Pustaka
Bahasa Indonesia

SANG PENGENDALI TAKDIR

49.0K · Tamat
Cainn44
30
Bab
124
View
9.0
Rating

Ringkasan

Di dunia kultivator alam rendah, di perdalaman hutan paling berbahaya. Terdapat sosok pria muda tergeletak disana. Ia adalah Luo Tian, sosok pemuda yg akan menjadi pewaris kekuatan takdir.

kultivasiFantasipendekarPetualanganTransformasiZaman KunoSupranaturalKekuatan SuperDewaDewasa

1

Angin dingin malam menyapu dedaunan lebat, menyisakan suara gesekan halus yang bercampur dengan suara binatang malam. Di kejauhan, suara lolongan serigala liar bersahutan, menandakan bahwa tempat itu bukanlah tempat yang ramah bagi manusia. Aroma lembap bercampur tanah basah memenuhi udara, seakan-akan alam itu sendiri ingin menelan siapa pun yang berani menginjakkan kaki di sana.

Di tengah rimbunnya hutan gelap itu, seorang pemuda terbaring tak bergerak di atas rerumputan liar. Wajahnya pucat, keningnya berkeringat, sementara hela napasnya naik-turun tak beraturan, seolah habis berlari jauh atau baru saja mengalami sesuatu yang berat. Tubuhnya dipenuhi noda tanah dan bercak darah kering. Pakaian lusuh berwarna abu-abu yang melekat di tubuhnya tampak robek di beberapa bagian, seakan pernah tergores sesuatu yang tajam.

Setelah beberapa saat, kelopak matanya mulai bergetar. Napasnya memburu, lalu perlahan sepasang mata hitam pekat itu terbuka.

“Ugh… di mana ini…?” gumam pemuda itu pelan.

Pandangan matanya masih kabur, hanya melihat bayangan dedaunan dan langit malam yang sebagian tertutup cabang-cabang pohon raksasa. Ia mencoba bangkit, namun tubuhnya terasa berat, seolah seluruh persendiannya dipukul benda keras.

Dengan susah payah, pemuda itu duduk bersandar pada batang pohon terdekat. Suara ranting patah di kejauhan membuatnya menoleh panik, tapi yang terlihat hanya kegelapan tanpa ujung.

“Apa… yang terjadi…? Kenapa aku di sini?”

Pemuda itu mencoba mengingat sesuatu. Siapa dirinya, kenapa dia berada di tempat seperti ini, namun yang muncul di benaknya hanya kekosongan.

Seolah sebuah dinding tak kasat mata memblokir ingatannya. Ia hanya tahu satu hal.

Namaku… Luo Tian.

Selain itu, semua kosong.

Wajah orang tua, suara guru, atau suasana rumah, semuanya gelap. Yang tertinggal hanyalah nama itu, mengendap di dasar pikirannya, seperti satu-satunya cahaya redup di lautan gelap.

“Luo Tian… aku… siapa aku sebenarnya?”

Luo Tian mengangkat tangannya, melihat telapak tangannya yang kotor dan dipenuhi goresan kecil. Ada bekas darah kering di sela-sela jari, entah miliknya sendiri atau milik sesuatu yang lain. Dadanya terasa sesak saat angin malam menyentuh kulitnya, membawa aroma asing yang bercampur bau amis dan kabut basah.

Ia menoleh ke sekeliling. Pohon-pohon menjulang tinggi, cabangnya saling bertautan rapat hingga nyaris menutupi langit. Tanah dipenuhi akar-akar liar dan rerumputan tinggi. Kabut tipis menggantung rendah, menambah aura dingin dan sunyi di tempat itu.

Tak ada cahaya api, tak ada jalan setapak, hanya kegelapan alami yang menekan batin. Hanya suara binatang malam yang menjadi penanda bahwa tempat itu masih hidup.

“Aku harus… keluar dari sini.”

Dengan susah payah, Luo Tian berdiri. Lututnya gemetar saat beban tubuhnya bertumpu di atas kaki yang lemah. Tapi tekadnya perlahan menguat, seiring rasa takut yang memudar tergantikan oleh dorongan untuk bertahan.

Langkah pertamanya berat, suara ranting patah di bawah kaki membuatnya berhenti sejenak, tapi ia terus berjalan, menyibak ilalang dan ranting kecil yang menghalangi jalannya. Setiap kali dia menoleh ke belakang, kegelapan seolah semakin tebal, seakan hutan itu tidak ingin melepaskannya.

Dalam pikirannya, ia bertanya-tanya.

Bagaimana bisa dia berada di tempat seperti ini?

Apakah dia tersesat? Dibuang? Atau dikejar sesuatu?

Tapi tak ada jawaban.

Semakin ia memaksa ingatannya, semakin perih kepalanya terasa, seperti ditusuk ribuan jarum halus.

Setelah beberapa puluh langkah, Luo Tian berhenti di sebuah area lapang kecil, tempat sinar bulan menembus celah dedaunan. Dia menengadah, melihat bulan bundar keperakan di atas sana. Saat itu, angin kembali berhembus, membawa suara aneh,

seperti bisikan samar dari kejauhan.

“Luo Tian… Luo Tian…”

Pemuda itu terdiam. Bulu kuduknya meremang.

Dia berputar mencari sumber suara, namun tidak menemukan apa pun. Entah itu hanya halusinasi akibat kelelahan, atau memang ada sesuatu di hutan itu yang memanggil namanya.

Luo Tian menggenggam erat kedua tangannya, berusaha menenangkan diri.

“Aku tidak boleh panik… tenang… cari jalan keluar… cari tanda-tanda peradaban…”

Namun saat hendak melanjutkan langkahnya, suara lolongan serigala kembali terdengar kali ini lebih dekat.

“Sial…” desis Luo Tian, tubuhnya refleks berbalik, mencari tempat untuk bersembunyi. Ia menyadari betapa berbahayanya tempat itu, dan bahwa dirinya bukan siapa-siapa sekarang. Hanya seorang pemuda tanpa ingatan, tanpa kekuatan, tanpa arah.

Meski tubuhnya lelah, hatinya masih menyimpan bara kecil untuk bertahan.

“Aku harus keluar dari hutan ini… apapun caranya.”

Maka dengan tekad itu, Luo Tian melangkah kembali ke dalam kegelapan malam, tanpa tahu bahwa apa yang menantinya bukan hanya sekadar bahaya binatang buas, tapi takdir besar yang akan mengguncang seluruh alam.

Hutan itu benar-benar seperti dunia lain bagi Luo Tian. Tiap langkah yang diambilnya, seakan menambah jarak dari apa pun yang bisa disebut aman. Suasana kelam menyelimuti, diiringi suara dedaunan kering yang bergesekan tertiup angin. Malam semakin pekat, dan kabut tipis mulai turun perlahan, membuat jarak pandang Luo Tian makin terbatas.

Ia melangkah pelan, hati-hati, matanya terus menyapu sekitar, telinga menangkap tiap suara sekecil apa pun. Insting dasarnya mengatakan, ada sesuatu yang terus mengawasi dari kejauhan. Entah sejak kapan, tapi sejak lolongan serigala terdengar di kejauhan, suasana di hutan ini terasa berbeda.

Suara ranting patah terdengar tak jauh di belakangnya.

Cekrek.

Tubuh Luo Tian refleks menegang. Ia menoleh cepat ke arah suara itu, tapi hanya menemukan kegelapan dan kabut tipis. Tak ada yang terlihat, namun langkah kakinya kini makin cepat, menyibak ilalang dan ranting kecil yang menghalangi.

“Apa itu barusan…?” gumamnya dalam hati.

Baru beberapa langkah, suara lain muncul dari arah kanan.

Srak… srak…

Kali ini lebih jelas, seperti sesuatu yang bergerak pelan di antara semak belukar.

Jantung Luo Tian berdegup kencang. Tubuhnya mulai dingin, bulu kuduk meremang. Ia menahan napas, mengendap pelan menjauh dari suara itu, berharap makhluk apa pun di balik semak tak menyadari keberadaannya.

Namun harapannya hancur seketika.

Dari balik semak, dua pasang mata merah menyala muncul di kegelapan. Menyusul kemudian sesosok makhluk besar berbulu kelabu gelap, bertaring panjang, dan cakar tajam, muncul dari balik kabut. Nafasnya kasar, uap panas keluar dari mulutnya, menciptakan kabut tipis di udara dingin.

Itu adalah seekor Serigala Batu Hitam, binatang buas khas hutan liar yang terkenal ganas di Alam Rendah.

“Sial…”

Tanpa berpikir panjang, Luo Tian langsung berbalik dan berlari sekuat tenaga. Ranting dan duri kecil melukai wajah dan lengannya, tapi dia tak peduli. Suara geraman rendah dan derap langkah kaki binatang buas itu mengejarnya dari belakang, kian dekat.

“Aku harus cari tempat bersembunyi… cepat!”

Jantungnya berdegup keras di dada, napasnya tersengal. Tapi rasa takut jauh lebih kuat daripada rasa sakit di tubuhnya.

Beberapa kali dia nyaris terjatuh saat kakinya tersandung akar atau batu, tapi Luo Tian terus berlari, menyibak semak dan pohon kecil.

Suara cakar yang menghantam tanah makin keras.

“Graaahh!”

Serigala Batu Hitam itu melompat. Dalam sekilas, Luo Tian merasakan angin deras menyambar di sisi tubuhnya, cakarnya hampir menyentuh punggung.

Refleks Luo Tian menjatuhkan diri ke depan, berguling di tanah, membuat cakaran itu hanya mengenai udara.

Tanpa menoleh lagi, ia kembali berlari. Napasnya kian berat. Luka-luka kecil mulai memenuhi tubuhnya. Keringat bercampur darah mengalir di pelipisnya.

Di kejauhan, Luo Tian melihat celah antara dua batu besar. Tanpa pikir panjang, ia melompat ke arah sana, menerobos semak dan dedaunan.

Saat tubuhnya berhasil melewati celah sempit itu, ia segera berbalik, meraih sebuah batu sebesar kepalan tangan, dan melemparkannya ke arah serigala yang mengejar.

“Pergi kau, bajingan!”

Batu itu melesat dan mengenai moncong binatang itu, membuatnya menggeram marah. Tapi celah batu yang sempit menghalangi tubuh besar Serigala Batu Hitam itu masuk mengejarnya.

Makhluk itu mencakar-cakar batu, berusaha menerobos, tapi tubuh besarnya tak bisa melewati celah sempit.

Luo Tian mundur, punggungnya menempel pada batu dingin di belakangnya, napas memburu. Jantungnya masih berdegup cepat. Di depannya, makhluk itu terus menggeram, tatapan mata merahnya tak lepas dari Luo Tian.

“Kalau saja aku sedikit lebih lambat tadi…”

Pikiran itu membuat Luo Tian merinding. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Dia tahu, dia masih jauh dari aman. Binatang itu masih menunggu di luar. Dan dia masih belum tahu di mana dirinya sebenarnya berada.

Setelah beberapa lama, binatang itu akhirnya menggeram, lalu mundur perlahan. Mungkin menyerah karena celah itu terlalu sempit, atau karena merasa bosan.

Luo Tian tak berani bergerak hingga suara langkah binatang itu benar-benar menghilang.

Napasnya masih berat. Seluruh tubuhnya gemetar, tapi di sudut hatinya, ada rasa lega. Ia berhasil lolos.

Untuk sementara.

“Aku harus bertahan… aku tak boleh mati di tempat ini.”

Dengan sisa tenaga yang ada, Luo Tian duduk bersandar di dinding batu, membiarkan tubuhnya yang luka-luka beristirahat sejenak. Di atas sana, suara angin malam masih terdengar, tapi suara langkah binatang buas itu telah menghilang.

Malam itu, untuk pertama kalinya sejak terbangun di hutan asing, Luo Tian benar-benar merasakan betapa rapuhnya dirinya. Dan betapa berbahayanya dunia tempat ia kini berada.

“Aku butuh kekuatan… cepat atau lambat, kalau aku tetap begini… aku mati.”

Tatapan matanya menajam di balik kelelahan. Meski tubuhnya lemah, nyala api kecil mulai tumbuh di hatinya.

Di luar sana, malam masih panjang, dan hutan itu belum selesai menguji dirinya.