Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 9 Pembicaraan Empat Mata

Bab 9 Pembicaraan Empat Mata

Hari Jumat pukul 3 sore, Sarman dalam perjalanan menuju ke Pekanbaru. Rencananya Ia akan pergi ke rumah orangtua Riana untuk mencari informasi mengenai adiknya, Tika. Dari rumah, Sarman harus berjalan kaki sejauh kurang lebih 2 km untuk menuju terminal bus. Meski ia hanya membawa sebuah tas ransel dan tas kain berisi oleh-oleh untuk Ibunya Riana, berjalan kaki pada sore yang terik seperti ini ternyata cukup melelahkan.

Dua puluh menit telah berlalu, Sarman telah sampai di terminal yang terletak di samping kanan jalan raya. Kala itu, tak banyak orang yang tengah menunggu bis. Jadi, Sarman bisa duduk di sebuah bangku panjang sembari meluruskan kakinya yang cukup pegal setelah berjalan jauh dari rumahnya.

Tak lama, datanglah sebuah bus berwarna merah dari arah barat. Sarman pun langsung berdiri ketika bus tersebut berhenti di depan terminal. Sarman naik bis tersebut dari pintu belakang, karena pintu dibagian depan sudah dipenuhi oleh beberapa orang yang juga hendak menaiki bis tersebut.

Ketika di dalam bus, Sarman segera mencari tempat duduk yang kosong. Kakinya mulai terhuyung tak seimbang dan pada saat itu kakinya juga sempat terjepit oleh beberapa penumpang yang masih berdiri. Setelah lama berdesakan, akhirnya Sarman duduk di kursi pada deretan ketujuh.

Sarman meletakkan barang bawannya di bawah kursi bis. Sejenak, ia menyandarkan punggungya sembari melihat pohon-pohon yang bergerak mundur dari balik jendela. Sesaat kemudian, Sarman memberikan sejumlah uang kepada kernet bis yang sudah berdiri di sampingnya. Lalu kernet tersebut berbalik memberikan tiket bis kepada Sarman.

Sinar mentari perlahan mulai tenggelam, burung-burung berterbangan ke sana ke mari mencari sangkarnya. Entah mengapa, pikiran Sarman sedikit tenang ketika berada di dalam bis ini. Sembari menyangga dagunya di samping jendela, Mata Sarman mulai terpejam hingga pada akhirnya ia tenggelam dalam rasa kantuknya.

Sarman terbangun dari tidurnya ketika ia mendengar suara berdecit rem bus yang tiba-tiba berhenti. Dahi Sarman sempat membentur kursi depannya ketika bis yang ia naiki mendadak berhenti, alhasil ia meringis kesakitan. Sarman menguap beberapa kali sambil merapikan rambutnya yang berantakan karena angina yang menerobos masuk ke celah jendela bus.

Jam tangan yang melingkar pada pergelangan Sarman, kini menunjukkan pukul 04.30 sore. Itu berarti, sebentar lagi Sarman akan tiba di terminal Pekanbaru. Sarman berdiri dari tempat duduknya sambil membawa tas punggungnya. Ia melangkah keluar dan memilih untuk berdiri di ambang pintu bus. Sesaat setelah bus ini berhenti di sebuah terminal, Sarman langsung bergegas turun sebelum bus ini melaju kembali.

Sarman berjalan menyusuri terminal Pekanbaru sembari kedua bola matanya melihat ke seluruh penjuru terminal dan berharap ada kendaraan yang dapat membawanya pergi ke rumah keluarganya Riana.

Karena Sarman tidak menemukan apa-apa di dalam terminal, ia memutuskan untuk mencari ojek di luar area terminal. Sarman berjalan di pinggir trotoar dengan tangan kanannya masih menenteng tas kain yang isinya agak berat. Pandangan Sarman teralihkan pada beberapa motor yang berjejer rapi di seberang jalan. Ketika jalanan sepi, Sarman langsung menyeberang dengan langkah sedikit tergesa-gesa.

"Pak, ojek." Sarman menghampiri bapak-bapak yang tengah duduk di motor.

"Mau ke mana?" tanya bapak-bapak tersebut.

"Tolong antar saya ke alamat ini." Sarman memberikan secarik kertas bertuliskan alamat rumah keluarga Riana. Bapak itu mengiyakan permintaan Sarman dan langsung memberikan helm keselamatan kepadanya.

****

Sarman berhenti pada sebuah kompleks yang letakknya tak jauh dari terminal. Sejumlah uang Sarman keluarkan dari dompet hitamnya dan uang tersebut Sarman berikan kepada tukang ojek yang telah mengantarnya. Tukang ojek itu berlalu, dan Sarman masuk ke halaman rumah yang ia tuju.

Sebuah rumah bercat putih tulang dengan garis-garis bermotif batu bata, menghiasi tiap tembok rumah tersebut. Halaman depannya sangat luas sehingga beberapa anak bisa berlarian sesuka mereka. Ada sebuah bangku taman berbahan besi berlapiskan cat krem terletak di bawah tiang lampu taman.

Tiap kali berkunjung ke tempat ini, Sarman selalu tercengang dan kagum dengan rumah keluarga Riana yang terbilang mewah. Sarman beranjak menaiki tiga anak tangga berbahan keramik yang menghubungkan dengan teras depan. Tangannya sedikit gemetaran ketika Sarman mengangkat tangan kanannya dan hendak mengetuk pintu utama yang berbahan kayu jati.

"Assalamualaikum," ucap Sarman sembari mengetuk pintu beberapa kali. Kemudian terdengar suara seseorang yang tengah memutar-mutar gagang pintu.

"Wa’alaikumsalam." Seorang wanita paruh baya membuka kedua daun pintu tersebut. Beliau adalah Ibu dari Riana. Sarman tersenyum tipis lalu meraih punggung tangan mertuanya. "Sarman, kenapa tidak bilang kalau mau datang?"

"Maaf, Sarman tidak sempat mengabari Ibu." Sarman memberikan tas kain yang sedari tadi ia bawa. "Ini ada titipan dari Riana." Ibunya menerima tas tersebut dan langsung menyuruh Sarman untuk segera masuk ke Rumah, karena waktu berbuka puasa hampir tiba.

Sehabis salat Magrib, Sarman langsung duduk di kursi tamu menunggu Ibunya Riana keluar dari kamar. Setelah lama menahan lapar dan dahaga, Sarman menenggak secangkir teh madu yang dibawakan oleh Ibunya Riana. Sarman menghabiskan minumannya dalam tiga kali tegukan dan cangkir tersebut ia letakkan kembali di atas meja berbalut taplak dengan motif bunga.

Terlihat, dinding ruang tamu penuh dengan pajangan keramik bertabur kristal kecil-kecil, entah itu asli atau imitasi yang jelas pajangan tersebut sangat indah. Di belakang kursi tamu terdapat lemari kecil yang diatasnya terdapat rak buku terbuat dari kayu. Kursi sofa yang Sarman duduki juga terlihat seperti bukan barang murahan. Kursi sofa ini dibalut kain yang sangat halus ketika disentuh dan di dalamnnya berisi busa empuk yang membuat siapa saja nyaman ketika duduk di kursi ini.

Tak lama, Ibunya Riana muncul dari ruang tengah dan ikut duduk berhadapan dengan Sarman. "Kamu mau makan dulu? Pasti melelahkan melakukan perjalanan kemari."

"Tidak, nanti saja. Ada yang ingin Sarman bicarakan," ucap Sarman mencoba memberanikan diri.

"Kenapa Riana tidak sekalian ikut?" tanya beliau penasaran.

"Soalnya Sarman naik bus, takutnya kalau Riana lelah di jalan, apalagi ini bulan puasa. Juga, ada Tika di rumah," jelas Sarman.

"Sekarang adik kamu tinggal bersamamu?" Seketika itu, pandangan Ibunya Riana berubah menjadi sinis.

"Iya… sementara." Sarman diam sejenak sambil mengatur pernapasannya yang sedari tadi naik turun tidak teratur. "Itu juga yang ingin Sarman tanyakan."

"Hmm?" Beliau mengernyitkan dahi sembari menyilangkan kakinya.

"Soal Tika hamil, apa itu benar?" tanya Sarman ragu-ragu.

Ibunya Riana menghela napas panjang sambil memutar bola matanya sejenak. "Iya itu benar."

"Ba… bagaimana bisa? Mama sudah cek ke dokter?" tanya Sarman terbata-bata. Meski ia sudah tahu kenyataanya, tapi rasanya kejadian ini masih belum bisa dipercaya sepenuhnya oleh Sarman.

"Sudah, Sarman. Bahkan sudah tiga kali dengan dokter yang berbeda-beda. Mama juga sudah menyuruh adikmu untuk memakai alat tes kehamilan, dan hasilnya dia hamil! Ini benar-benar diluar dugaan Mama." Beliau menghempaskan tubuhnya ke punggung kursi sambil dengan mulut yang masih mencibir.

"Tika sudah besar. Seharusnya dia tahu batasan yang boleh dia lakukan atau tidak. Kamu sebagai Abangnya seharusnya juga bisa menjaga adikmu, kalau terjadi hal seperti ini kita semua kena imbasnya! Kalau para tetangga tahu, mau ditaruh mana muka Mama? Benar-benar memalukan!"

Kedua tangan Sarman meremas pinggiran kursi yang ia duduki. Sejujurnya, ia agak kesal dengan cibiran yang dilontarkan Ibunya Riana. Akan tetapi, Sarman tidak bisa berbuat apa-apa selain mendengarkan ceramah dari mertuanya. "Maafkan Sarman, Ma."

"Yah, semua ini sudah terlanjur. Mau bagaimana lagi? Istri kamu yang sudah tujuh tahun menikah saja belum dikaruniai anak. Sedangkan adikmu yang masih belasan tahun, sudah hamil mendahului istrimu. Dunia ini sangat lucu."

"Tapi, apakah Mama tahu siapa yang telah membuat Tika hamil? Apa sebelumnya ada sesuatu yang terjadi pada Tika?"

"Tidak tahu. Mama terus berulangkali menanyakan hal itu, namun Tika tetap tidak mau menjawab. Apa sih yang ada dipikirannya? Sampai-sampai dia terus saja menyembunyikan si pelaku. Dia telah mencontreng nama baik keluarga ini! Pokoknya Mama tidak ingin Tika kembali lagi ke sini. Mama tidak mau kalau ada orang tinggal di sini setelah melakukan hal menjijikkan seperti itu!!"

Sarman berdiri dari kursi sofa yang ia duduki, emosinya kini berada di ubun-ubun dan bisa saja meledak saat ini juga kalau dia tidak segera pergi dari rumah Ibunya Riana. "Sarman pamit pulang," ujarnya dengan nada datar.

"Sekarang? Sudah malam begini, kenapa tidak besok saja?"

"Tidak, Ma. Sarman sudah terlanjur bilang kepada Riana, kalau saya akan pulang hari ini juga."

"Oh, baiklah kalau itu mau kamu."

Sarman bersalaman kepada Ibunya Riana sambil tetap tersenyum meski hatinya tengah jengkel dengan semua perkataan beliau mengenai adiknya. Beliau sama saja telah menghina Sarman dan menganggap kalau mereka hanyalah sampah yang harus disingkirkan.

"Assalamualaikum," ucap Sarman sesaat sebelum ia meninggalkan rumah ini.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel