Bab 5 Perubahan
Bab 5 Perubahan
Tak terasa empat jam sudah berlalu. Perlahan, Riana membuka matanya dan menatap ke langit-langit kamar. Ternyata ia telah tertidur sejak pagi tadi. Riana bangun dari tidurnya dan beralih ke posisi duduk di pinggir ranjang sembari mengucek-ucek kelopak matanya.Setelah kesadarannya kembali ke pikirannya, Riana beranjak ke luar kamar.
Sepi.Tak ada siapa-siapa di rumah ini. Hanya terdengar suara detik jam yang beriringan dengan suara adzan Dzuhur Suaminya, Sarman masih bekerja dan pulang setelah Maghrib nanti. Riana berjalan ke kamar Tika dan hendak mengetuk pintu kamar tersebut.Namun, pintu tersebut tak kunjung terbuka bahkan Riana sempat memanggil Tika beberapa kali, tapi tak ada jawaban juga.
Riana menyerah, dan membiarkan Tika tetap di dalam kamar.Riana berjalan menuju dapur dan hendak memasak untuk makan siang.Saat berada di dapur, mata Riana tertuju pada sebuah keranjang plastik berbentuk persegi panjang berisikan baju-baju yang belum kering sepenuhnya.
"Jemur dulu saja, mumpung masih siang," ucap Riana sambil mengangkat keranjang tersebut hingga ke belakang rumah.
Riana berjalan menuruni satu per satu anak tangga kayu dan ia selalu memperhatikan langkahnya agar tidak terpeleset, karena tangga ini agak licin setelah hujan kemarin malam. Riana berusaha mengusir pikiran-pikiran seramnya tiap kali ia berada di belakang rumah, karena pada saat itulah pandangannya selalu tertuju ke ruang bawah tanah yang sudah lama sekali tidak dibuka.
Usai menjemur semua pakaiannya, Riana langsung bergegas menaiki anak tangga dan kembali ke dapur.Dadanya berdegup kencang dan napasnya sedikit tersengal-sengal.Riana meletakkan kembali keranjang plastik tersebut ke sembarang arah. Lalu ia berjalan ke meja makan untuk mengambil segelas air. Tangan kanan Riana sedikit gemetaran saat mengambil segelas air, ia mencoba melupakan gudang itu supaya ketakutannya tidak menguasai dirinya seperti ini.
"Tenang, itu hanya gudang," ujarnya dalam hati. Ketika dirinya berbalik, Riana mendapati Tika berdiri tepat di belakangnya. Riana cukup terkejut melihat adiknya berdiri mematung di belakangnya dengan rambut panjang acak-acakan, terurai menutupi sebagian wajahnya. Tanpa sadar, Riana telah memecahkan gelas yang sedari tadi ia genggam karena saking terkejutnya.
Riana berjongkok dan segera memunguti pecahan gelas tersebut dengan berhati-hati, karena bisa saja tangannya tertusuk oleh salah satu kaca gelas itu."Sudah bangun?"Riana berdiri lagi sambil membuang gelas yang pecah itu.
Tika hanya berdiri dan tak bersuara.Dia bahkan tidak menjawab pertanyaan Riana."Segeralah mandi.Nanti akan kubawakan makanan," ujar Riana sembari membuka lemari yang ada di dekat jendela. Tika langsung pergi ke kamar mandi tanpa mengucapkan sepatah kata apa pun.
Riana mengambil sebuah tempe dan dua butir telur dari dalam lemari dekat jendela. Kemudian ia memotong tipis tempe tersebut menjadi persegi. Tak lupa, sebelum memasak Riana juga menyusun kayu bakar di dalam tungku api yang penuh dengan abu sisa kayu bakar kemarin.
Tiga puluh menit sudah berlalu, Riana meletakkan dua buah piring berisikan lauk serta sayur di atas meja makan.Dilanjutkan dengan membereskan peralatan dapur yang masih tersebar tidak pada tempatnya.Aroma bawang serta rempah-rempah yang tercampur dalam satu wadah bisa tercium dari jarak tiga meter. Bisa terlihat jelas, kepulan asap dari makanan yang baru saja selesai dimasak dan masih panas apabila langsung dimakan.
Riana baru menyadari, kalau Tika belum kembali dari kamar mandi sejak tiga puluh menit yang lalu.Karena khawatir, Riana langsung menyusul Tika dengan langkah tergesa-gesa.Sorot mata Riana tertuju pada gudang bawah tanah itu lagi.Anehnya, Tika tengah berdiri mematung memandangi gudang tersebut.
"Sudah selesai?" tanya Riana. Tika hanya menoleh tanpa menjawab pertanyaan Riana, kemudian ia pergi menaiki anak tangga dan kembali ke kamarnya.
Riana hanya memperhatikan tingkah Tika yang mulai berubah seiring berjalannya waktu.Apakah ini karena dia tengah hamil? Riana menggaruk-garuk pelipisnya lalu ia bergegas menuju meja makan.
****
"Tika, makan dulu.Dari pagi kamu belum makan," ucap Riana sembari mengetuk-ngetuk pintu kamar Tika.Riana menggenggam gagang pintu tersebut, dan ternyata pintu ini tidak terkunci.Hanya dalam sekali dorongan, pintu tersebut sudah dapat terbuka.
Di dalam kamar, Tika masih memasang wajah murung sembari menatap ke luar jendela. Entah apa yang membuatnya betah berlama-lama menatap hamparan padang rumput di luar hingga Tika tidak mengedipkan matanya.
Riana menyodorkan sepiring nasi beserta lauknya kepada Tika dan membujuknya untuk makan.Akan tetapi, Tika justru memalingkan muka dan menggelengkan kepala."Tidak lapar," ujar Tika singkat.
"Kalau tidak mau makan, paling tidak kamu harus minum." Riana menyodorkan segelas teh hangat, lalu tika menerimanya.
Tidak ada pembicaraan diantara mereka berdua.Tika masih duduk di ranjang dekat jendela sambil memeluk kedua kakinya yang ditekuk.Rambutnya yang panjnag masih terlihat acak-acakan seperti tidak pernah disisir.
Sempat terlintas sebuah pertanyaan dalam pikiran Riana, mungkinkah Tika merasa tertekan dengan keadaan seperti ini? Ingin rasanya Riana berbincang-bincang tentang apa yang terjadi sebelumnya pada Tika. Akan tetapi, keraguan telah menguasai Riana, takut jika pertanyaannya justru membuat Tika tersinggung.
"Apa kau baik-baik saja?"Riana memberanikan diri untuk mengajak Tika berbicara. Tika hanya mengangguk pelan namun ia tidak menoleh ke arah Riana.
"Pasti sulit, harus menanggung beban seperti ini."Tiba-tiba terlintas dalam benak Riana tentang kondisinya sendiri yang sampai sekarang belum mempunyai anak.
Tika beralih memandang Riana dengan tatapan sinis dan tiba-tiba dia berkata, "Kenapa Mbak Riana melarangku untuk menggugurkan janin ini?"
Riana yang sedari tadi duduk membelakangi Tika, kini ia menoleh dengan ekspresi terkejut. "Tentu saja aku melarangmu.Selain berdampak buruk pada tubuhmu, hal itu juga dilarang dalam agama kita, bukan?Kamu, juga harus bertanggung jawab dengan apa yang telah kamu lakukan sebelumnya."
Mereka terdiam sesaat, menyelami pikiran dan hati masing-masing. Lagi-lagi Tika tenggelam dalam lamunannya, sedangkan Riana hanya memainkan kuku jari-jari tanggannya untuk mengusir kesedihan yang ia pendam selama tujuh tahun.
"Seharusnya, laki-laki yang telah bersamamu juga harus menanggung beban ini bersama.Kenapa kamu terus menutup-nutupi?" ujar Riana sedikit mendesak.Tanpa sadar, air mata Tika mulai berjatuhan membasahi pipinya.Riana yang melihat itu, berusaha menenangkan adiknya."Siapa yang telah memaksamu melakukan hal seperti ini?Apakah itu temanmu?Katakanlah," lanjut Riana.
Bukannya menjawab, Tika justru menangis semakin menjadi-jadi hingga cairan bening mulai keluar dari hidungnya namun Tika tidak memperdulikan hal itu.Kemudian Tika menggeleng-geleng, pertanda kalau dia tidak ingin menjawab pertanyaan Riana.
"Jangan memojokkan ku seperti ini!"Tika melempar gelas plastik yang masih berada dalam genggamannya.Riana berjingkrak dan berdiri dari duduknya ketika larutan teh mengenai rok yang Riana kenakan.Beruntung, gelas tersebut berbahan plastik, hanya saja rok Riana menjadi basah setelah Tika meleparinya dengan gelas tersebut.
"Mbak menginginkan anak ini karena Mbak sendiri tidak bisa memberikan anak, ‘kan?" Riana menatap Tika bingung, seolah-olah ia ditampar dengan perkataan Tika. "Berdalih seakan-akan Mbak Riana peduli denganku, tapi nyatanya Mbak memintaku menanggung beban ini lebih lama lagi dengan tujuan menginginkan janin yang ada di perutku, karena Mbak itu wanita mandul!!" lanjut Tika dengan nada semakin tinggi.
Riana membisu, tidak tahu bagaimana membalas cercaan yang dilontarkan oleh Tika.Kini tubuhnya lemas dan perasaan Riana campur aduk. Mungkin saat ini Riana belum bisa hamil, tapi ia terus percaya kalau suatu saat nanti ia pasti bisa mengandung seorang anak.
Riana berjalan keluar kamar Tika sembari menahan air matanya yang hampir tumpah."Aku heran, kenapa Abang masih bisa bertahan dengan Mbak yang jelas-jelas tidak bisa memberikan keturunan," ujar Tika sebelum Riana menutup pintu kamar tersebut.
BERSAMBUNG
