Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 10 Masalah Kedua

Bab 10 Masalah Kedua

Sarman berjalan menyusuri jalanan beraspal ini bersama dinginnya malam yang makin menusuk hingga ke tulang-tulangnya. Ia kembali lagi melihat detik jam yang melingkar di lengannya, menunjukkan pukul 8 malam. Kini Sarman harus berjalan dari rumah mertuanya hingga ke terminal bus, karena tidak ada ojek di sepanjang jalan yang ia lewati.

Sesekali Sarman menendang botol plastik yang berserakan di trotoar untuk melampiaskan rasa kesalnya. Perkataan-perkataan Ibunya Riana masih membekas dalam kepala Sarman dan ingin sekali ia membantah ucapan beliau tapi Sarman terus saja menahan emosinya. Beliau sama saja menjelek-jelekkan keluarga Sarman di hadapannya sendiri. Memang benar, yang dilakukan Tika jelas salah, tapi tak seharusnya seorang Ibu mencibir atau ikut menyalahkan keadaan adiknya.

Tak terasa, Sarman sudah sampai di area terminal yang sama seperti sebelumnya. Sarman duduk di tepi trotoar sembari menenggak sebotol air putih yang ia beli di warung pinggir jalan. Hanya ada Sarman dan seorang bapak-bapak yang juga menunggu bis di arah yang sama. Terminal ini benar-benar sepi nan lenggang.

Beberapa menit kemudian, sebuah bus bercat biru datang dari dalam terminal. Sarman langsung berdiri dan bergegas masuk sebelum bus tersebut melaju makin kencang. Karena hanya ada beberapa penumpang saja, Sarman dapat memilih tempat duduk sesukanya. Kali ini Sarman memilih kursi pada barisan kedua.

Sarman meletakkan tas punggungnya di samping kursinya yang kebetulan kosong. Sejenak, ia meregangkan sendi-sendi pada kedua lengannya. Sarman masih tak habis pikir dengan perkataan-perkataan Ibunya Riana, sampai sekarang ia masih kesal dan tidak terima dengan hal tersebut.

Akan tetapi, saat dalam perjalan pulang Sarman membayangkan wajah cantik Riana yang tengah menunggunya di rumah. Ingin rasanya Sarman segera sampai ke rumah dan memeluk istri yang dia cintai. Kemudian Sarman terlelap dengan bayangan wajah Riana masih di dalam pikirannya. Berkat Riana lah, ia tidak memusingkan hal-hal yang telah membuatnya kesal.

Rintik hujan telah membasahi bumi selama tiga puluh menit, suara gemuruh petir bersahut-sahutan tak teratur. Dari balik jendela, cahaya kilatan terlihat sepintas menyambar apa pun yang ada di dekatnya, entah itu rumput-rumput liar atau bisa juga manusia.

Sarman terbangun dari tidurnya, sesaat setelah ia mendengar suara gemuruh yang memekakkan telingga. Ia mengusap-usap kedua matanya yang sedikit memerah karena kurangnya jam tidur. Sarman menoleh ke jendela bus paling depan. Ia sedikit terkejut dengan datangnya hujan yang tak disangka-sangka, karena sebelumnya langit malam nampak berbintang dan ada cahaya rembulan yang menghiasi.

Tubuh Sarman berguncang-guncang tidak karuan ketika bus ini melaju pada jalan yang tidak rata dan berkerikil. Suara mesin bis ini juga terdengar berbeda dari sebelumnya, sedikit tidak nyaman untuk penumpang. Sang supir juga terlihat gugup serta tangannya gemetaran karena jalanan di luar sangatlah gelap dan hanya diterangi oleh lampu bus ini sendiri. Hal inilah yang membuat Sarman bertanya-tanya dalam benaknya.

Pada malam inilah, sesuatu yang mengerikan terjadi. Bus yang semula berjalan lurus, tiba-tiba menjadi tak terkendali. Sang supir sepertinya tidak bisa mengontrol laju bis ini dengan baik, ditambah jalanan yang licin karena derasnya air hujan. Beberapa penumpang sempat berteriak histeris ketika bus ini oleng dan terjun ke sebuah lahan bekas perkebunan tebu. Saat itu, Sarman hanya bisa memejamkan mata dan menyuarakan doa-doa dalam hatinya. Ia pun tidak tahu apa yang terjadi padanya setelah ini. Semuanya berubah menjadi gelap dan kosong.

****

Suara kentongan dan galon air yang tengah dipukul-pukul terdengar nyaring dari dalam rumah. Seketika itu, Riana langsung terbangun setelah mendengar suara gaduh, pertanda waktu sahur telah tiba. Riana sempat tidak sadar, kalau dirinya ternyata telah tertidur di kursi tamu. Riana melirik ke sebuah jam dinding yang ternyata menunjukkan pukul 3 pagi.

Riana terlihat kebingungan dan sesekali ia membuka korden yang menutupi jendela depan untuk mengecek apakah suaminya sudah datang atau belum. Namun, sampai saat ini Sarman tak kunjung pulang. Ia masih ingat betul kalau suaminya itu akan pulang pada hari ini juga. Riana mencoba untuk berpikiran positif, mungkin saja ia memutuskan untuk menginap di rumah Ibunya karena malam tadi hujan turun cukup deras.

"Tika, ayo bangun. Kita sahur sama-sama." Riana mengetok pintu kamar Tika lalu berjalan menuju dapur terlebih dahulu.

Riana langusung mengambil ikan goreng semalam yang ia simpan di dalam lemari lapuk. Kemudian ia menggoreng lagi ikan tersebut supaya lebih hangat dan renyah. Pikiran Riana masih dipenuhi oleh suaminya, yang entah mengapa tidak kunjung pulang. Hingga tanpa sadar, Riana lupa untuk membalik ikan tersebut. Alhasil, ikan tersebut menjadi agak kehitaman.

Usai menggoreng, ikan tersebut Riana letakkan dalam piring kosong. "Maaf ya, ikannya agak gosong," ucap Riana kepada Tika yang ternyata sudah duduk di meja makan.

"Abang ke mana?" tanya Tika tiba-tiba.

"Dia… ada urusan. Mungkin tidak akan pulang besok," jawab Riana ragu-ragu. Sebenarnya, Tika tidak tahu kalau Abangnya tengah pergi ke Pekanbaru untuk mencari tahu apa yang terjadi pada Tika.

Suasana kali ini terasa berbeda, karena Sarman tidak ikut sahur bersama Riana. Sejenak, batin Riana terus bertanya-tanya apakah suaminya baik-baik saja? Apakah dia sudah makan? Dan benarkah kalau dia sedang menginap di rumah Ibunya? Perasaan Riana sungguh tidak enak, hingga ia tidak berselera untuk menghabiskan makanannya.

"Kamu teruskan saja makannya. Mbak mau ke kamar dulu." Riana langsung pergi tanpa menghabiskan makanan atau minumannya.

Di dalam kamar, Riana berdiam diri dan mencoba mengembalikan suasana hatinya seperti semula. Sekarang tidak ada yang harus Riana lakukan selain menunggu hingga pagi. Masih ada kemungkinan kalau Sarman akan pulang setelah fajar datang.

****

Paginya, Riana tidak tertidur sejak sahur tadi hingga matahari telah terbit. Ia masih menanti kedatangan Sarman, suaminya. Sembari menunggu, seperti biasa Riana menyapu teras depan yang selalu dipenuhi dedaunan yang dibawa oleh angin kencang saat hujan kemarin malam. Namun, kali ini Riana hanya menyapu teras depan rumahnya saja. Rencananya, Riana hendak pergi ke wartel terdekat untuk menelepon Ibunya.

Riana membuang sapu lidinya ke sembarang tempat dan langsung bergegas pergi tanpa membilas tangannya terlebih dahulu. Langkah Riana sedikit tergesa-gesa, bahkan Riana menghiraukan ibu-ibu tetangga yang tengah menyapanya. Perilaku Riana hari ini tentunya membuat pertanyaan dalam benak para tetangga, dan lagi-lagi kehidupan Riana menjadi bahan gunjingan ibu-ibu yang tengah berbelanja.

Ketika sampai di sebuah wartel, Riana langsung meraih gagang telepon, lalu memasukkan dua buah koin ke dalam lubang di dekat tombol angka. Riana memencet beberapa nomor Ibunya yang sudah ia hapal sejak dulu. "Halo Ma," ucap Riana setelah telepon tersebut berhasil tersambung ke Ibunya.

"Riana ada apa? Kok pagi-pagi sudah telepon Mama?"

"Itu Ma… Riana mau bertanya sesuatu," kata Riana sedikit kebingungan.

"Bertanya soal apa?" tanya Ibunya Riana penasaran.

"Emm, kemarin apakah Bang Sarman sudah ke rumah Mama?"

"Sudah. Mama juga sudah mengobro dengan suamimu, tentang adiknya itu."

"Apa Bang Sarman menginap di rumah Mama?" Riana mencoba mengatur napasnya yang mulai tak beraturan.

"Hah, menginap? Tidak. Kemarin malam dia langsung pulang," ujar beliau penuh keyakinan.

Seketika itu tubuuh Riana menjadi lemas tak berdaya. Bahkan untuk memegang gagang telepon saja, Riana tidak mampu. "Ini tidak mungkin!" gumam Riana yang tidak ingin mempercayai kenyataan tersebut.

"Halo… Riana? Semua baik-baik saja?" tanya Mamanya lewat telepon.

"Bang Sarman belum pulang sampai sekarang," ujar Riana dan perlahan air matanya berjatuhan tak terbendung.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel