Bab 2. Hanya Memeriksa
Di ranjang bambu, Nyonya Yan yang tidak mampu bergerak, hanya dapat meneteskan air mata saat tahu apa yang sedang menimpa putrinya.
"A-Ayah... S-Sakit. Aku mohon Ayah...." ujar Lula terbata-bata, sambil berusaha menggerakkan kakinya agar ia tidak terseret di tanah penuh bebatuan ini. Tarikan pada rambutnya begitu kuat dan sakit. Namun, rasa sakit itu tidak sebanding dengan rasa takut yang menyelimuti jiwanya saat ini.
Tuan Yan, yang telah dibutakan oleh rasa benci semakin berjalan cepat, mengabaikan setiap kata yang dilontarkan oleh darah dagingnya sendiri. Ia berusaha mengejar, Tuan Mo.
"TUAN MO! TUNGGU!" teriak Tuan Yan, memanggil Tuan Mo yang berjarak sekitar sepuluh meter di depannya.
Panggilan itu, membuat Tuan Mo berhenti melangkah dan membalikkan tubuh, menatap orang yang memanggilnya dengan tatapan malas. Namun, saat melihat apa yang diseret pemabuk itu, seketika Tuan Mo mulai merasa tertarik.
Apakah ada orang yang melihat tindakan Tuan Yan yang menyeret putrinya? Tentu ada. Apa yang terjadi, tidak luput dari tatapan para tetangga. Hanya saja, kehidupan yang sulit membuat mereka tidak memiliki keinginan untuk mencampuri urusan keluarga lain, apalagi untuk peduli.
"Ini! Apakah ini dapat melunasi hutang ku dan mendapatkan sedikit uang?" tanya Tuan Yan, sambil menarik rambut Lula lebih dekat ke arah Tuan Mo.
Salah satu tangan gempal Tuan Mo, diletakkan di dagunya sendiri. Menilai sosok yang berada di hadapannya. Putri dari Tuan Yan, semua orang tahu dia adalah gadis baik-baik yang hidup hanya untuk merawat sang ibu yang lumpuh. Ya, setidaknya gadis itu sedikit bernilai.
"Kamu hendak menjual darah dagingmu sendiri?" tanya Tuan Mo, untuk memastikan.
"Benar! Dia tidak lebih berguna dari perahuku!" tandas Tuan Yan.
"Apakah masih perawan?" tanya Tuan Mo, tanpa rasa malu.
"Dia tidak pernah bergaul, jadi aku yakin masih," balas Tuan Yan, penuh keyakinan.
Tidak ada yang menggubris teriakan Alula Yan. Tidak ada yang akan menolongnya, apalagi ayahnya sendiri yang menjual dirinya. Semakin ia memberontak, semakin kuat cengkeraman sang ayah pada rambutnya. Tangisannya, seakan tidak terdengar. Penolakannya, tidaklah penting.
"Bagus! Jika begitu, bawa dia ke kapal. Aku akan menjualnya ke ibukota untuk dijadikan pembantu," ujar Tuan Mo, bohong. Ya, harga jual akan lebih tinggi jika dijual ke rumah bordil. Namun, demi sedikit sopan santun dan menjaga nama baiknya, ia berbohong.
"Baik. Lalu, di mana bayaran sisanya?" tanya Tuan Yan.
"Aku akan memberikan padamu di kapal nanti," jawab Tuan Mo.
Kembali Tuan Yan menyeret putrinya, ke arah pelabuhan.
"A-Ayah, bagaimana dengan ibu? Siapa yang akan merawatnya?" tanya Lula dengan begitu putus asa.
"Seharusnya ia mati tiga tahun yang lalu, agar tidak menjadi beban!" tandas Tuan Yan, tanpa belas kasihan.
Alula Yan, menangis sejadi-jadinya dan sang ayah, menyeretnya semakin kasar.
"Tapakkan kakimu!" perintah Tuan Yan, saat mereka tiba di dekat kapal kayu yang cukup besar.
Dengan gemetar, Lula patuh dan mulai menapaki tangga kayu yang akan membawa mereka masuk ke dalam kapal.
Dengan rambut yang masih dijambak, Lula hanya bisa berusaha menjaga kakinya agar dapat menjaga keseimbangan. Tatapannya kabur, karena tertutup oleh genangan air mata. Ia terisak-isak dan mulai kesulitan bernapas, tapi sang ayah sama sekali tidak merasa iba, malahan semakin kencang menarik rambutnya.
Tiba di geladak utama, barulah Tuan Yan melepaskan cengkeraman pada rambut putrinya itu.
"Di mana Tuan Mo?" tanyanya lantang.
Alula langsung tersungkur di lantai geladak kapal penjaring ikan, yang lumayan besar. Ya, satu-satunya kapal terbaik yang dimiliki nelayan desa ini.
"Hei! Kamu benar-benar kehilangan akal!" seru seseorang yang merupakan awak kapal milik Tuan Mo ini, kepada Tuan Yan sambil tertawa.
Tuan Yan mengabaikan ejekan itu dan kembali berkata, "Di mana Tuan Mo? Aku menagih janjinya!"
"Ck ck ck, anakmu yang malang. Tapi, ternyata dilihat dari dekat cukup cantik," gumam Pan, yang sudah jongkok dan mengintip ke arah wajah Lula, yang menunduk dalam dan berderai air mata.
Tuan Yan, sama sekali tidak berencana peduli dengan apa yang dilakukan Pan terhadap putrinya. Pikirannya sudah tidak waras, karena efek dari minuman keras yang terus-menerus dikonsumsi olehnya. Saat ini, dibenak Tuan Yan ia hanya ingin segera menerima sisa uang yang telah dijanjikan Tuan Mo, untuk dibayarkan kepadanya. Ia, sama sekali tidak peduli dengan nasib putri semata wayang miliknya. Ya, sama sekali tidak peduli.
"Apakah Tuan Mu hanya bercanda?" seru Tuan Yan, tidak sabar. Ia tidak tahan mendengar isak tangis putrinya, yang terus-menerus. Kepalanya terasa hendak pecah, karena kebisingan itu.
"Jika ia hanya bercanda, maka aku akan menjual putriku kepada orang lain!" ancam Tuan Yan dan kembali hendak, menjambak rambut Alula.
"Tunggu! Tunggu! Jangan begitu cepat emosi dan tidak sabaran," seru seseorang yang baru saja keluar dari bangunan atas kapal.
Pria ceking yang baru saja melangkah mendekati ke arah Tuan Yan adalah Tuan Chan. Ia adalah pria yang bekerjasama dengan Tuan Mo, untuk seluruh operasi kapal ini. Artinya Ia adalah pihak yang dapat mengambil keputusan, selain dari Tuan Mo sendiri.
Tuan Chan melemparkan satu kantong kain yang berisi uang tunai, kepada Tuan Yan.
Segera ayah dari Alula menangkap kantongan itu dan membukanya, dengan terburu-buru. Ia harus memeriksa, apakah jumlah uang yang diberikan telah sesuai dan kenyataannya, itu lebih dari cukup. Hal tersebut, segera membuat Tuan Yan tersenyum lebar dan kemudian berkata, "Terima kasih untuk uang ini dan pastikan hutang ku juga telah lunas!"
"Tentu! Tentu," jawab Tuan Chan pasti.
Tanpa berbasa basi, Tuan Yan segera berbalik dan hendak meninggalkan kapal. Hal tersebut, membuat Lula segera merangkak berusaha menangkap kaki sang ayah. Ia berhasil menangkap salah satu kaki sang ayah dan memeluknya erat, seraya berkata, "A-Ayah, aku mohon Ayah. Tolong bawa aku pulang, aku mohon."
Setiap ucapan yang terlontar dari bibirnya, disertai dengan derai air mata. Namun, itu sama sekali tidak membuat keputusan Tuan Yan berubah. Malahan, sang ayah menendang-nendang kakinya agar segera terlepas dari pelukan putrinya itu. Tidak berkata apapun lagi, Tuan Yan segera meninggalkan kapal dan tidak sekalipun menoleh ke belakang, hanya untuk sekedar menatap putrinya.
"Bos, mau dikemanakan gadis cantik ini? Bolehkah aku pakai dulu," tanya Pan dengan nada suara mesum dan tertawa cengengesan.
"Jaga ucapanmu! Gadis ini, akan kita jual di ibukota. Dia masih perawan dan memiliki rupa yang cukup cantik, aku yakin dia memiliki harga jual yang cukup tinggi," ujar Tuan Chan, pasti.
"Tapi, tapi itu masih 7 hari lagi. Artinya, kita akan berlayar dengan wanita ini dalam 7 hari baru dapat tiba di ibukota. Bagaimana aku dapat menahan diri untuk tidak menyentuhnya, Bos?" seru Pan, dengan tidak senang.
