Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5. Mayat

Hari ketiga di kapal dan harus melewati neraka nyata. Alula, tidak lagi berteriak. Ia hanya mematung, seperti mayat saat ia kembali disetubuhi berulang-ulang. Rasa sakit tidak lagi membuatnya berteriak. Rasa benci dan keinginan untuk mati, yang membuatnya seperti itu.

Hari keempat di kapal dalam perjalanan ke ibukota.

"Ishhh, itu agak menjijikkan! Jangan menyentuhnya lagi, biarkan luka itu sembuh agar dia masih bisa dijual ke rumah pelacuran walau dengan harga murah," ujar Tuan Chan, yang jijik melihat bagaimana kondisi kewanitaan Alula yang bengkak dan bernanah. Jelas itu menunjukkan, betapa bejat tindakan mereka.

"Benar! Aku pun tidak berselera. Apalagi ada bau busuk yang menguar dari sana," timpal Tuan Mo, merasa mual.

"Han! HAN!" teriak Tuan Chan, memanggil Han.

"Y-Ya Tuan," jawab Han yang sudah datang menghampiri.

"Ambil kotak obat dan bersihkan luka itu!" perintah Tuan Chan.

"T-Tapi Tuan, aku tidak bisa–"

"Tuang saja obat di sana!" timpal Tuan Chan, memotong ucapan Han dan melangkah pergi diikuti oleh Tuan Mo.

Han, ketakutan dan dengan kaki gemetar ia melangkah ke dalam bangunan kapal untuk mengambil kotak obat.

Namun, saat Han keluar, Pan sudah berada di dekat gadis itu dan menyetubuhinya. Pan sama sekali tidak jijik dengan kondisi luka yang mulai terinfeksi itu.

Lula hanya diam, saat tubuhnya kembali dijamah walau dengan luka-luka itu. Kesadarannya hilang timbul, ia senang dan berharap segera mati. Ya, ia harus  mati sebab ia tidak mungkin dapat hidup setelah melewati semua ini.

"T-Tuan! D-Dia terluka," seru Han, tergagap. Ia ngeri melihat bagaimana darah terus mengalir keluar, di setiap hentakan pinggul Pan.

"DIAM!" maki Pan.

Teriakan Pan, menarik perhatian Tuan Chan dan Mo.

"CUKUP! HENTIKAN! AKU BILANG, HENTIKAN SEKARANG!" teriak Tuan Mo.

Mau tidak mau, Pan melepaskan penyatuan dan berdiri, lalu memakai celananya kembali.

"Jangan berani menyentuhnya lagi!" ancam Tuan Mo. Bukan karena kasihan atau hati nurani, tapi lebih karena ia tidak mau rugi. Setidaknya, ia harus mendapatkan sedikit uang dengan menjual gadis itu saat tiba di ibukota.

Setelah itu, Alula ditinggalkan sendirian tetap di sudut geladak itu. Han yang selalu teratur datang untuk memberinya makan dan minum. Namun, Alula memuntahkan kembali semua yang dimasukkan ke dalam mulutnya.

Setiap mendekati Alula, Han akan berderai air mata karena rasa malu dan bersalah.

Hari kelima.

Alula, dapat bernapas lega. Tidak ada yang datang untuk menyetubuhinya lagi dan itu membuatnya merasa lega. Walau, itu dibayar dengan luka ditubuhnya.

Yang ia lakukan saat tersadar adalah memandang langit dan memohon agar segera mati. Tubuhnya lemas dan terasa begitu dingin. Ia tahu, luka ditubuhnya sudah infeksi bahkan mungkin membusuk. Ya, ada bau busuk yang tercium.

Han yang selalu datang dan mencoba memberinya makan minum. Hanya itu yang berani ia lakukan. Hanya itu.

Kesadaran Alula, benar-benar semakin rendah. Ia lebih banyak terlelap atau lebih tepatnya pingsan, tapi ironisnya saat terbangun ia masih berada di tempat yang sama dan belum mati.

***

"Boss, kapal akan segera bersandar. Bagaimana dengan gadis itu? Kalau hendak dijual, bukankah lukanya harus sembuh dulu?" tanya Pan ringan, kepada Tuan Mo dan Chan.

"Bagaimana menurutmu?" tanya Tuan Mo kepada Chan.

"Jika dibawa ke rumah sakit, selain harus mengeluarkan uang maka pasti akan menarik perhatian polisi," jawab Tuan Chan.

Tuan Mo, mengangguk. Ya, pihak rumah sakit pasti akan tahu bahwa luka di tubuh gadis itu, karena pemerkosaan.

"Bagaimana jika kita buang saja?" usul Pan.

"Iya, buang saja. Buang dia di bebatuan pemecah ombak dan berharap ombak akan menyapu tubuhnya jauh dari tempat ini," ujar Tuan Mo. Walaupun rugi, tapi ini lebih baik dari pada berurusan dengan pihak kepolisian.

Kapal bersandar.

Langit masih gelap, pagi buta. Kapal ditambatkan dengan sempurna di dermaga. Pan menyeret tubuh lemah milik Alula Yan yang telah tidak sadarkan diri. Denyut nadi mulai lemah, jadi mereka yakin gadis itu akan segera mati.

Dengan tidak berperasaan, Pan menyeret kasar tubuh Alula dan memakai saat melihat jejak darah yang tertinggal di lantai kapal. Tubuh Alula dilempar di bebatuan dengan kasar dan tidak begitu jauh dari kapal. Mereka yakin, ombak akan menyapu dan menghilangkan bukti kebejatan mereka.

Di sudut dermaga yang lain.

Jayden Lee, merapikan jas yang ia kenakan. Lalu, mengeluarkan sebatang cerutu yang langsung diapit di antara kedua bibir tipisnya.

Salah seorang tangan kanannya, langsung melangkah maju dan menyalakan pemantik api.

Jayden memejamkan mata dan menghisap cerutu begitu dalam, kemudian membuka mata dan menghembuskan asap tebal. Biasanya ia lakukan itu di saat emosinya benar-benar diuji, seperti saat ini.

Setelah satu kali isap, Jayden membuang cerutu itu dilantai dan memadamkannya dengan menginjak ujung cerutu itu. Sepatu kulit asli berwarna merah maroon yang dikenakan Jayden, yang memadamkan cerutu itu.

Dengan satu sentakan, ia mengeluarkan belati kecil dari saku celana dan mengarahkannya kepada pria yang berlutut di hadapannya.

"M-Maafkan aku Boss! A-Aku bersumpah tidak akan mengulanginya lagi," ujar pria dengan wajah babak belur, yang berlutut di hadapan Jayden.

"Maaf? Tidak akan mengulangi? Cihhh! Apakah kamu kira, memiliki kesempatan itu?" tanya Jayden dingin.

Belum sempat menjawab, belati kecil yang ada digenggaman Jayden sudah menggorok leher pria itu.

"Kesetiaan adalah hal mutlak yang harus dipatuhi sebagai anggota triad klan Lee! Melanggar, artinya mati!" ujar Jayden dengan tenang, sambil mengulurkan tangan ke hadapan tangan kanannya.

Jordan Fong, tangan kanan Jayden Lee menyerahkan sapu tangan kepada Tuannya itu.

Jayden mengambil sapu tangan itu dan membersihkan belati kecil, yang tadi ia gunakan untuk membunuh seorang pengkhianat. Sebagai seorang ketua triad, membuatnya harus kejam dan tegas. Apa yang dilakukan, mampu memberikan efek ketakutan untuk semua anggota. Karena itulah, di usia baru 30 tahun, Jayden Lee sudah menjadi ketua triad yang begitu disegani dan ditakuti.

Klan mereka menguasai bisnis perjudian, prostitusi dan obat-obatan terlarang di negeri ini. Tentu mereka juga memiliki bisnis resmi lainnya, yang mampu mengimbangi bisnis gelap klan tersebut. Belum lagi, beberapa anggota keluarga Lee telah menjabat sebagai politikus negara ini. Jadi, dapat dikatakan semua hal yang dilakukan dibawah tangan dapat dilakukan dengan mudah.

"Urus tubuhnya!" perintah Jayden dan melangkah keluar dari gudang tua yang ada di dermaga.

Jordan dan beberapa kaki tangan yang lain mengikuti Jayden dari belakang, mengekor. Beberapa kaki tangan tetap tinggal di gudang, untuk mengurus jasad pengkhianat itu.

"Siapkan helikopter!" perintah Jayden, kepada Jordan.

"Baik Boss."

Barisan pria dengan setelan hitam, menyusuri jalan dermaga yang begitu luas dan lebar. Matahari begitu terik, karena tepat tengah hari.

"Ada apa?" tanya Jayden, saat melihat beberapa kaki tangannya berhenti melangkah dan menatap ke satu titik di depan.

"Ada mayat Boss," jawab salah seorang kaki tangan.

Mayat? Bukanlah masalah besar bagi Jayden, sebab ia tidak hanya terbiasa melihat mayat malahan juga menjadi pihak yang membuat seseorang berubah menjadi mayat.

"Dia masih bernapas!" teriak seseorang yang sudah berdiri di atas batu-batu raksasa pemecah ombak.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel