Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 2 – Bohong

Setengah jam sudah Tsabitha menunggu Moreno yang sedang menemui Miss Medusa di ruangannya. Gadis itu jadi gelisah dan cemas, memikirkan apa yang sedang dibicarakan sama teman barunya dengan Miss Medusa di dalam. Sedari tadi dia hanya bisa bolak-balik sambil sesekali mengintip melalui jendela yang tertutup tirai transparan. Ingin rasanya menyeruak masuk ke dalam ruangan itu. Namun, hati kecilnya melarang dan memintanya untuk sabar menunggu. Dan benar saja, lima belas menit kemudian, pintu ruangan Miss Medusa terbuka. Tampak Moreno keluar dari ruangan itu sambil menyeringai senang dan memberikan kode ibu jarinya ke arah Tsabitha, diikuti oleh Miss Medusa yang berjalan mengekor di belakang.

"Oohh jadi ini adikmu ...?" Bu Hana menatap ke arah Tsabitha dengan wajah yang sinis dari balik kacamata kucingnya. Rasanya seperti diskrining dari atas ke bawah saat perempuan paruh baya itu menatapnya seperti itu, membuatnya jadi salah tingkah di depan Bu Hana si Miss Medusa, sementara Moreno terlihat santai dan begitu menguasai keadaan.

"Iya, Bu Hana, ini Tsabitha! Tsabitha Humaira Halim salah satu murid anda. Seperti yang saya bilang tadi, kalau semua ini bukan kesalahannya, tapi semua ini gara-gara saya, jadi-- ..."

"Baiklah! Mana sketsamu?"

Gadis itu bergegas menyerahkan map plastik berwarna pink yang berisi sketsa desain baju buatannya ke Bu Hana dengan senyum manisnya yang tulus. Bu Hana menerima map plastik itu dengan tatapan ketus yang tak lepas menatap ke arahnya, wajah arogan itu sekilas terlihat.

"Ini, Bu. Sketsa buatan saya ...."

"Okee, aku terima! Tapi lain kali, kamu nggak boleh telat lagi yaa! Aku paling nggak suka sama mahasiswa yang pelupa apalagi teledor! Ingat itu!"

"Tentu, Bu Hana! Saya pastikan dan saya jamin adik saya ini nggak akan lupa lagi dengan tugasnya, bukan begitu, Bitha?" Tsabitha hanya bisa mengangguk pasrah, membenarkan ucapan Moreno sambil tersenyum manis yang kali ini dipaksakan untuk Bu Hana. "Kalau begitu, kami pamit pulang dulu, Bu. Sekali lagi terima kasih atas perhatiannya, mariii ...."

Bu Hana hanya mengangguk dan tersenyum manis ke arah laki-laki itu, sebuah senyuman yang sangat jarang diberikan oleh Miss Medusa selama dia jadi mahasiswanya. Tsabitha jadi heran dan penasaran dengan apa yang telah dilakukan oleh Reno ke Miss Medusa tadi?

"Tunggu, tunggu ... itu tadi apa yaa? Kok kamu bisa sih bikin Miss Medusa senyum kayak tadi?" tanya Tsabitha polos sambil menghentikan langkahnya begitu mereka tiba di dekat mobil. Moreno hanya tersenyum manis hingga kedua dekik di pipinya terlihat dengan jelas, membuat hatinya jadi semakin teriris melihat ketampanan laki-laki yang berdiri tidak jauh darinya.

"Memangnya kenapa? Apa Miss Medusamu itu jarang senyum kayak tadi?"

"Jarang banget! Makanya aku tadi nanya, kok kamu bisa bikin dia senyum kayak gitu, emangnya kamu apain dia di dalam sana tadi?" sahutnya sambil berjalan menghampiri Moreno.

"Rahasia dong! Hanya aku dan Bu Hana yang tahu, kamu kepo yaa?"

"Yaaa iyalaaah! Aku ‘kan jadi pengin tahu, emang kamu kasih apa Miss Medusa itu?"

Moreno menyeringai senang seraya berkata, "Hmm ... aku kasih kerlingan sang perjaka!" ujarnya sambil menyender di mobil BMW hitam itu.

"Iiisssh gombal! Nggak percaya! Masa cuma dikasih kerlingan aja, dia bisa lunak kayak gitu, mana mungkin?"

"Lhooo! Yang penting buktinya, ‘kan? Buktinya dia nggak marah sama kamu dan bisa senyum lagi, jadi sudah jelas, ‘kan?” sela Moreno sambil mengerlingkan sebelah matanya, genit. “Sudah aaah! Nggak usah dibahas! Sekarang lebih baik kita pulang! Aku laper niii, dari tadi cacing di perutku ini pada meronta, lagian ayahmu nungguin aku juga, ‘kan?"

***

Pertemuan pertamanya dengan Moreno, selalu menjadi kenangan terindah bagi Tsabitha, apalagi Moreno adalah laki-laki pertama yang mampu mengisi kekosongan hatinya setelah sekian lama menjomblo. Gadis itu bergegas mengusap airmatanya yang membasahi pipi kala teringat dengan semua kenangan manis tersebut, kenangan terindahnya bersama cinta pertama.

"Kak Bitha! Ayooo, turun ke bawah!" teriak Wanda lantang. "Ditunggu sama Ibu di bawah! Ayooo, buruan, Kak!" Lidia pun ikut menimpali. Suara kedua adiknya, Wanda dan Lidia yang baru berusia tujuh belas dan enam belas tahun terdengar sangat nyaring di telinga, begitu keduanya menyeruak masuk secara tiba-tiba ke dalam kamar. Malam ini kalau boleh jujur, rasanya enggan dia turun ke bawah berbaur dengan seluruh tamu undangan.

"Iyaaa, adikku sayang! Nanti Kakak nyusul, kamu duluan aja yang ke bawah, Kakak mau ngrapiin rambut dulu!" ujarnya malas sambil menyisir rambut panjangnya yang hitam legam.

"Buruan ya! Aku capek nii kalau disuruh bolak-balik terus ke atas, tau ‘kan gimana Ibu?"

"Iyaa, iyaa, nanti Kakak turun, tenang aja ...."

Kedua adiknya itu bergegas ngeloyor keluar dari kamar, begitu mendapat kepastian dari sang kakak yang akan segera turun ke bawah. Sementara Tsabitha sendiri begitu mendengar kata Ibu, dirinya kembali teringat pada peristiwa tiga bulan yang lalu, ketika Ibu mulai mengetahui hubungannya dengan Moreno yang tidak sekedar hubungan antara kakak adik belaka. Tsabitha teringat kenangan tiga bulan yang silam saat Bu Shanti—ibunya—tahu soal hubungannya dengan Moreno Darmais—salah satu anak kolega Pak Halim yang bekerja sama alias merger dengan perusahaan sang ayah.

"Bitha, kamu dari mana saja barusan?" Gadis itu tersentak kaget saat Shanti mencegat di ruang tamu. Malam itu dia baru pulang dari berpergian bareng Moreno.

"Dari rumah temen, Bu,” sahutnya bohong, “dari rumah Yossie, ngerjain tugas, emang kenapa?"

"Bener kamu baru dari rumah Yossie? Nggak bohong sama Ibu?” sela Shanti cepat sambil memegang tangan putrinya, “sini duduk sini, deket Ibu!" Tsabitha pun menurut dan menghempaskan tubuhnya di sofa yang ada di ruang tamu. Entah mengapa malam ini, rumahnya tampak sepi, padahal baru jam 9 malam. Apa kedua adiknya sudah tidur terlebih dulu atau mungkin malah pergi kencan seperti dirinya?

"Coba sekarang kamu telpon Yossie, bilang sama dia kalau Ibu mau bicara dengannya."

Gadis itu jadi panik, tidak biasanya ibunya seperti ini. Sebelah alisnya pun melengkung ke atas, heran. "Idiiih, Ibu ini apaan sih? Mau ngapain pake telpon-telpon Yossie segala?" Gadis itu benar-benar merasa terancam, ketika sang ibu mendesak memintanya untuk menghubungi Yossie—teman satu kampus.

"Ibu cuma mau mastiin aja, apa bener kamu pergi ke rumah Yossie temenmu itu, bukannya jalan-jalan di mall sama seorang cowok?"

"Jalan-jalan di mall? Kata siapa?" tanyanya panik dan jadi semakin salah tingkah di depan perempuan tua itu.

"Kata Ibu! Emang kenapa? Bener, ‘kan?"

Tsabitha hanya bisa terdiam dan tidak berusaha membantah ucapan Shanti, karena rasanya percuma saja kalau dia terus-terusan bohong padanya. Perempuan paruh baya itu selalu bisa melihat kebohongan di mata anak-anaknya. Gadis itu jadi semakin gelisah saat manik mata sang ibu menatapnya dan mencari jawaban yang pasti. "Ibu tau dari mana?" tanyanya sambil tertunduk pasrah.

"Ibu lihat sendiri tadi sore. Kebetulan tadi sore Ibu arisan sama teman-teman Ibu di mall Taman Angsa. Kami memang sengaja ngadain arisan di sebuah restaurant Korea yang ada di sana. Kebetulan juga Ibu duduk di dekat jendela, jadi Ibu bisa lihat siapa aja yang lewat di depan resto itu!" Lidah Tsabitha terasa kelu ketika Shanti menceritakan kepergiannya ke sebuah mall sore tadi, di mana dia juga baru saja pulang dari sana untuk makan malam bareng Moreno. "Siapa yang bareng kamu tadi di mall, Bitha?"

Tsabitha hanya bisa terdiam dan menenggelamkan wajahnya, selama ini dia memang berusaha menutupi hubungannya dengan Moreno di depan keluarga. Gadis itu belum siap untuk mengungkapkan siapa laki-laki special yang telah mengisi hatinya selama setahun ini. "Jawab pertanyaan Ibu, Bitha! Siapa yang bareng kamu tadi di mall? Apa bener itu Moreno?"

Gadis yang mengenakan blouse dan rok A-line selutut dengan warna senada merah muda itu hanya bisa mengangguk pelan sambil menunduk, masih menenggelamkan wajahnya demi menghindari tatapan mata sang ibu yang menyorot tajam. Tsabitha merasa seperti sedang diadili dalam sebuah persidangan dan tinggal menunggu eksekusi apa yang akan dijatuhkan padanya nanti.

"Jadi bener itu Reno? Moreno Darmais?” ucap Shanti sambil menepuk jidat seraya berkata, “Yaa Tuhan! Jadi Moreno itu ... pacar kamu?" tanyanya lagi sambil menutupi mulut yang sedikit menganga dengan tangannya.

"Iyaa, Bu ...." sahut gadis itu lirih.

"Yaa Tuhan! Bitha, usia kalian ‘kan terpaut jauh!"

"Memangnya kenapa, Bu? Kami hanya beda delapan tahun saja, memangnya apa yang salah?” Tsabitha memberanikan diri untuk bersuara dan membela hubungannya dengan Moreno, “banyak kok pasangan lain yang beda usia sampai puluhan tahun, juga nggak papa. Lagian Bitha ‘kan juga udah gede. Aku berhak milih siapa yang jadi pacarku."

Shanti menghela napas dalam lalu memegang tangan putrinya. "Tapi nggak bisa gini juga, Sayang. Kamu nggak boleh egois," ujarnya lirih dengan nada yang terdengar sedih.

Sebelah alis Tsabitha kembali melengkung ke atas dengan ekspresi wajahnya yang heran, "Egois ...? Maksud Ibu?"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel