu untuk mengurangi rasa sakit di dada yang terasa semakin nyeri.
"Ibu tahu, kalau semua ini pasti nggak mudah buat kamu. Ibu minta maaf, Sayang. Ibu harap kamu juga nggak akan marah sama kakakmu. Atas nama kakakmu, Ibu minta maaf,” lanjut perempuan tua itu sambil mengatupkan kedua tangannya di depan dada, “Ibu akan sangat berterima kasih kalau kamu bisa melepaskan Reno untuk kakakmu."
Tsabitha hanya mampu memejamkan mata dan merasakan hangatnya airmata yang mengalir di pipi. Permintaan Shanti benar-benar membuatnya shock, apalagi ketika perempuan berusia setengah abad lebih itu mengusap airmatanya dan ikut menangis seperti dia, seolah-olah wanita tua itu bisa merasakan apa yang dirasakannya saat ini.
"Kamu mau ‘kan, Sayang?” pintanya lagi, “kamu mau ‘kan melakukan semua ini untuk kakakmu? Untuk Bapak dan Ibu juga?"
Shanti sangat berharap putri ke duanya ini bisa memenuhi permintaannya. Digenggamnya tangan gadis itu yang terasa dingin. Tsabitha hanya terdiam tanpa mampu berkata apa-apa. Dadanya masih terasa sakit. Namun, akhirnya sebuah anggukkan kecil pun dilakukan, membuat sang Ibu sangat senang dan bertubi-tubi mengucapkan rasa terimakasih yang tak terkira sambil menciumi punggung tangan sang putri, memeluknya lalu menciumi kedua pipinya secara bergantian. Namun, gadis itu bergeming dan tidak memberikan respon apa-apa. Tubuhnya terasa lemas, serasa semua tulang lolos dari raganya, hingga tinggal jiwa yang sepi tak bernyawa. Hanya satu keinginan Tsabitha, dia hanya ingin Bapak dan Ibunya bahagia.
***
Malam itu hujan masih turun cukup deras di luar sana, sementara suara riuhnya pesta masih terdengar samar-samar di bawah, tiba-tiba pintu kamar terkuak kembali, dilihatnya Shanti sedang berdiri mematung sambil memegang handle pintu kamar, menatapnya seraya bertanya, “Bitha, kamu nggak papa, Sayang?" Bagaimana bisa perempuan tua itu bertanya seperti itu ke padanya? Karena dia tahu benar apa yang sedang dirasakan oleh putrinya ini. Ingin rasanya Tsabitha menjerit dan berteriak dengan lantang ke sang ibu sambil berkata kalau dirinya tidak baik-baik saja. Namun, lagi-lagi yang keluar dari bibir mungilnya hanyalah sebuah ucapan klise yang menyenangkan hati perempuan paruh baya itu.
"Aku nggak papa, Bu. Cuma pusing sedikit, mungkin karena kehujanan tadi di luar, jadi agak kurang enak badan," sahutnya sambil pura-pura memijat keningnya pelan. Gadis itu teringat kalau sebenarnya tadi setelah ijab kabul pernikahan Mabella dan Moreno, rencananya akan diselenggarakan di area kebun belakang, dengan tema pesta kebun, tapi gagal, gara-gara hujan yang tanpa permisi tiba-tiba mengguyur kediaman mereka. Para tamu pun bergegas masuk ke dalam rumah. Untung saja hari itu dekorasi ruangan di rumah sudah disiapkan dan disetting sedemikian rupa sebagai rencana kedua untuk pernikahan kedua mempelai, sehingga kemeriahan pesta pernikahan mereka tidaklah berkurang.
Semua tamu masih bisa enjoy menikmati acara demi acara yang digelar sambil menikmati makanan dan minuman yang disajikan di sana. Namun, sepertinya alam semesta ini enggan memberikan restu untuk pernikahan pasangan sejoli itu, karena hujan tidak juga berhenti sampai malam ini. Padahal sebentar lagi ada pesta resepsi yang akan diselenggarakan di sebuah gedung yang sudah mereka pesan jauh-jauh hari.
"Kamu sudah minum obat? Apa masih sakit?" tanya Shanti sambil meraba kening putrinya, untuk mengecek kondisinya.
"Sudah nggak kok, Bu. Sudah enakkan, aku nggak papa. Apa semuanya baik-baik saja, Bu? Bagaimana resepsinya nanti? Apa jadi-- ...?"
"Jadi dong!” sela Shanti cepat, “sebentar lagi kami mau berangkat, kamu bisa ikutan, ‘kan? Kalau kamu sudah baikkan, kamu harus datang. Jangan bikin kakakmu sedih, dia pasti bakal tanya macam-macam tentang kamu kalau kamu nggak nongol di hari pernikahannya," sahut perempuan tua itu dengan senyumnya yang mengembang lebar. "Jadi Ibu harap, datang yaa nanti! Dan satu lagi, sekali lagi Ibu mau ngucapin terima kasih ... akhirnya kamu bisa meyakinkan Reno untuk menikah sama kakakmu. Terima kasih banyak, Sayang," ucapnya sambil menggenggam tangan gadis itu lembut dan mencium kening putri keduanya ini.
Tsabitha hanya tersenyum dan membalas genggaman erat tangan sang ibu, dia berusaha meyakinkan perempuan tua itu kalau semuanya akan baik-baik saja. Dan malam itu benar saja, dengan diwarnai rintik-rintik hujan yang masih mengguyur kediaman mereka, Reno dan Bella tetap melangsungkan resepsi pernikahan mereka di sebuah gedung yang di dekorasi dengan konsep yang mewah, persis seperti permintaan mempelai wanita.
Dari kejauhan Tsabitha bisa melihat betapa serasinya pasangan suami istri yang baru saja ditasbihkan ini. Dengan model baju pengantin yang simple dan elegan warna putih gading yang dipadupadankan dengan warna emas, membuat penampilan Mabella semakin memukau dan cantik, serasi dengan ketampanan Moreno yang hanya mengenakan setelan kemeja, vest dan celana kain dengan warna yang senada hitam dan putih gading, plus dasi kupu kupu warna emas sebagai aksesoris pelengkapnya. Selama prosesi resepsi pernikahan itu, gadis itu bisa melihat bagaimana Reno terlihat santai dan nyaman menjalani semua ritual yang diadakan, padahal tiga bulan yang lalu, laki-laki itu menolak dan tidak mau melakukan ini semua. Reno menolak mentah-mentah perjodohan ini.
