Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

2

Udara dingin malam masih menyelimuti hutan lebat itu. Kabut tipis perlahan menyusup di sela-sela pohon, membuat jarak pandang hanya beberapa langkah ke depan. Ranting-ranting kering berderak tiap kali angin malam berhembus, menyisakan suara samar yang bercampur dengan gemerisik dedaunan.

Luo Tian, pemuda yang tubuhnya dipenuhi goresan dan debu, berjalan perlahan. Napasnya berat, langkahnya lemah, namun matanya tetap awas menyapu sekitar. Ia belum lupa betapa nyaris nyawanya melayang saat dikejar Serigala Batu Hitam. Luka-luka kecil di tubuhnya masih perih, tapi rasa takut dan penasaran terus mendorongnya untuk bertahan.

Ia berjalan tanpa arah pasti, hanya mengikuti nalurinya. Di antara kabut dan pohon-pohon tua yang akarnya menjulur di atas tanah, Luo Tian berharap menemukan tempat aman atau jejak peradaban.

Namun hutan itu tak menunjukkan tanda-tanda kehidupan manusia.

Setiap sudutnya dipenuhi semak berduri, tanaman liar yang tak dikenalnya, dan suara binatang malam yang bersahut-sahutan. Awan tebal menutupi bulan di langit, membuat suasana semakin kelam.

Setelah berjalan cukup jauh, Luo Tian sampai di sebuah area di mana pepohonan tumbuh lebih rapat, dan semak lebat menjulur tinggi, hampir menyentuh pinggang. Ia merasakan sesuatu yang berbeda di tempat itu. Udara di sana lebih dingin, dan ada aroma lembap yang khas, seperti bau batu basah yang tertutup lumut.

Langkahnya terhenti di depan sebuah semak lebat yang tampak lebih gelap dibandingkan area sekitarnya. Semak itu tumbuh rapat, rantingnya saling melilit, menyembunyikan sesuatu di baliknya. Ada celah kecil di antara dedaunan yang membuat angin berembus keluar, membawa aroma lembap dan dingin yang berbeda dari udara hutan.

Alis Luo Tian mengernyit.

“Apa ini…?”

Didorong oleh rasa penasaran, Luo Tian mendekat. Ia menyibakkan semak dan dedaunan, membuka jalur kecil di tengah rimbunnya tanaman liar itu. Semakin dalam ia menyibak, semakin kuat aroma batu basah itu tercium.

Hingga akhirnya, di balik semak itu, Luo Tian menemukan sebuah celah batu.

Celah itu menganga seperti mulut gelap di tengah lereng bukit kecil, setinggi dua orang dewasa. Dinding batunya dipenuhi lumut hijau tua dan sulur tanaman yang menjuntai seperti rambut panjang. Uap tipis keluar dari dalamnya, menyatu dengan kabut malam.

“Gua…?”

Luo Tian melangkah mendekat, matanya memperhatikan tiap detailnya. Mulut gua itu tampak kuno, bukan sekadar lubang alami. Di sisi kanan dan kiri dindingnya, samar-samar terlihat ukiran aneh yang nyaris terhapus waktu motif seperti pola pusaran dan garis melingkar yang saling bersambung.

Ia mengusap lumut di salah satu ukiran dengan telapak tangannya, memperjelas gambar itu. Entah apa artinya, tapi Luo Tian merasakan aura asing yang merambat ke kulitnya saat menyentuhnya. Bukan rasa sakit atau panas, melainkan sensasi dingin yang menusuk tulang.

“Ini… bukan gua biasa.”

Luo Tian menelan ludah. Dalam hatinya, ada perasaan campur aduk. Di satu sisi, gua itu bisa menjadi tempat berlindung sementara. Di sisi lain, ia merasa gua itu menyimpan sesuatu yang jauh dari kata aman.

Namun, dibandingkan bertahan di luar yang penuh bahaya, gua itu setidaknya bisa memberinya waktu untuk beristirahat.

“Apa pun yang ada di dalam, aku harus lihat.”

Dengan hati-hati, Luo Tian menyibak sulur tanaman yang menggantung di mulut gua, lalu melangkah masuk.

Begitu melewati batas celah batu, suhu udara di dalam gua langsung berubah drastis. Udara di sana jauh lebih dingin dan lembap. Dinding-dinding gua terbuat dari batu hitam yang keras, sebagian permukaannya dipenuhi lumut dan air yang menetes dari atas.

Langkah kaki Luo Tian menggema di ruang sunyi itu. Tak ada cahaya kecuali sinar redup bulan yang masuk samar melalui celah di atap gua. Semakin jauh masuk, suasana makin pekat dan lembap. Namun Luo Tian merasa, seolah-olah gua itu bukan sembarang tempat persembunyian.

Beberapa kali, dia melihat bekas ukiran samar di dinding batu, motif yang sama seperti di mulut gua. Semua motif itu mengarah ke bagian dalam, seperti menuntunnya menuju suatu tempat.

Jantung Luo Tian berdegup makin cepat. Hatinya berdebar, bukan karena takut, tapi karena naluri. Ada sesuatu di dalam gua itu yang seolah memanggilnya.

“Aku harus tahu apa ini.”

Ia terus berjalan, melewati lorong sempit yang menurun sedikit, hingga akhirnya sampai di sebuah ruangan terbuka. Di sana, ruang gua melebar, cukup besar untuk menampung belasan orang. Dindingnya dipenuhi sulur tanaman kering dan lumut tebal.

Namun hal yang paling menarik perhatiannya adalah sesuatu yang melayang di tengah ruangan.

Sebuah bola cahaya redup, sebesar kepala manusia, berpendar perlahan. Cahaya lembut berwarna keperakan menyelimutinya, memancarkan aura yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Di sekitarnya, udara terasa bergetar pelan, seakan-akan bola itu memiliki denyut kehidupan sendiri.

Luo Tian terpaku.

“Apa itu…?”

Untuk pertama kalinya sejak terbangun di hutan asing, rasa takut dalam dirinya perlahan tergantikan oleh rasa penasaran yang membara. Bola cahaya itu tampak sangat asing, tapi entah kenapa, ada perasaan familiar yang samar dalam hatinya. Seolah-olah benda itu telah lama menunggunya di tempat itu.

Tapi Luo Tian belum berani mendekat. Ia hanya berdiri di ambang ruangan itu, menatap benda aneh yang melayang tanpa suara, ditemani detak jantungnya yang berdentam keras di telinga.

“Tempat macam apa ini…?”

Pertanyaan itu menggema dalam benaknya.

Dan malam itu, Luo Tian tahu, dirinya baru saja menemukan sesuatu yang jauh lebih besar daripada sekadar tempat persembunyian.

Ruangan dalam gua kuno itu dipenuhi keheningan yang berat. Tak ada suara selain tetesan air yang jatuh perlahan dari langit-langit batu ke permukaan lantai yang lembap. Aroma batu basah bercampur lumut memenuhi udara, namun di tengah semua itu, sorotan mata Luo Tian tetap terpaku pada benda yang melayang di depannya.

Sebuah bola cahaya berwarna keperakan, seukuran kepala manusia, mengambang perlahan di tengah ruangan. Cahayanya tenang, tapi di balik kelembutan itu, ada sesuatu yang tak biasa sesuatu yang membuat kulit Luo Tian merinding.

Bola bercahaya itu seakan memancarkan aura yang berbeda dari apa pun yang pernah bisa dibayangkan oleh akal manusia. Seperti bisikan halus yang tidak terdengar, namun mampu menyentuh bagian terdalam dari kesadaran. Setiap denyut cahaya yang dipancarkan bola itu terasa bagai gelombang tak kasat mata yang menghantam dinding batin Luo Tian.

Ia berdiri terpaku, tubuhnya tak mampu bergerak meski hanya satu langkah. Ada rasa takut, tapi juga rasa tertarik yang aneh seolah-olah benda itu memanggilnya, menuntut perhatiannya.

“Apa sebenarnya ini…?” bisik Luo Tian lirih, suaranya nyaris tenggelam di antara keheningan.

Saat pertanyaan itu muncul dalam pikirannya, tiba-tiba bola cahaya itu bergetar perlahan. Cahayanya berkedip pelan, lalu memancarkan gelombang aura keperakan yang menyebar ke seluruh ruangan. Aura itu bukan aura panas, dingin, atau tajam melainkan sesuatu yang begitu asing, namun bersahabat, seperti pelukan hangat yang menembus kulit, daging, hingga meresap ke dalam jiwa.

Luo Tian merasakan dadanya bergetar. Jantungnya berdetak tidak teratur, dan matanya membelalak saat gelombang itu menyentuh dirinya.

Wuung…

Sebuah suara tanpa suara, gelombang tak terlihat yang hanya bisa dirasakan oleh kesadaran, tiba-tiba masuk ke dalam kepalanya.

Seketika dunia di sekitarnya menjadi hening.

Tidak ada suara tetesan air, tidak ada suara napas. Hanya sebuah ruang hampa dalam pikirannya, dan di dalam ruang itu, cahaya keperakan itu muncul seperti matahari kecil di kegelapan.

Dari cahaya itu, perlahan muncul sebuah suara. Bukan suara yang didengar oleh telinga, melainkan suara yang langsung berbicara pada jiwanya.

“Akhirnya… kau datang.”

Tubuh Luo Tian bergetar. Matanya membelalak, jiwanya bergetar hebat, seolah suara itu membelah pikirannya.

“S-siapa… siapa kau?” tanya Luo Tian dalam hati, tidak yakin apakah pikirannya masih waras.

Cahaya itu kembali bergetar, kali ini lebih lembut, seolah menyampaikan rasa lega.

“Aku… telah menunggu selama ribuan tahun. Jiwa yang cocok… akhirnya menemukan jalannya ke sini.”

Nada suara itu samar namun memiliki kehangatan yang menenangkan. Tak ada ancaman, tak ada tekanan. Justru terasa seperti suara seorang kawan lama yang akhirnya bertemu setelah sekian lama terpisah.

Aura yang dipancarkan bola bercahaya itu mulai berubah. Bila sebelumnya hanya berupa gelombang keperakan yang tenang, kini muncul rona kebiruan samar, berputar di sekitarnya, membentuk pusaran halus yang mengelilingi Luo Tian.

Setiap pusaran itu membawa sensasi nyaman, seolah luka-luka kecil di tubuhnya diredakan, rasa lelah di ototnya dipulihkan.

“Siapa… siapa sebenarnya kau?” tanya Luo Tian lagi, masih dengan suara hati.

Bola cahaya itu mendekat perlahan, jaraknya kini hanya beberapa jengkal dari wajah Luo Tian. Aura anehnya makin pekat, namun tak menimbulkan ketakutan. Justru sebaliknya Luo Tian merasa seperti dipeluk oleh sesuatu yang familiar, sesuatu yang entah mengapa terasa bagian dari dirinya.

“Aku adalah warisan… dari zaman sebelum zaman. Sebuah kekuatan yang telah lama tersegel, menunggu pemilik yang tepat. Dan kau… Luo Tian… adalah jiwa itu.”

Nada suara itu bergema lembut di benak Luo Tian.

Tubuhnya kembali bergetar. Bagaimana bisa benda ini mengetahui namanya? Padahal bahkan dirinya sendiri masih belum tahu siapa dia sebenarnya, atau mengapa dia bisa terbangun di hutan berbahaya ini.

“Kenapa… aku? Aku bahkan tak tahu siapa diriku… aku kehilangan ingatan…”

Cahaya itu bergetar pelan, seperti sebuah anggukan.

“Ingatanmu… mungkin tersegel. Tapi takdirmu tak pernah bisa disembunyikan. Jiwa yang terikat dengan pusaran semesta, cepat atau lambat akan menemukan jalannya. Dan malam ini… saat jiwa dan takdirmu bersentuhan denganku, segalanya akan dimulai.”

Perkataan itu menembus ke dasar jiwa Luo Tian.

Aura aneh yang dipancarkan bola bercahaya itu mulai menembus tubuhnya, membelai lembut jiwanya, seolah membentuk ikatan halus di antara mereka.

Seketika, Luo Tian merasa seolah dirinya bukan lagi seorang diri di dalam tubuhnya. Ada sesuatu yang hangat, tenang, dan kuat, menyatu dalam dirinya.

“Aku… bisa merasakanmu…”

Suara dalam benaknya tertawa pelan.

“Dan aku bisa merasakan hatimu, Luo Tian.”

Luo Tian berdiri terpaku, matanya tak lepas dari bola cahaya itu. Tak ada ketakutan lagi di dalam dirinya. Yang ada hanya rasa hangat, rasa aneh yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Seperti menemukan sesuatu yang selama ini hilang dari dirinya.

Bola bercahaya itu mulai berputar pelan, membentuk pusaran kecil di udara, cahayanya makin terang.

“Mulailah. Dekatkan tanganmu. Biar takdir yang menyelesaikan sisanya.”

Meski tubuhnya gemetar, Luo Tian mengikuti kata-kata itu. Tangannya terulur pelan ke arah bola bercahaya, seolah ada kekuatan tak terlihat yang membimbingnya.

Saat ujung jarinya hampir menyentuh permukaan cahaya itu, pusaran aura aneh semakin kencang, dan suhu udara di ruangan itu berubah.

Namun Luo Tian tidak mundur.

Karena di lubuk hatinya, dia tahu malam itu, hidupnya tidak akan pernah sama lagi.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel