Bab 6 Berdamai dengan Kenyataan
Bab 6 Berdamai dengan Kenyataan
"Aku pulang," ucap Sarman sembari meletakkan helm di atas meja ruang tamu. Sarman tidak mendapati siapa pun di rumahnya. Biasanya setiap kali ia pulang kerja, Riana langusung datang menghampirinya. Namun kali ini, rumah terasa sepi bahkan tak seorang pun yang menjawab salamnya.
Sarman beranjak ke kamarnya dan berpikir kalau istrinya tengah menunggunya di sana. Akan tetapi, ini tak seperti pikirannya karena Riana tidak berada di kamar. Lalu Sarman menuju ke ruang tengah sembari celingak-celinguk mengamati setiap sudut rumah.Sampai akhirnya ia melangkahkan kaki ke dapur.
Sarman masih tak mendapati siapa pun, baik Riana atau adiknya Tika. Kemudian ia berjalan mendekati meja di dekat pintu yang menghubungkan ke halaman belakang. Di sanalah, Sarman mendapati Riana yang tengah duduk di atas anak tangga dekat teras belakang. Sarman berdeham dan seketika itu Riana terkejut karena tiba-tiba suaminya sudah berdiri di belakangnya.
"Abang sudah pulang?" Riana berdiri sambil mengusap-usap matanya.
"Kamu sedang apa?" tanya Sarman sedikit bingung, karena baru kali ini ia melihat Riana duduk di dekat halaman belakang.
"Tadi angkat jemuran.Terus duduk sebentar sambil lihat langit." Riana mengambil kembali keranjang yang berisi pakaian kering. Lalu Riana mengajak Sarman untuk masuk ke rumah.Riana langsung memberikan sebuah handuk dan menyuruh Sarman untuk segera mandi, karena sebentar lagi hari mulai gelap.
Suara adzan mulai berkumandang dari mushola yang letakknya agak dekat dari rumah Sarman. Saat itu Riana berada di kamar sambil melipat baju-baju yang telah ia jemur tadi. Lalu, Riana memasukkan satu per satu baju tersebut ke lemari kayu yang terletak di samping ranjang.
Beberapa menit kemudian, Sarman keluar dari kamar mandi dengan rambut agak basah dan handuk yang masih melingkar pada lehernya.Riana yang melihat suaminya telah selesai mandi, langsung memberikan sebuah sarung serta peci.Lalu Riana menyuruh Sarman untuk bergegas ke Musala.
Sebelum Sarman pergi, ia sempat bertanya kepada Riana mengenai kondisi Tika. Akan tetapi, Riana tidak mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Ia justru menutup-nutupi perlakukan Tika kepadanya, karena jika tahu yang sebenarnya Sarman akan berbalik memarahi adiknya.
****
Tak terasa hari makin gelap, detik jarum jam menunjukkan pukul delapan malam. Di luar sangat sepi, terlebih lagi rumah ini berada di ujung jalan sehingga tidak ada rumah lagi di samping kanan atau kiri. Hanya ada hutan bambu dan area pemakaman, yang akan membuat merinding setiap orang yang berlama-lama menatap tempat tersebut.
Kini Riana tengah mengelap meja makan dan dilanjutkan dengan mencuci gelas serta piring kotor. Dalam benaknya, ia selalu mengucapkan shalawat tiap kali Riana mendengar bunyi-bunyian aneh yang berasal entah dari mana. Seperti suara langkah kaki atau suara ketukan yang datang di sekitar gudang bawah.
Riana mempercepat gerakan tangannya dan ingin segera meninggalkan dapur sebelum pikiran tentang monster mengerikan bermunculan dalam pikirannya. Ketika Riana tengah menyusun piring-piring dalam rak, samar-samar ia mendengar Sarman berteriak dari ruang tengah. Karena penasaran, Riana menuju ke sumber suara tersebut dan membiarkan beberapa piring tergeletak begitu saja.
Terlihat, Sarman berdiri di depan pintu kamar Tika. Tangan kanannya memutar-mutar paksa gagang pintu tersebut.Riana bertanya-tanya keheranan ketika melihat Suaminya menggedor-gedor pintu kamar Tika. "Mau sampai kapan terus bersembunyi?" ujar Sarman dengan nada tinggi.Riana yang melihat hal tersebut, langsung menenangkan suaminya.
"Biarkan saja.Mungkin dia butuh waktu," ucap Riana lemah lembut. Sarman mencoba untuk mengendalikan emosinya, ia tidak ingin marah-marah apalagi di depan istrinya. Kemudian Sarman pergi ke kamar mandi dan meninggalkan Riana sendiri, mematung di depan pintu kamar Tika.
Malamnya, Riana masih terjaga hingga pukul satu malam. Perkataan kasar Tika tadi, terus berputar-putar dalam pikiran Riana.Membuat dirinyamenjadi tertekan dan tidak bisa tidur.Apalagi saat rumah menjadi gelap, dan hanya ada lampu minyak yang sewaktu-waktu bisa saja padam.
Berbeda dengan suaminya, Sarman yang selalu tertidur pulas tiap kali kepalanya bertemu dengan bantal.Riana mendengus kesal sekaligus iri melihat suaminya yang bisa tertidur dalam hitungan detik. Sedangkan Riana, meski matanya terpejam sampai berjam-jam tapi otaknya masih berpikir.
Riana melepaskan pelukan suaminya dan beralih ke posisi duduk. Pada saat itu, terlintas sebuah pernyataan dalam benak Riana.Apa yang membuat suaminya masih bertahan dengannya? Yang kenyataannya ia tidak bisa memberikan keturunan. Kali ini Riana tidak bisa menguatkan batinnya sendiri seperti biasanya, tanpa sadar air matanya perlahan membasahi kedua pipinya.
Sarman terbangun ketika menyadari kalau istrinya tidak tidur di sampingnya. Perlahan, Sarman membuka matanya dan sesekali ia menguap. Saat kesadarannya telah kembali sepenuhnya, Sarman melirik istrinya yang tengah duduk di atas ranjang.
"Belum tidur?" Sarman mengubah posisi tidurnya menjadi terlentang.Riana hanya menggeleng pelan sambil mengusap air matanya.
Menyadari tingkah tak biasa dari istrinya, Sarman beranjak dan ikut duduk di samping Riana. Samar-samar ia melihat baju bagian depan yang Riana kenakan sedikit basah, membuatnya berpikir kalau istrinya tengah menangis. "Apa terjadi sesuatu?" tanya Sarman keheranan.
Riana tak menjawab dan menyisakan sepi diantara mereka berdua.Karena tidak tahan, Riana langsung memeluk erat suaminya dan makin menangis sejadi-jadinya. Melihat istrinya tiba-tiba menangis, Sarman tidak tahu apa lagi yang harus dilakukan selain membalas pelukannya dan mencoba menenangkannya.
Sarman membiarkan Riana menangis dalam rengkuhannya hingga perasaannya lega. Setelah agak tenang, barulah Sarman bertanya apa yang terjadi pada istrinya sehingga membuatnya menangis seperti itu.
Bukan menjawab pertanyaan Sarman, Riana tiba-tiba mengatakan suatu hal yang agak membuat Sarman terkejut dan bingung."Apakah Abang tidak bosan?" ucap Riana.
"Hmm?Maksudnya?" Sarman mengernyitkan dahinya.Ia benar-benar tidak mengerti dengan perkataan istrinya itu.
"Sudah tujuh tahun kita menikah dan setiap hari kita selalu berusaha.Tapi kenapa aku tidak bisa hamil?Apakah aku wanita mandul?"
Sarman membelalakkan matanya lalu melepas pelukannya. Baru kali ini, istri yang ia cintai berkata seperti itu. "Kenapa kau berpikir seperti itu?Apakah para tetangga menggunjingimu lagi?"
Riana menggeleng pelan sembari mengusap-usap hidungnya yang memerah setelah menangis."Tidak.Aku baru menyadarinya," ujar Riana lirih.Mereka terdiam dalam gelapnya malam untuk beberapa saat.Sampai akhirnya, Riana bersuara lagi. "Tika, yang jelas-jelas tidak menginginkan anak justru bisa hamil secepat itu dan diluar dugaan kita.Sebaliknya aku, yang selalu menanti adanya janin di perutku, tapi aku tidak terkabulkan," lanjut Riana dengan penuh kekecewaan.
Terkadang, ada rasa iri dalam hati Riana ketika melihat adik dari suaminya kini tengah hamil terlebih dahulu dan kehamilan ini justru tidak bisa diterima begitu saja karena Tika hamil diluar nikah.Hal inilah yang kadang kali membuat Riana geram dan merasa kalau dunia ini tidak adil untuknya.
Sarman mengecup kening Riana dan kembali memeluknya."Jangan berpikir seperti itu.Aku tetap percaya kalau suatu hari nanti kita bisa memiliki anak, meskipun harus menunggu hingga sepuluh tahun lamanya.Aku tidak akan bosan," ujar Sarman penuh perhatian.
Riana tersenyum lega dan kembali tidur dalam rengkuhan suaminya. Disisi lain, Riana selalu bersyukur memiliki suami yang hampir mendekati kata sempurna. Ia bahkan tidak pernah membentak atau menyalahkan keadaan Riana sekarang. Bahkan karena kebaikan Sarman lah yang selalu membuat Riana lupa dengan masalah yang ia hadapi sekarang ini.
